Pemerintah Keluarkan Protokol Penanganan KDRT di Masa Covid, Korban Bisa Mengadu dan Didampingi

Sejak 8 Mei 2020, pemerintah mengeluarkan protokol penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) selama masa Pandemi Covid. Dengan protokol ini maka korban KDRT apalagi yang jauh dari akses pendampingan bisa melakukan konsultasi secara online dan didampingi secara hukum baik oleh pemerintah maupun oleh forum pengada layanan yang didirikan organisasi perempuan. Apa saja yang bisa dimanfaatkan para perempuan korban melalui protokol ini?

Fadiyah- www.Konde.co

Bagaimana cara melaporkan kekerasan yang dialami perempuan di masa Pandemi Covid-19 ini?

Bagi sebagian korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), karantina atau berada di rumah di masa pandemi berarti terjebak dalam ruang yang sama ketika ia harus bersama pelaku kekerasan dalam jangka waktu yang tak menentu.

Usaha pelaporan pun menjadi sulit karena korban minim akses untuk keluar rumah, apalagi jika harus menyelesaikan perkara yang mereka alami

Padahal data kekerasan terhadap perempuan berdasarkan data Sistem Informasi Online (Simfoni) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menunjukkan, terdapat 173 kasus kekerasan terhadap perempuan dewasa (18 tahun ke atas) yang terjadi pada periode 2 Maret, hingga 26 April 2020, dengan rata-rata 3 kasus perharinya. Kasus tersebut terdiri dari 174 korban, dengan 114 orang di antaranya adalah korban KDRT (66 persen), serta 11 orang korban TPPO (6 persen).

Kementerian PPPA, melalui Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, mengeluarkan Protokol Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan di Masa Pandemi Covid-19.

Protokol tersebut dibuat bersama Yayasan Pulih dan Forum Pengada Layanan, serta United Nations Population Fund (UNFPA), untuk diimplementasikan di setiap daerah.

Maka dengan protokol ini diharapkan ada banyak perempuan yang menjadi korban bisa melaporkan hal yang mereka alami secara mudah.

Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan (PHP) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Vennetia R. Danes dalam diskusi yang diikuti Konde.co menuturkan, untuk mengantisipasi terjadinya kasus KDRT diperlukan upaya komprehensif serta memastikan pelayanan pelaporan kasus KDRT saat pandemi tidak mengalami hambatan.

“Salah satu upaya yang dapat kita lakukan agar para korban KDRT maupun kekerasan terhadap perempuan tetap terpenuhi haknya yakni mengubah pola pelaporan kasus dengan lebih pro aktif dalam menjemput bola kasus KDRT di wilayah mereka, khususnya untuk daerah yang memiliki keterbatasan akses. Dalam hal ini, eksekusi di lapangan dapat dilakukan oleh tim relawan #BERJARAK pemerintah,” tambah Vennetia.

Selama masa pandemi ini, selain menjadi korban KDRT, perempuan mengalami masalah lain seperti Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

“Tingginya gelombang PHK, hilangnya mata pencaharian masyarakat, diikuti dampak lain seperti munculnya potensi kekerasan berbasis gender,” tertulis dalam pendahuluan protokol yang ditandatangani oleh Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA Vennetia Danes.

Kondisi ini menyebabkan beban perempuan semakin meningkat di mana selain harus mengurus rumah tangga, pendampingan tugas sekolah anak, bahkan mencari tambahan ekonomi keluarga. Beban ganda ini memicu konflik rumah tangga semakin kuat yang berujung pada potensi kekerasan.

Dengan program ini maka maka pihak penyedia layanan harus memahami situasi di daerah mereka masing-masing akibat kebijakan PSBB yang menghimbau karantina mandiri bagi masyarakat.

Protokol ini akan dilaksanakan oleh UPTD, P2TP2A dan lembaga layanan berbasis masyarakat seperti forum pengada layanan yang didirikan organisasi perempuan seperti LBH APIK, Yayasan Pulih, sejumlah women’s crisis center lain di daerah yang selama mendampingi korban KDRT dan kekerasan terhadap perempuan

“Selain itu, Protokol ini juga dapat dijadikan acuan bagi para penggerak isu perlindungan perempuan seperti PATBM, PUSPA, PUSPAGA, Relawan Berjarak, Satgas PPA, dan LSM lainnya,” tertulis dalam protokol tersebut.

Protokol ini diharapkan mampu menjadi panduan yang dapat direplikasi Lembaga-lembaga seperti UPTD/P2TP2A/Lembaga layanan di setiap daerah dengan menyesuaikan isi dan cakupan dengan konteks daerah, kebijakan daerah, dan sumber daya daerah

Psikolog sekaligus perwakilan Pusat Pelayanan Dan Perlindungan Keluarga Cilegon (P3KC) Kota Cilegon, Kurniatin Koswara menuturkan pola pelaporan kasus dengan lebih pro aktif dalam menjemput bola kasus KDRT merupakan salah satu solusi terbaik saat ini.

Disana, Kurniatin Koswara menjemput bola dan berjejaring dengan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM), Kader RT/RW, Badan Pembinaan Keamanan (Babinkam), Bintara Pembinaan Desa (Babinsa), dan Perlindungan Masyarakat (Linmas) yang lebih melihat potensi terjadi KDRT dan kekerasan perempuan di daerahnya.

Apa saja yang dilakukan Protokol Pengaduan dan Penanganan Kekerasan untuk perempuan korban ?

1. Konsultasi online bagi Korban

Protokol tersebut mengatur terkait setiap lembaga PPPA di daerah dan lembaga layanan dapat diakses secara daring/ online. Setiap Lembaga Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (LPPA) perlu memastikan bahwa lembaga pelayanan untuk pengaduan dan konsultasi dapat diakses secara daring, baik melalui nomor hotline, baik telepon, WhatsApp, SMS, maupun email. Kementerian PPPA mempublikasi sejumlah kontak unitnya di beberapa daerah, melalui laman resminya.

Saluran tersebut dapat digunakan untuk memasukan laporan masalah kekerasan terhadap perempuan. Selepas itu, petugas Penerima Pengaduan (PP) akan menindaklanjuti laporan dengan mengontak pelapor, serta melangsungkan asesmen awal.

2. Korban dibantu petugas psikologi dan layanan

Langkah selanjutnya, koordinator pengaduan akan menempatkan petugas psikologi dan layanan untuk menindaklanjuti kasus, serta pengecekan rutin terhadap tahapan setiap layanan yang diberikan pada klien atau korban. Petugas dan koordinator pengaduan pun perlu untuk mencatat setiap kinerja atau catatan kerja setiap pengaduan.

3. Penyediaan layanan tatap muka

Protokol tersebut juga mengatur terkait kondisi yang memerlukan layanan tatap muka, yang meliputi cara-cara para petugas berinteraksi dengan kliennya selama pandemi berlangsung. Selain itu, juga terdapat pengaturan jenis kasus yang memang membutuhkan layanan tatap muka.

“Mengingat urgensi penanganan kasus kekerasan, maka pengecualian terhadap layanan non tatap muka dapat dilakukan,” tertulis dalam protokol.

Pengecualian tersebut diatur bagi klien dengan status hukum tertentu, yakni saat klien sudah melakukan sejumlah proses pembuktian, yaitu visum et repertum (VeR) untuk kasus kekerasan seksual, KDRT, kekerasan di ruang publik dan dunia kerja yang baru terjadi. Kemudian, Pemeriksaan Psikologis.

Selain pembuktian, poin pertimbangan lainnya adalah tersangka sudah ditahan dan/atau memiliki usia anak. Kemudian, sudah memasuki proses laporan polisi dan Berita Acara Pemeriksaan/ BAP, serta telah memasuki proses persidangan.

Pertimbangan lainnya adalah dari segi psikologis korban atau klien. Pertemuan tatap muka dapat dilakukan saat dampak psikologis terhadap klien sudah intens, seperti terdapat tindakan melukai diri sendiri, upaya bunuh diri, marah dan agresif, tidak dapat tidur selama minimal 3 hari, ataupun merasa sedih yang mendalam tanpa sebab yang jelas.

Selain itu, juga apabila hasil asesmen secara daring menunjukkan dampak ke arah kondisi psikologis yang berat.

Terakhir, apabila adanya kebutuhan untuk rujukan ke rumah aman, atau layanan medis untuk perawatan, maupun medikolegal.

4. Rujukan rumah aman perempuan

Kemudian terdapat potokol rujukan ke rumah aman atau shelter kekerasan terhadap perempuan, serta protokol layanan psikososial kekerasan terhadap perempuan dalam masa pandemi covid-19.

5. Konsultasi hukum dan pendampingan kasus perempuan

Terdapat pula protokol layanan kosultasi hukum kekerasan terhadap perempuan, dan protokol pendampingan proses hukum kekerasan terhadap perempuan dalam masa pandemic covid-19. Terakhir, protokol penyelamatan diri kekerasan terhadap perempuan dalam masa pandemi covid-19.

6. Sejumlah kontak hotline yang dapat dihubungi antaralain:

1. LBH APIK: 081388822668

2. Yayasan Pulih: +628118436633

3. P2TP2A DKI: +62 813-1761-7622

4. Komnas Perempuan: (021) 3903963

5. Kontak UPTD PPA di beberapa daerah

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Fadiyah, Jurnalis lepas di Jakarta. Kini aktif sebagai pengurus divisi gender Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta. Di waktu kosong, kerap kali mengubah khayalannya jadi fiksi

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik. Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!