Monika Winarnita, Deakin University; Nicholas Herriman, La Trobe University, dan Petra Mahy, Monash University
Artikel ini bagian dari rangkaian untuk memperingati Hari Ibu di Indonesia atau Hari Perempuan pada 22 Desember 2019
Kita merayakan ‘Hari Ibu’ untuk memperingati Kongres Perempuan Indonesia 1928 yang menandai keterlibatan perempuan dalam perjuangan kemerdekaan.
Acara publik, biasanya dipimpin oleh istri para pejabat tinggi, diadakan untuk memperingati Hari Ibu. Tidak hanya menyampaikan pesan tentang nasib perempuan, tapi juga kekuatan dan peran mereka di negara ini.
Hari Ibu berdiri di atas citra ibu, sebagai istri dan ibu yang berbudi luhur; tapi ini bukan satu-satunya stereotip feminitas di Indonesia.
‘Janda’ adalah istilah yang mencakup perempuan yang ditinggal mati oleh pasangannya atau yang bercerai. Karena tidak lagi berada dalam pernikahan heteroseksual dan tidak memiliki pasangan laki-laki, janda telah kehilangan status ibu yang dihormati dan dianggap terbuka untuk berhubungan intim dengan lelaki lain. Dengan kata lain, janda adalah antitesis dari ibu yang ideal.
Studi oleh kami dan peneliti lain mengenai stigmatisasi janda menemukan bahwa stereotip janda ada di jantung kehidupan perempuan di Indonesia. Sering kali stereotip tersebut menyebabkan para janda menjalani kehidupan sulit dan terpinggirkan di komunitas mereka.
Stereotip ibu vs janda
Stereotip mengenai ibu berkembang terutama selama periode Orde Baru Soeharto (1966-1998) dan sesudahnya. Negara telah menumbuhkan gagasan ideal feminitas berdasarkan citra ibu: perempuan yang patuh pada sifat biologis sebagai istri dan ibu yang penuh kasih.
Ideologi gender yang eksplisit ini menekankan pernikahan heteroseksual penuh kesetiaan. Bagi perempuan, menjadi seorang istri dan ibu adalah cara untuk berkontribusi kepada masyarakat. Bekerja dan menghasilkan uang dapat diperbolehkan asal tidak mengganggu tugas utama yang disematkan pada perempuan.
Ideologi negara ini pada dasarnya disampaikan selama Hari Ibu dan Hari Kartini, ketika orang Indonesia memperingati pahlawan pemberdayaan perempuan Raden Ajeng Kartini.
Dalam literatur feminis, baik dari dalam Indonesia maupun oleh pengamat asing, citra ‘ibu’ yang dibangun oleh negara ini dikritik.
Kritik utamanya adalah bahwa kelompok-kelompok perempuan yang direstui negara seperti Dharma Wanita (organisasi istri pegawai negeri sipil) memperkuat paradigma resmi mengenai peran utama perempuan di wilayah domestik di atas peran sebagai warga negara yang setara dan mampu berkontribusi dalam arena publik.
Sementara itu, wacana resmi tidak menyampaikan citra janda. Namun, penggambarannya lazim dalam budaya populer dan hal ini mempengaruhi kehidupan nyata para janda.
Janda, terutama apabila masih muda dan menarik, dianggap tidak bermoral dan penuh berahi. Laki-laki berfantasi mengenai janda, sementara perempuan yang sudah menikah takut bahwa janda akan menggoda suami mereka. Budaya populer dan gosip dari mulut ke mulut mereproduksi citra ini, yang mengarah ke pengucilan dan stigma di kehidupan nyata.
Penelitian etnografi
Penelitian etnografi kami mengeksplorasi bagaimana stereotip janda mempengaruhi identitas sosial dan pilihan mata pencaharian para janda di tiga komunitas berbeda: sebuah desa di Jawa, kota pertambangan di Kalimantan yang didominasi migran antar pulau, dan di antara orang Indonesia yang tinggal di Australia.
Situs-situs ini memiliki hubungan, yaitu perjalanan kehidupan yang mungkin membawa seorang perempuan menikah dan bercerai di kampung halamannya di Jawa, lalu bermigrasi ke Kalimantan untuk mencari pekerjaan, dan akhirnya bertemu dan menikah dengan seorang pekerja tambang asing dan ikut dengan suami barunya ke negara asalnya.
Sebagai seorang peneliti laki-laki di desa Jawa, Nicholas Herriman mengamati laki-laki yang mendiskusikan hasrat mereka pada janda. Para lelaki memberitahu satu sama lain tentang seorang janda lokal dan berpikir untuk merayu mereka. Laki-laki meyakini bahwa janda berpengalaman secara seksual, kesepian dan terbuka untuk hubungan seks, baik ‘gratis’ atau dibayar.
Terlepas apakah janda tersebut seorang pekerja seks komersial atau bukan, dia akan dilihat dengan anggapan yang sama. Patut dicatat, ketertarikan pada seorang ibu tidak ada dalam gosip antar lelaki ini.
Selain menjadi objek dalam gosip berahi, janda sering dikucilkan dari kegiatan sosial yang dilakukan oleh ibu-ibu yang dihormati. Namun, mereka juga terkadang merasa lega karena terbebas dari permintaan uang untuk rokok dan judi dari suami mereka terdahulu.
Beberapa janda bermigrasi untuk keluar dari stigma janda dan atau untuk mencari pilihan penghidupan yang lebih baik. Petra Mahy mewawancarai beberapa janda migran tersebut di sebuah kota pertambangan di Kalimantan. Dia menemukan bahwa stereotip itu tetap lazim bahkan dalam populasi migran multietnis di sana.
Para janda migran menceritakan bagaimana mereka perlu melindungi diri dari pendekatan oleh laki-laki, termasuk dari perkosaan, sambil berjuang untuk mencari nafkah.
Misalnya, seorang janda mengatakan dia menemukan lebih banyak kebebasan pribadi dan finansial setelah kematian suaminya. Namun dia selalu membawa gunting kecil untuk berjaga-jaga kalau terjadi situasi yang tidak diinginkan saat bersama laki-laki.
Seorang perempuan lain, seorang janda cerai yang menjadi pekerja seks komersial di usia dua puluhan, mengatakan sulit hidup sebagai janda ketika dia dulu di Jawa. Dia tidak memiliki tempat tinggal, orang-orang akan bergosip tentang dia dan para perempuan takut kalau suami mereka berbicara kepadanya. Paling tidak di Kalimantan, katanya, dia bisa mendapatkan uang secara tanpa orang tahu dan mengirimkan uang tersebut untuk menafkahi anak-anaknya.
Bahkan janda yang bermigrasi ke negara lain tidak dapat membebaskan diri mereka dari stereotip tersebut.
Monika Winarnita melakukan penelitian di kalangan perempuan migran Indonesia di Australia. Para perempuan ini membentuk kelompok tari budaya Indonesia.
Beberapa penari, sebelumnya janda, telah menikah kembali dengan laki-laki Australia kulit putih, masuk ke kehidupan yang aman secara finansial dengan suami mereka di Australia. Namun mantan janda ini tampaknya tidak mendapat hak atas status sosial tinggi yang disediakan untuk istri pejabat konsuler dan ibu lainnya yang sangat dihormati. Tentu ini disebabkan sebagian karena keangkuhan sosial. Tapi hal tersebut juga mencerminkan stereotip negatif tentang masa lalu mereka dan pandangan miring tentang bagaimana para mantan janda ini bertemu dengan suami kulit putih mereka.
Di ketiga situs, janda diasingkan dari berbagai kegiatan sosial utama, dan ini adalah salah satu alasan mengapa rumah tangga mereka termasuk di antara yang termiskin.
Sarana untuk perubahan
Secara keseluruhan, penelitian kami menunjukkan bahwa stereotip janda melekat ke kehidupan perempuan Indonesia yang menyandang status ini. Mereka sering dikejar oleh laki-laki dengan anggapan bahwa mereka terbuka untuk hubungan seksual.
Beberapa janda berupaya menjaga reputasi mereka dengan menghadirkan citra yang baik, sambil berusaha memenuhi kebutuhan.
Meski harus diakui bahwa mengubah stereotip budaya yang mengakar itu sulit, bagi kami tampaknya hari-hari nasional seperti Hari Ibu memberikan kesempatan bagi para pemimpin Indonesia, organisasi masyarakat sipil, dan pembuat kebijakan untuk secara eksplisit mengakui kesulitan yang dihadapi oleh janda dan perempuan-perempuan lain yang hidup dalam kehidupan yang tidak menentu dan terpinggirkan di komunitas mereka.
Cara pandang alternatif dapat muncul seperti yang terjadi pada 2017 ketika siswa berdemonstrasi pada Hari Ibu menuntut pengakuan akan kesulitan yang dihadapi oleh para janda.
Kehidupan janda lebih dari sekadar stigma, rasa malu, dan kesempatan yang diidentifikasikan di sini, seperti halnya kehidupan menjadi perempuan Indonesia lebih daripada sekadar menjadi ibu. Jadi mungkin sekarang saatnya untuk merefleksikan dan merangkul berbagai jenis identitas perempuan di Hari Ibu.
Aisha Amelia Yasmin menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.
Monika Winarnita, Lecturer, Indonesian Studies, School of Humanities and Social Sciences, Deakin University; Nicholas Herriman, Senior Lecturer in Anthropology, La Trobe University, dan Petra Mahy, Senior Lecturer, Department of Business Law and Taxation, Monash University
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.