Tahukah kamu, dalam minyak goreng yang kita gunakan setiap hari, tersembunyi jutaan nasib buruk para buruh termasuk buruh perempuan kelapa sawit? Kalimat ini selalu saya ucapkan pada orang-orang yang saya temui, ketika kita sedang makan sesuatu. Ketika kita makan makanan apapun yang digoreng, kita harus mengingat nasib buruh kelapa sawit bahan dasar minyak goreng yang harus kita perjuangkan. Karena dengan cara ini, kita bisa menjadi bagian dari sekedar menyantap makanan kita tiap harinya
*Herwin Nasution- www.Konde.co
Dan tahukah kamu, meski buruh kelapa sawit memainkan peran yang esensial dalam perputaran produksi makanan, namun mereka tinggal jauh tersembunyi dari pantauan publik?. Mereka juga tidak bisa menjangkau bantuan sosial yang disediakan pemerintah.
Sawit disebut-sebut sebagai sektor andalan pendapatan negara. Sayangnya, tak sebanding dengan nasib pekerja sektor ini masih begitu memprihatinkan. Sebenarnya, siapa yang disejahterakan sawit?
Saat ini Indonesia memiliki 16,1 juta hektar perkebunan kelapa sawit, dengan rencana ekspansi mencapai sekitar sekitar 20 juta hektar lahan, yang telah dialokasikan – tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua.
Massifnya ekspansi perkebunan sawit didukung oleh 2 faktor utama, upah buruh dan sewa lahan yang murah. Di sisi lain, pemerintah Indonesia terus memberikan fasilitas penunjang seperti peraturan perundangan yang menarik, pinjaman lunak, land amnesty dan insentif fiskal.
Tenaga kerja sektor sawit masih didominasi buruh kerja harian. Buruh perempuan di perkebunan sawit menurut data Sawitwatch, biasanya bekerja di bagian pemupukan, penyemprotan, perintis (pembabat), cuci karung pupuk, menjaga Tempat Penitipan Anak (TPA) , perawatan jalan dan wilayah sekitar barak. Diluar itu, buruh perempuan terlibat dalam pekerjaan memanen, namun tidak menerima upah. Di perkebunan kelapa sawit, mulai dari membuka lahan hingga panen, perempuan mengerjakan 15 dari 16 jenis kegiatan. Hal ini belum dihitung berat ringannya serta lama waktu kerja setiap kegiatan yang dilakukan perempuan
Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch mengatakan perempuan yang bekerja di perkebunan sawit seringkali dianggap tidak ada, padahal proses produksi sangat dipengaruhi oleh keberadaan perempuan yang bertugas menyemprot atau membantu panen. Perempuan tidak dianggap sebagai buruh perusahaan, sehingga tidak mendapatkan hak-hak yang selayaknya didapatkan.
Beberapa perkebunan menetapkan kebijakan mewajibkan buruh pemanen membawa isteri ke ancak (tempat kerja). Bila buruh pemanen tidak membawa isteri, buruh dinyatakan mangkir atau mandor akan mendatangkan kernet yang upahnya harus dibayar sendiri oleh buruh pemanen bersangkutan.
Wabah Covid-19 di Indonesia juga makin memperburuk situasi. Pandemi ini mengakibatkan para buruh sawit yang menjadi korban dari sistem ekonomi bobrok, kondisi ini juga menunjukkan bahwa sistem ekonomi yang berjalan selama ini sangat rentan untuk terus dilanjutkan.
Buruh kelapa sawit yang jauh dari sorotan publik menjadi korban yang harus menanggung dampak kegagalan sistem ekonomi ini, padahal industri kelapa sawit digadang-gadang pemerintah sebagai penopang perekonomian nasional.
Buruh harian lepas di perkebunan sawit Indofood misalnya, mereka memiliki jaringan pengaman yang paling minim dan menjadi salah satu golongan masyarakat yang paling keras terdampak, apalagi dalam kondisi Pandemi Corona.
Mereka tinggal di dalam perkebunan yang menjadi wilayah perusahaan yang seharusnya turut mengambil tanggung jawab untuk memastikan perlindungan buruh dibandingkan mempertahankan citra jangka pendek lewat sumbangan patungan pengusahanya.
Namun ironisnya nyaris tidak ada buruh kelapa sawit yang diberikan alat pelindung diri, jaminan kesehatan, dan jaringan pengaman di tengah krisis kesahatan dan ekonomi yang melanda dunia. Bahkan ratusan buruh kelapa sawit saat ini diberhentikan kerja dengan alasan “efisiensi”.
Dalam kondsi Pandemi Corona, perusahaan juga kerap mengambil kesempatan dalam situasi wabah untuk cuci tangan. Seperti London Sumatra, anak perusahaan Indofood yang memberhentikan ratusan buruh kelapa sawit dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan buruh harian lepas serta menolak memberikan pesangon atas dasar status kerjanya.
Buruh yang tidak diberhentikan kerja bahkan harus bekerja dua kali lebih keras dengan target yang lebih tinggi serta penambahan tugas dan luasan areal kerja.
Buruh-buruh ini kemudian bekerja dalam tekanan rasa takut; takut terpapar dan takut lapar akibat kehilangan pekerjaannya karena perusahaan tidak kunjung memberikan alat pencegahan dan fasilitas kebersihan yang memadai di tengah situasi wabah Covid-19.
Mereka tidak diberikan masker, tidak disediakan tempat cuci tangan di tempat kerja, tidak ada aturan terkait pembatasan sosial, tidak ada pemberitahuan dan arahan kesehatan dan keselamatan kerja dalam kondisi wabah dari perusahaan.
Ketidakpastian perlindungan terhadap buruh kelapa sawit bukan hal baru. Sebelum wabah Corona melanda Indonesia, pemerintah mengajukan Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja kepada DPR atau dikenal dengan Omnibus Law, Omnibus Law ini berencana menghapus dan merubah Undang-undang Ketenagakerjaan sehingga berpotensi merugikan kalangan buruh. Salah satunya terkait penghapusan batasan pekerja kontrak (PKWT) yang akan secara disproporsional merugikan buruh kelapa sawit karena kerap digunakan perusahaan perkebunan sebagai alasan agar tidak perlu memberikan hak dan perlindungan layaknya pekerja tetap.
RUU Cipta Kerja penuh dengan kepentingan investasi, mengandalkan korporasi besar untuk menjawab persoalan kesejahteraan buruh padahal jelas kepentingan perusahaan adalah untuk mengambil keuntungan, apabila disahkan RUU ini akan meminimalisir perlindungan buruh termasuk buruh perempuan dan berakibat fatal bagi buruh kelapa sawit sebagai salah satu golongan buruh yang telah menopang ekonomi Indonesia selama satu abad. Ini terbukti ketika krisis seperti wabah Covid-19 ini melanda, buruh yang pertama menjadi korban.
Dalam situasi seperti ini pemerintah harusnya mendorong perusahaan agar mereka mengoptimalkan alternatif-alternatif untuk mempertahankan tenaga kerja dan mempersiapkan mereka dalam masa transisi mendapatkan pekerjaan yang lain, dibandingkan dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Dalam menerapkan solusi ini, pemerintah juga harus melibatkan pihak pengusaha dan serikat buruh sehingga solusi yang diambil dapat diterima kedua belah pihak.
Perusahaan juga sebaiknya segera menghentikan PHK dan hanya melakukan pemberhentian sebagai pilihan terakhir dengan alasan yang sah, mempekerjakan kembali buruh yang diberhentikan kerja atau membayar penuh hak pesangon semua buruh yang diberhentikan termasuk buruh harian lepas sesuai dengan ketentuan, berunding dengan serikat buruh untuk mencari alternatif dari pemberhentian kerja dan menghentikan pemberangusan serikat dan menghormati kebebasan berserikat serta berhenti mempekerjakan buruh harian lepas, buruh temporer dan kernet.
Referensi: https://sawitwatch.or.id/2017/03/07/ketika-perkebunan-sawit-merampas-kehidupan-perempuan-part-2/)
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
*Herwin Nasution, Direktur Eksekutif Organisasi Penguatan dan Pengembangan Usaha-Usaha Kerakyatan (OPPUK) yang juga menjabat Ketua Umum Serikat Buruh Perkebunan Kelapa Sawit Independen (SERBUNDO)