Panggil saja Dila, seorang gadis berusia seperempat abad lebih. Dila tinggal di sebuah desa dengan culture yang agak unik. Hal unik itu berupa kekhawatiran masyarakat perihal jodoh bagi warga desanya.
Desa tersebut cukup kental dengan nuansa santri, ini dibuktikan dengan adanya beberapa pondok pesantren yang besar dan terkenal. Masalah utamanya terletak pada pemikiran warga desanya khususnya para lansia
Masyarakat desa tersebut memiliki kekhawatiran dan ketakutan perihal jodoh pemuda dan pemudinya. Yang mana mereka akan berusaha mencarikan dan menjodohkan setiap anak remaja perempuan dengan kriteria usia diatas 17 tahun, yakni sudah lulus SMA dengan para perjaka di desanya. Kondisi ini telah terjadi selama bertahun tahun. Mereka akan membidik anak perempuan yang sedang duduk di bangku SMA, yang kemudian akan mereka datangi untuk menawarkan pernikahan ketika anak tersebut lulus.
Termasuk Dila. Dila sering kali berusaha dijodohkan dan dikenalkan oleh laki-laki di satu desanya sejak lulus SMA. Umumnya sebuah perjodohan, ini dilakukan oleh kedua orang tua atau keluarga. Di desa tersebut cukup berbeda dimana siapa saja bahkan tanpa memiliki ikatan darah menyarankan dan mengenalkan seseorang secara random dengan tujuan agar mereka bisa menikah. Model perjodohan yang dilakukan beragam, ada yang langsung dikenalkan, dan ada yang berawal dari sebuah candaan dan lagi-lagi Dila kena imbasnya.
Baca Juga: Ini Fenomena Waithood, Perempuan Tunda Menikah karena Beban Sandwich Generation dan Trauma
Singkat cerita, Dila merupakan seorang anak bungsu dari empat bersaudara. Dia memutuskan untuk bekerja setelah lulus SMA. Selama ini Dila sering menjadi korban gosip dan hoax dari para tetangganya. Mulai dia yang digosipkan dekat dan berkencan dengan laki-laki sebelah desa, atau Dila yang digosipkan mempunyai pacar seorang pemain rebana, dan masih banyak lagi. Bahkan bisa dikatakan apa yang warga desanya lakukan, tergolong pada sebuah fitnah. Sikap dan perilaku mereka sebenarnya hanyalah ingin mendengar Dila memiliki pasangan, karena memang Dila tidak pernah menunjukkan kedekatannya dengan lawan jenis secara publish.
Di desa tersebut, mayoritas warganya bekerja sebagai petani, salah satunya petani bawang merah. Ada sebuah cerita yang beredar dari perkumpulan ibu-ibu di tempat pengepul bawang merah atau disebut dengan pethet brambang. Ada seorang laki-laki muda, sebut saja Budi namanya, yang juga bekerja disitu bersama ibu-ibu. Mereka membuat candaan dengan menjodoh-jodohkan laki-laki tersebut dengan Dila tanpa sepengetahuannya.
Cerita pun dimulai ketika Budi baper dengan candaan tersebut, dia mulai mencari kontak Dila dan berusaha untuk berkomunikasi dengan mengutarakan perasaannya. Dila pun dengan tegas menolak ajakan Budi karena memang Dila tidak kenal dengan laki-laki tersebut. Situasi mulai canggung ketika beberapa kali Dila di untit di jalan ketika dia pulang dari kerja dan beberapa kali ditunggu oleh Budi di dekat tempat kerjanya.
Baca Juga: Angka Nikah Terus Turun? Ngobrol Bareng Gen Z Kenapa Mereka Ogah Menikah Cepat
Selain itu, Dila sering kali dikabarkan dan digosipkan memiliki pasangan. Salah satunya yakni Dila digosipkan sedang menjalin hubungan dengan laki-laki yang berasal dari desa lain. Orang-orang mengetahui ciri-ciri laki-laki tersebut bahkan mengetahui daerah, rumah dan pekerjaannya. Bahkan diceritakan ada seorang warga yang sempat memergoki Dila berboncengan dengan laki-laki tersebut. Sedangkan Dila sendiri tidak pernah merasa menjalin hubungan dengan laki-laki itu. Hal tersebut membuat Dila merasa tidak nyaman dengan kondisi lingkungannya dan lagi-lagi Dila menjadi objek imajinasi mereka.
Kisah yang mirip juga terjadi pada perempuan-perempuan muda lainnya. Sebut saja Galuh, semenjak dia duduk di bangku akhir sekolah menengah atas, banyak sekali yang menawarinya untuk menikah dengan seseorang.
Perjodohan tersebut datang dari berbagai pihak, keluarganya, saudaranya, tetangganya,warga desanya bahkan orang asing yang tidak dikenalnya. Galuh dicomblangkan dengan beberapa laki-laki baik yang ada di desanya maupun yang di luar desanya.
Salah satu kisah yang sedikit mengiris yakni ketika Galuh meneruskan sekolah ke jenjang kuliah, lebih tepatnya ketika semester 4. Paman Galuh datang dan berusaha menjodohkan Galuh dengan laki-laki yang berasal dari desa lain. Background laki-laki yang bekerja sebagai pahlawan devisa ini dianggap cukup mapan dan mampu untuk membahagiakan Galuh. Asumsi tersebut berangkat dari background Galuh yang berasal dari keluarga sederhana. Sampai muncul sebuah paksaan dari sanga paman bahwa Galuh harus menikah dengan laki-laki tersebut. Namun, Galuh menolak dan diwaktu yang sama keluarganya tidak mendukung Galuh untuk menikah.
Baca Juga: Memilih untuk Tidak Menikah Bukanlah Kegagalan Bagi Perempuan
Namun ketika Galuh telah lulus, tidak ada seorangpun dari warga desa dan sekelilingnya yang menawarinya untuk menikah. Setelah beberapa kali berbincang dengan saya, Galuh berkata bahwa tidak ada lagi sebuah perjodohan tersebut dikarenakan mereka tidak berani dengan tingkat pendidikan Galuh. Bisa dikatakan bahwa warga desa tersebut menyasar perempuan muda yang berusia 17 tahun ke atas dengan tingkat pendidikan SMA.
Sistem perjodohan seperti itu terulang beberapa kali. Jujur, ketika mendengar kisah Dila, Galuh dan teman lainnya, saya merasa miris sekaligus penasaran. Muncul sebuah pertanyaan di benak saya, mengapa warga desa tersebut memiliki konstruksi pemikiran seperti itu?. Mengapa mereka sangat harus mencarikan jodoh bagi remaja di desa dan mengapa mereka sangat ingin remaja desanya segera untuk menikah. Bukankah harusnya itu perihal privasi seseorang, ataupun itu urusan keluarga masing-masing?.
Fakta unik terkuak setelah saya bertanya ke beberapa teman yang tinggal di desa tersebut. Yang aman masyarakat desa tersebut memiliki kisah kelam dengan adanya para jejaka tua dan perawan tua. Dimana dahulu banyak jejaka yang tak kunjung menikah dan berakhir dengan hidup sendiri dan berstatus sebagai perjaka tua. Hal tersebut juga berlaku bagi perempuan. Sehingga warga desa merasa khawatir ketika melihat anak muda yang belum menikah. Mereka merasa takut jika kisah masa dahulu terulang dengan adanya anak muda yang belum menikah.
Fakta lainnya yang mungkin menjadi dasar kekhawatiran mereka yakni desa tersebut dahulu memiliki banyak gemblak. Yang Mana hubungan antara gemblak dan bapaknya cukup kelam dengan stereotip homoseksual. Dan memang ada beberapa orang tua yang dahulunya memiliki gemblak memilih untuk tidak menikah. Adapun jika mereka menikah, mereka tidak memiliki anak sampai sekarang.
Baca Juga: Suami Palsukan Akta Cerai untuk Nikah Lagi, Bisakah Diproses Hukum?
Kisah dimasa lalu tersebut bisa dikatakan menghantui warga desa, kekhawatiran mereka akan perawan tua dan jejaka tua tersebutlah yang menjadi alasan dibalik tindakan mereka. Dengan tindakan tersebut dianggap dapat menjadi jalan agar para perempuan di desa tersebut segera menikah. Padahal dalam sebuah pernikahan ada banyak hal yang harus dipertimbangkan. Tidak hanya sekedar menikah sebagai sebuah status terutama menikah di usia yang masih muda.
Selain Dila dan Galuh, saya juga beberapa kali berbincang dengan beberapa teman dari desa tersebut yang sudah menikah, lebih tepatnya menikah diusia muda. Mereka mengatakan kepada saya bahwa mereka menyesal karena telah menikah di usia muda. Terlebih lagi dengan kondisi ekonomi yang belum mapan, kondisi mental yang masih labil serta tuntutan dan ekspektasi dari diri sendiri dan lingkungan. Problem yang mereka harus hadapi serta peran-peran yang mereka harus pikul cukuplah berat. Dimana selain mereka menjadi istri, menjadi ibu rumah tangga, mereka juga harus menjadi ibu dan juga harus ikut membantu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
Dalam hal ini, bisa dikatakan bahwa perempuan di objektifikasi oleh warga desa tersebut. Sebenarnya tidak hanya perempuan, tetapi kaum laki-laki juga. Objektifikasi tersebut cukup terlihat ketika mereka mengutarakan perjodohan tersebut. Mereka akan menawarkan laki-laki ke seorang perempuan yang mereka anggap sudah pas untuk menikah. Begitupun sebaliknya, mereka juga akan menawarkan perempuan dari pihak laki-laki. Bentuk tindakan menawarkan inilah yang menjadikan seseorang tersebut seperti benda semata. Padahal mereka memiliki kesempatan untuk memilih, dipilih, menolak, menerima dan mengambil keputusan.
Baca Juga: Tentang Childless: Mendengar Pengalaman Perempuan yang Hidup Tanpa Anak
Persoalan pernikahan pun, dari tindakan warga desa tersebut tidaklah mempertimbangkan persoal intern maupun ekstern dari seseorang. Dimana goals mereka hanyalah pernikahan itu dan bukannya hidup bersama dalam sebuah pernikahan.
Mereka tidak mempertimbangkan dari segi kemapanan ekonomi, tingkatan pendidikan, kesiapan mental, karakter dan background seseorang.
Bisa dikatakan bahwa mereka tidak melihat dan memperulihan hal tersebut. hal tersebutlah yang cukup meresahkan, dimana jodoh dan hidup perempuan menjadi milik semua orang dan bukan milik perempuan itu sendiri.