Sebagai jurnalis, tantangan dalam meliput isu LGBT justru datang dari pembaca yang membaca laporan jurnalistik saya. Meski bisa diuji kualitas jurnalistiknya, berita saya tetap dihujat sebagai berita sampah. Tuduhan lain, saya dituduh menerima dana asing, disebut gay, ini sudah menjadi rutinitas yang saya anggap angin lalu. Tulisan ini sebagai refleksi untuk memperingati Hari IDAHOBIT, 17 Mei 2020
*Rio Tuasikal- www.Konde.co
Saya masih ingat akhir April 2014 lalu. Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) saat itu, Asrorun Niam, membuat pernyataan kontroversial bahwa pelaku sodomi di sebuah sekolah internasional di Jakarta ‘adalah seorang homoseks’.
Saya baru jadi jurnalis selama 3 bulan dan sedang piket hari Minggu malam. Editor meminta saya menghubungi Lembaga “Suara Kita” untuk meminta tanggapan. Wawancara itu pun—yang menjelaskan bedanya pedofilia, kekerasan seksual, dan homoseksual—menjadi berita soal Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) pertama yang saya tulis sebagai pekerja media.
Tahun demi tahun, setidaknya sudah 30 liputan tentang LGBT yang saya tulis. Mulai dari IDAHOBIT 2014 atau Hari Internasional Melawan Homofobia, Transfobia dan Bifobia (International Day Against Homophobia, Transphobia and Biphobia), penutupan situs website “Arus Pelangi”, Transchool 2017, dr. Fidiansyah, sampai wisuda S2 Mami Yuli. Tak terkecuali, pernyataan Menristekdikti saat itu, M. Nassir, yang menyatakan LGBT tidak boleh masuk kampus—yang membuat isu ini makin sensitif sampai sekarang.
Tantangan Berlapis-Lapis: Dari Pembaca, Narasumber dan Redaksi
Pengalaman saya mengajarkan bahwa isu minoritas seksual itu susah-susah gampang. Sebagai jurnalis, saya tidak boleh menulis berita berdasarkan stigma dan prasangka. Saya pun diharapkan memberikan ruang yang adil bagi komunitas yang dimarginalkan. Selain itu, jurnalis juga dituntut melepas kacamata moral dan hanya memakai kacamata hukum.
Soal ini saya termasuk beruntung. Ketika masih mahasiswa, saya pernah mengikuti pelatihan soal sesi keberagaman di Mojokerto, Jawa Timur, yang melingkupi keberagaman agama, suku, dan juga seksualitas. Itu pertama kalinya saya mengenal konsep identitas dan orientasi seksual, saat itu pula saya mengenal individu-individu LGBT secara personal. Saya menjadi punya bekal.
Tantangan justru datang dari audiens yang membaca laporan jurnalistik saya. Meski bisa diuji kualitas jurnalistiknya, berita saya tetap dihujat sebagai berita sampah.
Ruang redaksi sendiri ternyata memberikan tantangan juga. Dua orang editor berbeda, pernah menegur saya. Yang pertama mengatakan, “Lo bisa nggak kalau nulis isu lain? Bosen LGBT terus,” seraya mengatakan ada pengamat ekonomi yang perlu saya wawancara.
Sementara yang kedua menegur saya ketika saya tidak mau memberikan ruang yang lebar kepada kelompok yang membenci LGBT. “Jangan karena kamu membela LGBT, kamu tidak mau menaikkan berita yang kontra,” katanya.
Di sisi lain, tidak seperti liputan harian, menulis isu LGBT membutuhkan jaringan narasumber yang sangat spesifik. Ini jauh lebih sulit ketimbang isu politik yang para pengamatnya hanya tinggal ditelepon.
Ketika ada 3 transpuan disemprot mobil pemadam kebakaran di Lampung, saya tahu saya perlu suara dari komunitas lokal. Saya pun menghubungi seorang kawan, yang menyambungkan saya ke perantara, yang kemudian menyambungkan saya ke komunitas setempat.
Perlu dicatat, untuk mendapatkan narasumber pada lingkaran ke-empat ini butuh waktu berjam-jam. Saya pun harus meyakinkan narasumber untuk bersedia berbicara ke media. Dia mengira saya hanya ingin menyudutkan seperti kebanyakan wartawan lokal di situ.
Terkadang pula kebutuhan saya untuk mewawancarai komunitas LGBT tidak disambut dengan kesediaan berbicara. Sesekali ada narasumber yang saya kenal—baik secara personal atau profesional—tidak bersedia direkam wawancaranya dan memilih ’tiarap’.
Ketika ada peristiwa aktual yang ramai diberitakan secara negatif oleh banyak media, misalnya, saya mengusahakan untuk meminta tanggapan organisasi/ komunitas. Tapi kadang saya harus menunggu dua sampai tiga hari sampai ada keterangan resmi.
Saya tentu memahami bahwa ada informasi yang perlu dipersiapkan, atau kadang suasananya terlalu berbahaya. Namun kerap kali ketika narasumber akhirnya mau bicara, peristiwanya sudah tidak lagi menyita perhatian publik. Pers release pun jadi tidak relevan dan takkan mampu menandingi suasana pemberitaan yang terlanjur buruk.
Beberapa kali saya mengikuti diskusi terkait media dan LGBT dan sudah akrab dengan isinya. Biasanya kawan-kawan dari organisasi LGBT akan mengeluhkan betapa buruknya pemberitaan di media, ditambah studi sejumlah lembaga yang menunjukkan tren tersebut, kadang ada contoh pemberitaan yang baik (kadang kebetulan itu berita yang saya tulis), plus analisa dari akademisi mengenai ekonomi politik media massa.
Saya tentu menangkap kegelisahan masyarakat akan pemberitaan yang cenderung menstigma. Namun saya mengamati, diskusi biasanya berputar pada ideologi media dan teori komunikasi massa saja—hal-hal yang juga saya lahap ketika berkuliah—tapi tidak pernah menyentuh hal-hal yang terjadi di lapangan. Bahwa ada kendala-kendala redaksional dan teknis seperti yang saya jabarkan di atas.
Saya beberapa kali merespon forum, dan mengisahkan berbagai hal yang saya alami sehari-hari secara langsung di industri media. Soal bagaimana prinsip penulisan berita, soal bagaimana angle dipertimbangkan.
Saya menekankan, bahkan bagi jurnalis yang sudah dibekali perspektif SOGIE atau Sexual Orientation, Gender Identity & Expression, kendala yang ada sangat bisa menganggu proses jurnalitik yang harus berimbang.
Sebuah Saran: Jaringan Narasumber Harus Bisa Cepat Diakses
Saya tentu mengapresiasi segala upaya literasi media yang dilangsungkan oleh organisasi/ komunitas. Saya juga sangat mengapresiasi kepada organisasi seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) yang rutin melatih jurnalis pada topik ini. Tentu penghargaan juga saya haturkan kepada media-media alternatif, seperti Konde.co, yang memberikan kesempatan bersuara kepada kelompok yang sering ditindas.
Bersamaan dengan itu, buat saya ada hal yang tak kalah penting: mengatasi kendala teknis yang dihadapi wartawan. Salah satunya, membangun jaringan narasumber yang mudah diakses.
Saya mengusulkan supaya organisasi LGBT dan organisasi jurnalis dapat berkolaborasi membuat wadah narasumber. Wadah ini menjadi gerbang yang akan menghubungkan jurnalis kepada belasan orang—baik itu dari komunitas, pegiat hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), para pemuka agama progresif, dan lain-lain.
Para calon narasumber ini memang sebaiknya mudah dihubungi dan bersedia memberikan tanggapan, atau setidaknya mengalihkan kepada orang yang bersedia.
Mengingat belum semua wartawan memiliki perspektif minoritas, tentu wajar jika latar belakangnya perlu dicek. Menurut saya, ini menjadi tugas organisasi yang berkolaborasi. Ketika wadah ini sudah memberikan lampu hijau, calon narasumber tidak perlu curiga atau ragu lagi kepada wartawan yang menghubunginya.
Gagasan ini memang sederhana. Tapi percayalah, ini akan sangat membantu puluhan bahkan ratusan jurnalis di luar sana, yang barangkali sedang piket Minggu malam, dan kesulitan mendapatkan narasumber demi berita yang seimbang.
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
*Rio Tuasikal, aktif di gerakan keberagaman sebelum menjadi jurnalis hingga sekarang. Selama berkarir di industri media, dia fokus melaporkan isu minoritas, diskriminasi, dan HAM. Pada 2016, ia mendapatkan fellowship “Better Journalism for LGBTI” dari AJI-UNDP, kemudian meliput transgender di dunia pendidikan. Ia menamatkan studi Ilmu Komunikasi di Universitas Komputer Indonesia, Bandung, serta lulusan Diploma Jurnalisme Visual di Ateneo de Manila University, Filipina.