Sejak Posko Pengaduan AJI Jakarta dan LBH Pers dibuka pada tanggal 3 April 2020 lalu, tercatat THR dari 52 pekerja media bermasalah. Persoalan THR ini merupakan satu dari banyaknya persoalan ketenagakerjaan yang muncul selama masa pandemi Covid-19. Beberapa diantaranya menimpa perempuan pekerja media
*Tika Adriana-www.Konde.co
“Huftt, akhirnya dapat kabar soal THR, tapi dicicil tiga kali,” ucap IG, perempuan pekerja media berumur 26 tahun.
IG merupakan teman kos saya. Sehari-hari, ia bekerja sebagai periset di redaksi sebuah perusahaan pers nasional. Dari raut wajah dan nada bicaranya, saya tahu betul kalau ia sangat kesal. IG berkata pada saya bahwa perusahaannya berdalih tak punya pemasukan dari iklan.
“Kalaupun ada, katanya iklannya belum dibayar sekarang. Ya kan aku engga mau tahu ya, kan aku juga kerja seperti biasa walaupun WFH (work from home),” tambahnya.
Saya tentu memaklumi rasa kesal IG, meskipun ia batal berlebaran di Padang, tapi uang Tunjangan Hari Raya (THR) itu rencananya akan digunakan untuk beberapa kebutuhan kecil: berzakat, mengirim bingkisan ke orangtua, membeli barang yang ia idamkan sejak lama, serta menabung untuk pulang kampung jika pandemi Covid-19 telah usai.
“Termin pertama dibayar bulan ini, termin kedua Agustus, dan termin tiga itu dibayar bulan Desember. Ya cuti bersama sih memang pindah Desember, tapi kan aku pengin segera balik kalau covid ini kelar, barangkali kan sebelum Desember selesai. Aku enggak kebayang kalau balik Desember, bakalan ramai, dan harga tiket juga pasti mahal karena semua orang pulang,” ujar IG terus menggerutu.
Sejak IG tahu banyak perusahaan oleng saat masa pandemi ini, IG sudah was-was, sebab sebelum kasus Covid-19 muncul, kondisi keuangan kantornya memang sudah tidak baik-baik saja. IG khawatir kalau ke depan, tak hanya THR yang dicicil, tapi juga gaji.
IG bukan karyawan yang punya tabungan banyak. Setiap bulan, gajinya sekitar Rp4,5 juta, sehingga untuk kebutuhan bulanan saja sudah pas-pasan.
“Lihat pemerintah kita main-main menangani Covid-19 ini bikin aku makin cemas, ekonomi bisa makin terpuruk, udah gitu pemerintah juga ngasih kelonggaran buat pengusaha. Pusing aku,” kata IG.
Masalah THR bagi pekerja media tak hanya dialami IG dan rekan-rekan sekantornya. Sejak 3 April 2020 hingga 17 Mei 2020, Posko Pengaduan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mencatat ada 89 pengaduan terkait persoalan ketenagakerjaan pada masa pandemi. Dari jumlah tersebut, 52 di antaranya merupakan pelanggaran THR keagamaan.
Dari jumlah 89 ini, 32 kasus diantaranya dialami perempuan. Para perempuan pekerja media seperti yang lainnya mengalami persoalan ketenagakerjaan.
Pengacara LBH Pers, Ahmad Fathanah mengatakan pada Konde.co, jenis pengaduan yang dialami pekerja media perempuan dalam pengaduan ini antaralain: 10 perempuan pekerja media mengalami PHK sepihak, pemotongan atau penundaan upah sebanyak 6 orang, dirumahkan sebanyak 13 orang. Lalu mutasi dan tidak digaji sebanyak 1 orang, THR ditunda 1 orang dan tidak digaji kantor sebanyak 1 orang.
Asnil menerangkan, secara umum jenis pengaduan yang murni hanya terkait persoalan pembayaran THR ada empat orang, tapi pengaduan lain merupakan persoalan ketenagakerjaan yang berkelindan dengan masalah pembayaran THR yang muncul pada momentum tenggat pembayaran H-7, yakni PHK (31 orang), mutasi (1 orang), dirumahkan dengan pemotongan gaji (36 orang), pemotongan dengan penundaan gaji (13 orang), tidak digaji sepenuhnya (1 orang), dan kontrak kerja tidak jelas (1 orang).
“Pelanggaran itu antara lain pemotongan jumlah THR, penundaan atau pencicilan THR, hingga tidak dibayarkan sama sekali,” ujar Ketua AJI Jakarta, Asnil Bambani, dalam siaran pers yang diterima Konde.co.
Ada 17 perusahaan media yang bermasalah dengan hak-hak pekerjanya di masa pandemi Covid-19 ini. Aduan terbanyak berasal dari platform televisi yakni sejumlah 42 pengaduan, disusul dengan media siber (30 pengaduan), media cetak (10 pengaduan), radio (5 pengaduan), dan aduan lainnya berasal dari perusahaan non-media.
Tingginya angka aduan dari media televisi ini menjadi ironi, sebab hasil survei Nielsen Indonesia mengatakan bahwa pandemi Covid-19 menyebabkan kepemirsaan televisi semakin bertambah dan berdampak pada peningkatan belanja iklan sejak awal Mei.
“Kami mendesak perusahaan media membayar THR keagamaan kepada para pekerja sesuai dengan jumlah dan waktu pembayaran sebagaimana telah ditentukan peraturan perundang-undangan,” tutur Asnil.
Ade Wahyudin, Direktur Eksekutif LBH Pers, menjelaskan bahwa perusahaan media bisa dibekukan jika tidak membayar THR Keagamaan bagi pekerjanya. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan dan Permenaker Nomor 6 Tahun 2016 tentang THR Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan jelas tertulis bahwa pengusaha wajib memberikan THR keagamaan kepada para pekerja, khususnya mereka yang telah memiliki masa kerja satu bulan atau lebih.
“Pasal 7 ayat (2) PP 78/2015 jelas menyebutkan THR wajib dibayarkan paling lama 7 hari sebelum hari raya keagamaan. Sehingga pengusaha yang tidak membayar THR pada waktu yang ditentukan, sebagaimana tercantum pada Pasal 56, harus membayar denda 5% dari total THR,” ujar Ade melalui siaran pers yang diterima Konde.co.
“Banyak perusahaan yang kerap menjadikan situasi pandemi sebagai alasan untuk memotong, menunda dan bahkan memutuskan untuk tidak membayarkan THR keagamaan secara sepihak,” tambahnya.
Jika perusahaan tak membayar THR pekerja, maka ancaman sanksi administrasi pun menanti. Hal ini tertuang dalam Pasal 59 ayat (1) Peraturan Pemerintah atau PP Pengupahan dengan jenis sanksi seperti teguran tertulis, pembatasan kegiatan usaha, penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi, dan bahkan hingga pembekuan kegiatan usaha.
“Kami mendesak pemerintah melalui Kementerian Tenaga Kerja dan struktur kedinasan di bawahnya untuk memastikan pengusaha membayar THR pekerjanya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Bagi perusahaan yang melanggar dan tidak memiliki itikad baik maka pemerintah tidak boleh ragu untuk menerapkan sanksi sebagaimana diatur pada PP Pengupahan,” tandasnya.
(Foto/Ilustrasi: Pixabay)
*Tika Adriana, jurnalis perempuan yang sedang berjuang. Saat ini managing editor Konde.co