Kita kerap kali dihadapkan dengan pernyataan bahwa “cinta itu buta”. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Dan mengapa kita harus waspada dan melawan dalam kondisi ini?
*Syafira Kesuma- www.Konde.co
Pernahkan kamu terjebak dalam cinta buta? Benarkah cinta buta akan membutakan pandangan kita terhadap pasangan kita, orang yang kita cintai?
Jika kita memposisikan diri sebagai orang yang sedang dalam posisi untuk mencintai, hal ini akan sangat lekat dirasakan. Namun, kenyataannya, ada banyak dari kita sulit menyadari bahwa kita sedang terjebak dalam hubungan romantis yang membutakan. Cinta buta. Itulah yang harus kita waspadai.
Karena hubungan yang terjalin dalam kondisi cinta buta ini bisa saja sarat dengan kekuasaan, bahkan bersifat destruktif karena kita dikuasai.
Tidak bisa dipungkiri bahwa fenomena ini banyak terjadi di usia-usia remaja menuju dewasa yang kadang belum memutuskan untuk menikah, tak mau menikah atau masih pacaran. Namun bisa saja kondisi ini terjadi di rentang usia lain, karena jebakan cinta buta tidak hanya terjadi pada usia remaja atau dewasa saja.
Apabila hal tersebut tengah terjadi, dan laki-laki terus mendominasi dalam ruang cinta buta ini, ini yang bahaya. Sejumlah perempuan yang saya amati, banyak yang cenderung merendahkan dirinya sendiri untuk hal yang sebenarnya sia-sia ‘will humble herself to nothingness’ di hadapan pasangannya. Inilah yang seharusnya menjadi perhatian para perempuan.
Perempuan akan sangat rentan mengalami kebingungan dan kecemasan dalam hubungan di situasi ini, sementara cinta yang awalnya terasa setara dan intim, seiring berjalannya waktu perempuan mengeluh bahwa pasangannya mengabaikannya dan menghindari pembicaraan-pembicaraan soal hubungan yang tengah dijalin dengan meremehkan bahkan dengan alasan hal itu tidak rasional.
Hal ini terus terakumulasi, dominasi terlihat jelas hingga tindakan-tindakan destruktif tak dapat dihindarkan. Pada tahap inilah, kita bisa menyebutnya sebagai dating violance/ dating abuse.
Kita mengenal beragam jenis dari dating violance atau tindakan-tindakan destruktif dalam hubungan yang menimpa banyak perempuan. Tindakan-tindakan yang terjadi bisa saja dimulai dengan ucapan seperti mengumpat, berkata kasar, hingga pada taraf tertinggi yaitu kekerasan fisik, bahkan seksual.
Apabila perempuan sudah terlanjur terjebak dalam kondisi hubungan yang tidak sehat seperti ini, kita akan melihat banyak dari perempuan seolah menjadi tidak berdaya, merasa tidak menjadi dirinya sendiri, dikuasai, terbelenggu, sehingga tidak mempunyai kebebasan dan tidak berharga lagi.
Perasaan-perasaan seperti itu bahkan dapat kian memburuk bahkan ketika mereka sudah terlepas dari pasangannya. Perempuan akan merasa trauma, tidak layak dicintai dengan pasangannya, karena tidak kuasa membangun suatu hubungan kembali.
Kenyataan seperti ini banyak kita temui khususnya di masyarakat Indonesia. Masyarakat kita yang masih lekat dengan sistem patriarkinya seolah mendorong dan menguatkan persepsi bahwa laki-laki harus selalu dominan dan menguasai sisi kehidupan; termasuk dalam hubungan percintaan dengan perempuan. Hal inilah yang akan mengarah ke arah dating violance, walaupun tak menutup kemungkinan, kekerasan bisa saja terjadi kepada laki-laki, namun data menunjukkan bahwa korban rata-rata adalah perempuan.
Bila kita melihat pernyataan dari General Assembly of Human Rights Council, sebuah badan perlindungan hak asasi manusia dalam PBB, terdapat istilah memprihatinkan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan, yakni Femisida (femicide). Femisida merujuk pada tindakan kekerasan bahkan pembunuhan terhadap perempuan yang disebabkan oleh kebencian, dendam, dan perasaan bahwa seseorang (biasanya lelaki) menganggap perempuan sebagai sebuah kepemilikan sehingga dapat berbuat sesuka mereka. Kata ‘femisida’ dianggap berbeda dari pembunuhan biasa (homicide) karena menekankan pada adanya ketidaksetaraan gender, opresi, dan kekerasan terhadap perempuan yang sistematis sebagai penyebab pembunuhan terhadap perempuan.
Lembaga kesehatan dunia PBB, WHO menyatakan bahwa sebagian besar pelaku femisida adalah pasangan atau mantan pasangan korban. Inilah yang semakin meyakinkan kita bahwa kerentanan tindakan-tindakan destruktif/ kekerasan pada perempuan adalah tinggi dibanding dengan laki-laki dalam hubungan romantis.
Tercatat juga pada tahun 2018, berdasarkan data Lembar Fakta dan Poin Kunci Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan Tahun 2018, pelaku kekerasan seksual tertinggi di ranah privat/personal adalah pacar sebanyak 1.528 orang, diikuti ayah kandung sebanyak 425 orang, kemudian diperingkat ketiga adalah paman sebanyak 322 orang.
Lalu bagaimana seharusnya perempuan menyikapi hal ini? bagaimana jika mereka sudah terlanjur terjebak dalam dating violance? apa yang bisa mereka lakukan?
Sejumlah perempuan banyak yang akan tenggelam dalam kepasrahan dan ketidakberdayaan. Maka dari itu, beragam upaya seharusnya dapat dilakukan, perlawanan terhadap dominasi dan tindakan-tindakan destruktif bisa digencarkan dan disuarakan sehingga ada kesadaran bahwa perempuan pantas dilindungi bukan dikuasai; perempuan pantas dicintai dengan hati, bukan dengan birahi.
Bentuk perlawanan perempuan bisa digencarkan dengan mulai mengadopsi pemikiran-pemikiran feminisme. Kita akan dapat memaknai hal-hal penting yang ada dalam pemikiran feminisme.
Feminisme membawa pemikiran bahwa perempuan pada dasarnya sudah kuat dan bukan berarti mereka tidak berdaya dan tidak bisa melakukan apa-apa, namun yang menjadi perhatian adalah bagaimana cara dunia memandang kekuatan itu, “Feminism isn’t about making women strong. Women are already strong. It’s about changing the way the world perceives that strength.”-G.D Anderson. Kekuatan yang sebenarnya harus ditunjukan adalah kebijaksanaan seorang perempuan dalam bersikap dan mengambil keputusan.
Seorang perempuan harus mampu berpikir jernih dan peka tentang apa yang sedang terjadi dalam dirinya. Apakah itu dapat merugikan dirinya sendiri dan orang lain? atau apakah itu adalah hal yang sia-sia jika dilakukan? apakah hal yang sedang terjadi dalam sebuah hubungan adalah hasil keputusan bersama ataukah hanya sepihak? apabila sudah terjebak ke dalam arah dominasi laki-laki dan akhirnya kita sebagai seorang perempuan merasa tidak senang melakukannya, saat itulah seharusnya kita bisa berani untuk menentang dan bicara.
Seorang perempuan tidak boleh membiarkan laki-laki membuat semua keputusan. Keputusan seharusnya dapat dibicarakan dan memberikan dampak positif bagi kedua belah pihak; bukan sebaliknya.
Seorang perempuan harus dapat meyakinkan pasangannya atau apabila ia sedang mencoba membangun kembali hubungan yang baru. Apabila dipandang secara rasional, sebagian besar perempuan akan menolak gagasan jika mereka membutuhkan pasangan hanya untuk menjadi senang dalam jangka waktu singkat, sementara beberapa laki-laki mungkin tidak mempersoalkan itu bahkan terkesan hanya untuk bersenang-senang dalam menjalin sebuah hubungan. Hal inilah yang bisa menjadi perhatian dan bentuk perlawanan dari perempuan.
Perempuan harus dapat meyakinkan pasangannya bahwa hubungan yang dijalin tidak akan menghambat dirinya untuk bertindak tidak sesuai keinginannya, namun dapat menggambarkan bagaimana perempuan bisa menemukan diri mereka dalam kebahagiaan serta percaya diri. Pada tahap inilah, cinta membuat seorang perempuan merasa seperti orang yang dicintai dan mencintai secara setara.
Dengan begitu, kita menjadi tahu dalam perspektif feminis, kita sebagai perempuan bisa memaknainya, bahwa kita memiliki keberanian untuk bicara dan membuat keputusan. Berani bicara dan membuat keputusan yang bijak bisa menjadi bentuk kekuatan kita sesungguhnya, yang seharusnya dapat dilihat dunia sehingga kita bisa melawan banyak hal yang menentang dan membuat diri perempuan merasa tidak berharga.
Perspektif feminis akan bermanfaat untuk memperkuat hubungan dengan pasangan kita yang lebih sehat. Perlu diingat juga bahwa perspektif feminis tidak serta merta hanya dapat dimaknai oleh perempuan saja. Lebih dari itu, seorang laki-laki pun dapat memaknainya, sebab beberapa feminis juga berbicara soal kesempatan.
Dapat kita analogikan, seperti seorang ayah yang memberikan kesempatan bagi anak perempuannya untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi setara dengan anak laki-lakinya sebab ia melihat ada potensi yang besar dari anak perempuannya. Sehingga kita dapat mengatakan bahwa sang ayah juga mengadopsi pemikiran-pemikiran feminis dengan menyediakan kesempatan dan kebebasan yang sama bagi seorang perempuan.
Dalam hal inilah, perspektif feminis juga akan sangat relevan dengan generasi saat ini dimana kita sudah harus bisa berpikir kritis dan peka serta mempertanyakan segala hal yang terjadi antara dirinya dan lawan jenisnya. Perempuan bisa dengan berani mengungkapkan keputusan/ pendapatnya dan menekankan bahwa dirinya tidaklah pantas untuk ditindas atau didominasi oleh lawan jenisnya.
Sehingga dapat kita simpulkan bahwa kemungkinan-kemungkinan akan kerentanan perempuan terhadap tindakan destruktif dan dominasi dari pasangannya, dalam hal ini laki-laki, mungkin akan selalu ada. Hal tersebut menjadi sangat sulit untuk dihindarkan sebab semua manusia akan selalu bertindak menurut hasrat dan keinginannya sendiri. Kita mungkin tidak dapat mencegahnya karena ketidaktahuan kita mengenai apa yang akan terjadi oleh orang lain terhadap kita sebagai perempuan, namun kita bisa melawannya.
Melawan dengan memulai memahami apa yang tengah terjadi pada diri sendiri, apakah itu melukai fisik dan mental kita atau tidak. Dengan mulai memahami situasi, kita akan bisa mengerahkan kekuatan kita untuk melawan apa yang seharusnya tidak terjadi pada diri kita.
Pemikiran feminis memberikan dorongan bagi kita sebagai perempuan maupun laki-laki bahwa setiap orang berhak memilih kebahagiaannya dan berani menolak dengan tegas jika itu tidak membuat kita bahagia.
Referensi:
Komnas Perempuan (2018), Lembar Fakta dan Poin Kunci, Tergerusnya Ruang Aman Perempuan, Jakarta : Komnas Perempuan, diterbitkan pada 7 Maret 2018, diakses dari pada April 2020 https://www.komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/SIARAN%20PERS%202018/Lembar%20Fakta%20Catahu%207%20Maret%202018.pdf
Komnas Perempuan (2019), Laporan Independen Lembaga Nasional HAM tentang 25 Tahun Pelaksanaan Kesepakatan Global Beijing Platform for Action (BPfA+25), diterbitkan pada September 2019, diakses pada April 2020, https://www.komnasperempuan.go.id/file/Laporan%20Independen%20Komnas%20Perempuan%20BPfA+25%20(1).pdf
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
*Syafira Kesuma, mahasiswi program studi Kriminologi, Universitas Indonesia, Jakarta