Sejumlah guru masih menganggap bahwa pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi tidak usah diajarkan di sekolah, karena ada anggapan takut jika siswa-siswinya malah mau mencoba-coba hal yang dianggap tabu.
*Tika Adriana- www.Konde.co
Rahmi, seorang guru Sosiologi di sebuah SMA di Jakarta menuturkan tentang masih banyaknya guru yang menganggap pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi tak perlu diajarkan di sekolah.
Penyebabnya karena takut murid-muridnya melakukan hal yang dianggap tabu seperti melakukan hubungan seksual ketika masih anak-anak yang dapat membuat siswi perempuan hamil. Hal itulah yang menyebabkan banyak guru tak memberikan informasi secara terbuka kepada murid-muridnya tentang seksualitas.
Padahal memberikan pendidikan seksualitas berarti memberikan pendidikan soal ketubuhan, haknya sebagai manusia yang berkuasa atas tubuhnya, haknya untuk menolak kekerasan dan pelecehan yang dilakukan orang lain atas tubuhnya.
Jika ini didapatkan sejak murid-murid membutuhkan, maka mereka bisa melindungi tubuhnya, menghargai tubuhnya, sekaligus menghargai tubuh orang lain sejak dini.
Sebetulnya Rahmi dan beberapa guru di sekolahnya pernah menyinggung tentang pendidikan ini di sekolah, namun mereka tetap saja khawatir jika muridnya akan ‘mencoba-coba’.
“Hanya sebatas tahu waktu pelajaran biologi, kalau di luar jam pelajaran biologi masih kurang. Mereka hanya tahu sebatas organ intim, tapi kalau dampaknya dan segala macam, mereka masih belum paham hal kayak gitu. Gurunya sendiri pun masih anggapnya, ‘untuk apa sih kayak begituan?’ atau ‘untuk apa sih tahu?’. Padahal sebetulnya remaja tahu informasi kesehatan reproduksi,” ungkap Rahmi kepada Konde.co (8/4/2020).
Padahal menurut Rahmi, informasi tersebut semakin penting di masa sekarang, mengingat derasnya arus informasi digital. Ia khawatir, jika remaja tak mendapat informasi yang baik, mereka justru dengan mudah melakukan pelecehan seksual karena meniru.
“Misalnya beberapa waktu lalu ada video perempuan di pegang payudaranya, buat mereka itu lucu-lucuan, kalau bagi kita itu kan sesuatu yang sensitif, belum lagi bisa mengganggu psikologis bagi perempuan di video tersebut,” katanya.
Jika di sekolah tak diajarkan dan orangtua di rumah juga menganggap tabu, tamatlah riwayat pelajaran seksualitas dan kesehatan reproduksi ini. Sesuatu yang mudah untuk didapatkan, tapi ternyata sulit untuk diakses
Plt. Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Hamid Muhammad, mengakui bahwa sampai saat ini instansinya memang tak menyiapkan secara khusus standar pengajaran Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) di sekolah.
Di sekolah, Hamid menerangkan bahwa implementasi HKSR bisa dilakukan pada kegiatan intrakurikuler melalui integrasi tiga mata pelajaran; ekstrakurikuler melalui kegiatan Palang Merah Remaja/ PMR dengan menggunakan pedoman HKSR milik Kementerian Kesehatan; dan bimbingan konseling.
“Implementasinya langsung dilakukan oleh Kemenkes, dan Kemdikbud hanya sebagai pihak yang dilibatkan dalam pedoman dan penyusunan modul kespro,” ujar Hamid kepada Konde.co (29/4/2020).
Hamid menambahkan, materi HKSR dalam kurikulum pendidikan untuk siswa di sekolah diintegrasikan dengan beberapa mata pelajaran, seperti Pendidikan Agama dan Budi Pekerti, IPA, dan Pendidikan Jasmani Olahraga Kesehatan/ PJOK.
“Pendidikan Agama tentang bagaimana kita bergaul dengan lawan jenis dan masa aqil baligh; IPA ke arah pengenalan organ, perkembangan janin, penyakit dan kesehatan reproduksi pada hewan tumbuhan dan manusia; PJOK tentang mengenal pergaulan sehat,” tutur Hamid.
KUA juga Berperan Penting Memberikan Informasi Kespro
Aisyah Asfara dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) mengaku bahwa dirinya sebagai penyedia layanan kesehatan memang memiliki peran dalam memberikan informasi kesehatan reproduksi bagi remaja. Aisyah mengatakan, pihaknya beberapa kali berusaha memberikan program pendidikan seksualitas untuk remaja di sekolah-sekolah.
Mereka tak hanya menyampaikan di sekolah formal, tapi sejak tahun 2018, PKBI mulai masuk ke sekolah-sekolah inklusi.
Ini bermula sejak mereka melakukan riset tahun 2018 terhadap guru-guru di tiga sekolah disabilitas di Jakarta. Saat itu mereka menemukan fakta bahwa anak-anak disabilitas memiliki kasus yang serius terkait pendidikan seksualitas dan reproduksi: pelecehan seksual di dalam kelas oleh sesama siswa, ditipu oleh orang asing di facebook atau instagram, diajak bepergian oleh orang tak dikenal hingga terjadi pelecehan.
“Nah, kita memang ada program pendidikan seksualitas untuk remaja, yang tadinya kita bertahun-tahun untuk sekolah formal, akhirnya ketika dapat bahan itu untuk guru disabilitas, kita mulai bikin konsep bareng, audiensi ke Kementerian Pendidikan dan ditangkap baik oleh Direktorat Pendidikan Khusus Anak, kemudian kita adakan training untuk guru di tiga sekolah,” ujar Aisyah kepada Konde.co (26/2/2020).
Memang saat itu PKBI hanya memberikan pelatihan pada perwakilan guru, tapi kata dia, guru-guru itu akan menularkan materi ke guru lain di sekolah masing-masing. Di sekolah, para guru pun bertanggung jawab untuk menginformasikan informasi kesehatan reproduksi kepada murid dan orang tua. Sebab menurut Aisyah, orang tua juga berperan menginformasikan kepada anak terkait anatomi tubuh mereka.
Saat memberikan materi kepada para murid dan orang tua, mereka memilih menggunakan boneka perempuan dan laki-laki sebagai alat peraga. Boneka-boneka itu memiliki bagian tubuh yang lengkap.
“Ada bentuk tubuhnya mulai dari payudara sampai ujung kaki, ujung kepala, bahwa ini adalah tubuhmu, hanya kamu aja yang boleh pegang, kecuali kamu sakit, kalau kami sakit, yang boleh pegang adalah dokter,” tuturnya.
Meski peran penyedia layanan kesehatan dalam memberikan informasi kesehatan reproduksi itu penting.
Kusuma Dini, ibu dari tiga orang anak, menganggap bahwa kesehatan reproduksi merupakan tanggung jawab semua pihak, termasuk petugas Kantor Urusan Agama/ KUA melalui edukasi pra nikah.
“Saya inginnya itu di KUA kan ada edukasi pra nikah, itu sebetulnya ingin saya sampaikan bahwa tugasnya perempuan itu enggak cuma bisa melayani suami, tapi juga mampu mengedukasi suami dan anak-anaknya, tapi saya baca di modul KUA itu enggak detail,” tutur Dini.
Menurut Dini, dengan mengedukasi para calon pengantin tentang kesehatan reproduksi, mereka bisa mengajarkan pendidikan reproduksi ke anak-anak mereka atau lingkungan tempat tinggal mereka.
“Karena ketika aku dinas ke luar kota, ada waktu di mana saya harus bersama anak-anak dan ada waktu di saat saya tidak bersama mereka. Artinya, ketika mereka saya edukasi dengan hal-hal baik, itu akan jadi penenang buat saya ketika beraktivitas di luar. Jadi saya tenang,” kata Dini.
Dini pun menyebut, anak tertuanya yang berusia 16 tahun pun juga bisa menjelaskan kepada adik-adiknya mengenai pendidikan reproduksi dengan tepat. Bukan itu saja, penjelasan tentang pentingnya memahami kesehatan reproduksi tak hanya Dini berikan kepada suami dan anak-anaknya, tapi juga kepada para asisten rumah tangganya.
“Karena kalau saya lagi bicara di luar terkait kesehatan reproduksi, pekerja rumah tangga itu saya bawa juga, sebagai support system. Karena ketika saya sampaikan ini ke anak-anak, tapi kalau lingkungan terdekat mereka tidak ada, tidak bisa mensupport mereka, kan akan kembali lagi. Jadi kalau pekerja rumah tangga ini enggak paham, ya akan balik lagi,” ungkap ibu yang memiliki latar belakang pendidikan kesehatan reproduksi ini.
Anak-anak Dini pun pernah ditegur oleh saudara dan tetangganya karena menyebut vagina dan penis secara terang atau tak menggunakan nama lain, tapi ia selalu mengajarkan anak-anaknya agar mampu menjelaskan kepada orang lain.
“Ya mereka akan jawab, ‘aku diajarin bunda dan dari buku yang aku pelajari, anatomi tubuh kita seperti ini. Anak saya juga terbiasa cerita dengan teman-temannya terkait anatomi tubuh, kalau ada pertanyaan dari temannya, dia akan mengumpulkan bahan bacaan terkait supaya dia bisa menjelaskan ke teman-temannya,” kata Dini.
Kini Dini pun tenang karena memiliki support system yang baik dalam memberikan kesehatan reproduksi bagi ketiga anaknya.
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
*Tika Adriana, jurnalis perempuan yang sedang berjuang. Saat ini managing editor Konde.co