Atalia (bukan nama sebenarnya), 28 tahun stress bukan kepalang. Wabah Corona atau Covid-19 ini membuatnya cemas. Ia cemas dengan keadaan pacarnya yang ditahan di balik hawa dingin penjara Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cipinang, Jakarta.
*Tika Adriana- www.Konde.co
Jakarta, Konde.co- Kegelisahan Atalia terhadap pacarnya bukan terjadi baru saja, tapi sejak wabah Covid-19 menyebar di berbagai negara, ia sudah was-was bukan main melihat cara pemerintah menyepelekan penyakit ini. Atalia takut jika ada pengunjung Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang menjadi pembawa penyakit ini.
“Kondisi kamar tahanan yang penuh sesak dan lembab, pasti bikin rentan penyakit, karena enggak ada jarak. Tahu sendiri kan gimana keadaan Lapas kita yang kelebihan kapasitas? Apalagi kondisi air di sana yang belum tentu bagus,” tutur Atalia saat bercerita tentang kegelisahannya kepada saya.
Sejak lebih dari sepekan lalu, Lapas Cipinang memang telah menutup kunjungan dan melakukan desinfeksi, tapi ketakutan itu masih ada di kepala Atalia hingga kini.
“Waktu Jokowi mengumumkan dua orang terinfeksi, Lapas itu enggak langsung ditutup, baru ditutup sekitar beberapa hari setelah ada puluhan yang kena. Kita enggak tahu kan tamu-tamu yang datang sebelum ditutup gimana kondisinya? Sekarang juga kita enggak tahu kan kondisi petugas-petugas yang keluar masuk Lapas gimana? Udah gitu makanan di lapas gizinya juga tahu sendirilah bagaimana pemerintah memperlakukan tahanan,” tambahnya.
Plt. Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Nugroho, melalui rilis yang diterima Konde.co mengaku bahwa instansinya telah melakukan upaya preventif kepada Rumah Tahanan (Rutan) dan Lapas, seperti kewajiban cuci tangan dan meniadakan kegiatan kunjungan.
“Tempatkan wastafel dan sabun cair pada ruang kunjungan, ruang pendaftaran, ruang keluar masuk pegawai, ruang keluar masuk warga binaan yang akan sidang dan area keluar masuk lainnya. Tidak hanya di satu tempat saja. Bagaimana caranya orang dari luar ketika masuk sudah cuci tangan, paling baik dengan air mengalir,” ujar Nugroho.
Menambahkan pernyataan Nugroho, Direktur Pembinaan Narapidana dan Latihan Kerja Produksi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Yunaedi, menyampaikan bahwa Kementerian Hukum dan HAM mengganti hak kunjungan warga binaan dengan video call.
“Jangan ada isu harus bayar. Buat batasan waktunya, maksimal berapa lama per orang. Sosialisasikan ke dalam. Petugas harus banyak komunikasi. Harus satu suara. Tunjuk pejabat struktural untuk sampaikan informasi di blok-blok hunian. Ini tanggung jawab bersama, jangan ada ego sektoraal. Tampung keluhan WBP. Jangan sampai berdampak buruk dan liar karena tidak direspon,” kata Yunaedi.
Namun upaya Kementerian Hukum dan HAM melakukan pembatasan kunjungan selama masa darurat Covid-19 itu tidak dibarengi dengan penghentian persidangan oleh Mahkamah Agung. Melalui surat edaran Ketua Mahkamah Agung (https://www.mahkamahagung.go.id/media/7294), mereka hanya melakukan penundaan kepada persidangan perkara pidana, pidana militer dan jinayat terhadap terdakwa yang secara hukum penahanannya masih beralasan untuk dapat diperpanjang.
Sedangkan perkara yang tetap harus disidangkan, Mahkamah Agung menyerahkan keputusan penundaan persidangan dan pembatasan pengunjung sidang kepada majelis hakim.
Pemerintah Tak Boleh Membedakan Perlakuan Warga dalam Penanganan Covid-19
Seperti dikutip dari The Guardian (https://www.theguardian.com/global-development/2020/mar/23/everyone-will-be-contaminated-prisons-face-strict-coronavirus-controls), di dunia ini ada lebih dari 10 juta laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang berada di penjara. Kepadatan penjara ini tentu menjadi perhatian khusus ketika wabah Covid-19 meluas, khususnya dalam hal kedisiplinan mencuci tangan, penggunaan handuk antar tahanan, dan jarak sosial.
Dr. Hans Kluge, direktur regional Badan PBB untuk kesehatan dunia, WHO di Eropa dalam wawancara kepada The Guardian membeberkan bahwa penjara memiliki tingkat penularan penyakit yang lebih tinggi, misalnya pada infeksi tuberkulosis, mereka yang berada di penjara 10 hingga 100 kali lebih tinggi daripada masyarakat.
Aturan di dalam penjara merupakan ancaman bagi penularan penyakit, tapi memiliki peluang untuk dicegah dan dikendalikan jika pemerintah mengindahkan pedoman yang telah disiapkan oleh WHO.
“Covid-19 tidak mengenal batas; ini termasuk penularan antar tahanan, staf penjara, pengunjung, dan bisa meluas ke luar serta menginfeksi masyarakat umum. Hanya tindakan tegas yang bisa memperlambat dan menghentikan penyebaran penyakit. Kita tidak boleh meninggalkan siapa pun dalam melawan penyakit ini,” ujar Hans Kluge kepada The Guardian.
WHO pun meminta kepada pemerintah di berbagai negara untuk mempertimbangkan tindakan non-penahanan bagi orang-orang dengan kasus ringan untuk mengurangi jumlah di dalam penjara.
Bukan itu saja, orang-orang yang memiliki risiko kesehatan tinggi seperti perempuan hamil pun harus mendapat perhatian khusus dari rumah-rumah tahanan.
Bagaimana prihatinnya atas kondisi Lapas sejak coronavirus (Covid-19) menjalar ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Ini juga menjadi sorotan Muhammad Afif, Direktur LBH Masyarakat dan berbagai kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Pemantau Peradilan.
Melalui rilis yang diterima Konde.co, mereka melihat bahwa pemerintah belum memberikan perhatian kepada orang-orang yang ditahan. Padahal perlindungan terhadap tahanan dan pemenuhan hak atas kesehatan para tahanan merupakan tanggung jawab dari pemerintah.
“Minimnya perhatian terhadap orang-orang yang ditahan menimbulkan risiko persebaran Covid-19 terhadap seluruh penghuni Rutan dan Lapas, termasuk petugas. Bahkan terhadap tahanan yang sedang dalam pemeriksaan di persidangan, persebaran Covid-19 bisa menjangkiti aparatur penegak hukum, seperti hakim, jaksa, panitera, yang intens berinteraksi dalam jarak dekat dan kontak fisik dengan tahanan,” kata Afif dalam rilis yang diterima Konde.co.
Atas alasan itu, Koalisi Pemantau Peradilan mendesak pemerintah agar melakukan penundaan persidangan bagi tahanan yang saat ini sedang dalam tahap pemeriksaan di pengadilan.
“Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, dan Kejaksaan perlu melakukan kesepakatan bersama terkait penundaan persidangan dengan implikasi jangka waktu penahanan. Perlu ada aturan bersama terkait penangguhan masa tahanan bagi tahanan yang jangka waktunya sudah mau habis,” ungkap Afif.
Agar Rutan dan Lapas tak overcrowding, Afif mengatakan bahwa pemerintah seharusnya bisa meninjau ulang untuk kebijakan pemberian remisi, Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Menjelang Bebas (CMB), Cuti Bersyarat (CB) dengan mengutamakan warga binaan pemasyarakatan dengan hukuman ringan atau kejahatan biasa, termasuk pengguna narkotika.
*Tika Adriana, jurnalis perempuan yang sedang berjuang. Saat ini managing editor Konde.co