*Luviana- www.Konde.co
Bersama Eko Bambang Subiantoro, Estu Fanani menyampaikan keinginannya untuk mendirikan sebuah media perempuan. Ia resah dengan banyaknya media yang masih melakukan sensasionalisme terhadap tubuh perempuan
“Biar ada media yang mendukung perjuangan kawan-kawan di gerakan perempuan, mbak,” kata Estu kala itu.
Pertemuan di awal tahun 2016 itu diinisiasi oleh Estu Fanani dan Eko Bambang, aktivis Aliansi Laki-Laki Baru, di sebuah kedai di Senayan, Jakarta pada awal tahun 2016.
Dari pembicaraan sore itu, selain saya yang hadir disana, ada juga Melly Setyawati dan Rini Susanti yang selama ini bekerja di sebuah production house serta aktivis perempuan, Poedjiati Tan yang bergabung namun masih berada di Surabaya.
Jadilah kami kemudian mendirikan www.Konde.co, 8 Maret 2016, tepat di hari perempuan internasional. Setelah itu, mantan jurnalis yang banyak berkiprah dalam penerbitan buku, Sica Harum bergabung beberapa bulan kemudian.
Estu Fanani sudah kami kenal sejak lama di gerakan perempuan, kiprahnya di LBH APIK sejak tahun 2002-2010 hingga sebagai Direktur LBH APIK Jakarta sudah sering kami dengar. Melly yang bekerja di LBH APIK bersama Estu Fanani disana kala itu.
Bekerja untuk para perempuan korban kekerasan seksual, bekerja siang malam dan mengusahakan agar korban cepat mendapatkan keadilan sudah lama dilakukan Estu.
Padahal ia adalah lulusan perikanan di Universitas Diponegoro, ilmu yang dipelajarinya tidak berhubungan dengan isu kekerasan terhadap perempuan.
“Sebenarnya aku lebih cocok mengurus kekerasan dan diskriminasi yang dialami ikan-ikan, mbak,” selorohnya sambil tertawa pada saya kala itu.
Waktu itu saya bertanya, ia lulusan sarjana hukum dari mana, karena komitmennya yang tinggi pada perempuan korban kekerasan seksual dan harus mendampingi kasus-kasus hukum di pengadilan dalam kerja-kerjanya.
Setelah di LBH APIK, Estu kemudian bekerja sebagai Koordinator Cedaw Working Group Indonesia (CWGI) sejak tahun 2012-2016, menjadi peneliti di Semerlak Cerlang Nusa, di Kalyanamitra, dan juga di Pantau serta di Lembaga yang memperjuangkan hak para disable, YAPESDI.
Dalam kerja-kerja volunterism, tak ada yang meragukan Estu. Ia banyak bekerja dalam diam untuk korban kekerasan seksual, bekerja untuk buruh perempuan dan pekerja rumah tangga, mempercepat proses penyelesaian kasus.
Estu adalah aktivis yang bekerja di banyak ruang, ia tak pernah merasa terbebani jika diminta untuk membantu kerja-kerja di jaringan apapun. Terakhir, Estu juga menjadi ketua Koperasi untuk perempuan, Komunitas Tanah Baru dan berada di balik panjangnya advokasi Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual dan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 2 hal berat yang lama diperjuangkannya.
Beberapa teman mengenalnya sebagai orang yang tak pernah marah, berbicara dengan nada rendah dan selalu menghormati orang, selalu respek dengan apa yang dilakukan orang lain.
Saya menjadi sangat dekat dengan Estu Fanani, selain di www.Konde.co, Estu juga membantu terwujudnya catatan hitam buruh perempuan, sebuah catatan yang dikeluarkan setiap hari buruh 1 Mei yang berisi kasus-kasus yang menimpa buruh perempuan di Indonesia bersama jaringan buruh dan PRT yang sama-sama kami kelola sejak tahun 2012. Ia selalu membantu mengusahakan banyak hal, dari upaya mengumpulkan dana jika kami melakukan aksi, kampanye, hingga kerja-kerja teknis seperti membeli nasi bungkus, menyediakan minum, memesan spanduk dan lainnya. Estu mau mengerjakan apa saja.
Di Konde.co, Estu membantu di jaringan perempuan dan sesekali menulis.
Hingga kabar duka itu kami dengar, 17 April 2020 sore hari. Poedjiati Tan adalah kawan baik yang selama ini banyak mendukung dan merawat Estu Fanani. Sejak Desember 2019 Estu sudah mengalami sakit. Saya dan Mutiara Ika Pratiwi dari Perempuan Mahardhika, menengoknya di sebuah rumah sakit di Jakarta kala itu. Mutiara Ika tak pernah menyangka jika itu adalah perjumpaan terakhirnya. Semua orang menyatakan kaget, tak percaya dengan kepergian Estu Fanani.
Kondisinya berangsur memburuk sejak Februari 2020 karena Sindrom Mielodisplasia yang dideritanya. Estu berpulang di usia 46 tahun.
Dalam laman di facebook dan dalam perbincangan kami, Melly Setyawati menuliskan Estu sebagai orang yang tak kenal pamrih. Melly juga kaget ketika saya meneleponnya. Ia belum mendengar kabar kepergian Estu.
“Entahlah, saya selalu menjadikanmu tolak ukur moral gerakan tanpa pamrih, mbak Estu. Setiap saya lunglai, saya nanya, mbak Estu dimana? Kami karaoke dan makan serta ngobrol tak jelas. Hari ini saya kehilangan kakak, panutan dan teladan serta kawan berkeluh kesah. Terakhir obrolan kita soal kematian, saya tanya ke Mbak Estu. Mbak, kenapa ya orang baik lebih cepat mati? kok yang jahat ini awet banget hidupnya?.”
Sambil ngakak, Estu bilang,”Iya karena orang baik tidak punya uang untuk sehat.”
Celetukanmu itu buat aku ngakak sejadi jadinya. Obrolan terakhir 3 jam-an itu tidak mau berhenti seolah olah kita tidak akan pernah bertemu lagi. Kala itu kamu memelukku erat. Dan itu ternyata menjadi perpisahan dan pelukan terakhir.
Advokat di LBH APIK Jakarta, Uli Pangaribuan menulis bahwa 10 April 2020 kemarin ia dan Estu masih saling menelepon, saling berkabar dan menanyakan kondisi Estu.
“Seperti biasa Mbak Estu pasti bilang sudah sehat dan sudah baik dengan tetap tersenyum. Sudah banyak rencana sehabis Covid 19 kita mau ngapain saja.”
Semua tak percaya Estu Fanani bisa pergi secepat ini. Poedjiati Tan merawat, mengurus kepergian Estu hingga saat terakhirnya dan dimakamkan di Yogyakarta, 18 April 2020.
Selamat jalan Estu Fanani, sakitmu sudah hilang. Terimakasih untuk kebaikan hati, perjuangan untuk gerakan perempuan Indonesia, dan kasih sayangmu selama ini. Kami akan terus mengenangmu dan melanjutkan perjuanganmu.
Kau selamanya akan selalu ada dihati kami. Tak pernah tergantikan!
*Luviana, setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar ilmu komunikasi di sejumlah universitas di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas