Setelah 120 tahun surat-surat Kartini “Habis Gelap Terbitlah Terang”, perkawinan anak dan kesehatan reproduksi masih menjadi problem serius di Indonesia
*Yasinta- www.Konde.co
Gita, bukan nama sebenarnya adalah seorang pedagang jajanan pasar yang berjualan di sudut perumahan. Berbeda dengan anak seumurnya yang banyak bermain, Gita (16) harus berjualan untuk membantu ekonomi keluarganya.
Di satu waktu kami bertemu di sudut perumahan, di tenda kecil dengan meja yang kokoh yang tidak jauh dari tempat tinggal saya. Disaat itu kebetulan saya sedang mencari sesuatu untuk menjadi menu sarapan saya. Tidak salah lagi, itu Gita yang sedang menjajakan jajanan pasarnya.
Setelah membeli sarapan, kami pun ngobrol, mulanya Gita bercerita tentang pendapatan yang dihasilkan dari penjualan jajanan pasar. Dalam sehari Gita bisa menjual jajanan pasar 100 buah, satu jenis jajanan pasar ia jual dengan harga Rp. 2 ribu.
“Kalau biasanya sih, dalam sehari bisa dapat untung bersih sekitar Rp 50.000,”tutur Gita.
Sambil memilih jajanan pasar, pandangan saya pun tertuju kepada perut Gita yang terlihat buncit. Saya bingung apakah perut Gita itu memang bertambah gemuk atau Gita memang sedang hamil?
Saya lalu mencoba memberanikan diri untuk bertanya kepada Gita.
“Sudah berapa bulan Git ? sambil ku usapkan tanganku ke perutnya,” tuturku penuh dengan keraguan
“Oh, iya sudah menginjak usia 8 bulan kehamilan mbak,” tuturnya.
Tidak lama lagi Gita akan melahirkan. Usia Gita masih 16 tahun. Saya sedih sekali.
Ketika saya memalingkan pandangan, kemudian Gita pun bercerita tentang pernikahannya. Sambil ragu Gita bercerita, “Saya terlena akan cinta yang pada akhirnya membuat saya menghasilkan tanda dua garis biru, tanda dimana membuat cita-cita dan angan-angan menjadi sirna begitu saja, saya sebenarnya tidak menginginkan hal itu terjadi. Ingin rasanya saya bangun dari mimpi buruk ini, saya tahu yang saya lakukan itu salah. Namun, nasi sudah menjadi bubur dan akhirnya saya harus mempertanggungjawabkan apa yang telah saya mulai dan harus merelakan pendidikan karena saya tidak kuat terhadap hujatan-hujatan yang menimpa diri saya.”
Saya pun kaget mendengar kisahnya, ternyata sangat pilu dan sedih. Namun yang paling membuat saya terkaget lagi adalah kenyataan bahwa yang datang untuk menikahi Gita bukan ayah dari calon anak tersebut, melainkan kakak dari ayah calon anak tersebut.
Gita tidak mau mengambil pusing dan tidak mau memaksa jika pada akhirnya pasangannya akan meninggalkan dirinya dan anaknya. Gita lebih baik memutuskan untuk tidak ada pernikahan jika keadaannya seperti ini. Lebih baik fokus pada pertumbuhan janin yang ada di rahimnya. Saya takjub dengan keputusan Gita, dia hadapi kenyataan pahit ini dengan sendiri.
Sambil berjalan pulang saya termenung setelah mendengar pengalaman kehidupan yang begitu berat.
Itu cerita saya bersama Gita beberapa tahun yang lalu. Kini, Gita telah menikah dengan laki-laki baru yang mencintainya.
Tersiar kabar bahwa saat ini Gita tidak lagi berjualan jajanan pasarnya. Menurut informasi, Gita memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga dan mengurus anaknya. Anak Gita kini sudah 2. Saya tidak tahu rumahnya dimana sekarang karena Gita sudah pindah rumah.
Pasti masih banyak Gita lain yang hidup di sekitar kita, hamil di masa sekolah, ditinggalkan oleh pasangannya dan harus menanggung nasibnya sendiri.
Ini merupakan tindakan kekerasan seksual, perempuan ditinggalkan oleh pasangannya dan sendirian hamil, melahirkan dan harus sendirian mengasuh anaknya. Sedangkan laki-laki pasangannya, masih bisa melanjutkan sekolah dan entah kebebasan apa lagi yang bisa ia nikmati, namun perempuan yang hamil tak bisa menikmati lagi haknya untuk bersekolah dan menentukan nasibnya.
Hamil dan melahirkan dalam usia anak seperti Gita beresiko sangat tinggi, rahim yang belum kuat dan menimbulkan resiko kematian pada ibu dan janin. Semua orang harus waspada dengan ini karena perempuanlah yang menanggung resikonya. Jangan ada korban lain lagi.
Selain itu, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) adalah salah satu cara untuk meminimalisir jumlah kekerasan terhadap perempuan Indonesia yang harus segera disahkan.
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
*Yasinta, sehari-hari aktif di Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Bogor. Hobi nonton film drama Korea, makan dan jalan-jalan