PRT ‘Kabur’ dari Rumah Majikan Karena Disiksa, Bagaimana Cara Melaporkannya? 

Perempuan pekerja rumah tangga (PRT) asal Bandung yang bekerja di Jakarta kabur dari rumah majikannya. Usai dia disiksa secara fisik sampai luka-luka dan gajinya tak dibayar selama 4 bulan. Keluarganya ingin melaporkan kasus yang menimpa PRT itu. RUU Perlindungan PRT belum juga disahkan sampai hari ini, lantas bagaimana cara melaporkan kasus itu?

Konde.co dan Koran Tempo punya rubrik ‘Klinik Hukum Perempuan’ yang tayang setiap Kamis secara dwimingguan. Bekerja sama dengan LBH APIK Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender, Perempuan Mahardhika, dan JALA PRT. Di klinik ini akan ada tanya jawab persoalan hukum perempuan. 

Tanya

Halo Klinik Hukum bagi Perempuan, saya Asmanah dari Bandung. Saya ingin bertanya mengenai hak-hak pembantu rumah tangga. Apakah ada undang-undangnya? Saudara saya bekerja di Jakarta sebagai PRT, dua hari lalu kabur dari rumah majikan dan pulang ke bandung karena sering disiksa fisik sama majikan sampai luka-luka dan masih ada bekas-bekas lukanya. Selain itu, gajinya tidak dibayarkan selama 4 bulan. Saat kabur dari rumah majikan, saudara saya itu dibantu oleh ibu tetangga, bapak penjual sayur di kompleks tersebut dan pak RT, termasuk dibayarin ongkos pulang ke Bandung. Pak RT mau bantu laporin polisi, tapi saudara saya tidak mau karena takut dan memutuskan untuk pulang ke Bandung. Setelah dikuatkan keluarga termasuk saya, saudara saya tersebut mau melaporkan kasusnya. Apakah kami melaporkan kasusnya di Bandung atau Jakarta? Terus adakah undang-undang khusus PRT yang bisa digunakan sebagai dasar laporan. Terimakasih banyak.

Jawab

Terimakasih sudah menghubungi Klinik Hukum bagi Perempuan. Sebelumnya perlu saya informasikan bahwa telah terjadi perubahan istilah dari Pembantu Rumah Tangga menjadi “Pekerja Rumah Tangga”. Pekerja Rumah Tangga, yang selanjutnya disingkat PRT. Adapun perubahan istilah ini mengacu pada pengertian dari PRT, yaitu orang yang bekerja pada pemberi kerja untuk melakukan pekerjaan kerumahtanggaan. Perubahan istilah ini penting karena berkaitan dengan hak-hak bekerja yang harus dilindungi oleh negara.

Selanjutnya, mengenai undang-undang khusus PRT hingga saat ini belum ada peraturan khusus. Yaitu yang spesifik mengatur mengenai hak-hak pekerja rumah tangga (PRT) secara khusus. Namun, usulan atas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga sudah dibahas sangat lama di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan belum kunjung disahkan. Sehingga saat ini, persoalan yang berhubungan dengan pelanggaran hak-hak PRT sebagai pekerja, belum ada ketentuan yang mengatur secara jelas.

Akan tetapi, apabila ada pelanggaran atas hak-hak PRT seperti yang Ibu Asmanah uraikan, penyelesaian hukumnya dapat menggunakan peraturan perundang-undangan yang dapat melindungi PRT. Seperti, Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).  

Baca Juga: Jika Korban KDRT di Pernikahan Siri Menggugat, Bisakah Pelaku Dijerat Hukuman?

Di dalam UU PKDRT diatur mengenai ketentuan pidana bagi orang yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Dan yang dimaksud dengan pengertian dari lingkup rumah tangga sebagaimana disebutkan pada Pasal 2 UU PKDRT adalah suami, isteri, dan anak. 

Selain itu, UU PKDRT juga mencakup orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a. Yaitu, karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga. Juga termasuk, orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan).

Berdasarkan penjelasan Pasal 2 huruf c UU PKDRT, maka PRT termasuk dalam lingkup rumah tangga. Yaitu orang yang bekerja (melakukan pekerjaan kerumahtanggaan) dan menetap dalam rumah tangga sehingga dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama ia bekerja). Namun, apabila tidak menetap pun (bekerja setiap hari pulang-pergi), dalam pandangan kami tetap dapat dikategorikan kepada lingkup anggota keluarga.

Baca Juga: Cerai Karena KDRT, Ibu Yang Tak Bekerja Berhakkah Atas Hak Asuh Anak?

Dengan demikian, kekerasan fisik yang dialami oleh saudara dari Ibu Asmanah merupakan bagian dari KDRT yang dilakukan oleh majikan perempuan kepada PRT. KDRT yang dimaksud disebutkan dalam Pasal 5 UU PKDRT, yakni kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual atau penelantaran rumah tangga.

Oleh karenanya, korban dari KDRT harus mendapat perlindungan secara maksimal. Di mana dalam hal ini perempuan (termasuk PRT perempuan) yang lebih sering menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.

Disebutkan dalam Pasal 10 UU PKDRT bahwa, korban KDRT memiliki hak sebagai korban. Diantaranya mendapatkan perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.

Korban KDRT juga mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis dan penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban. Dalam proses penyelesaian masalah, korban KDRT juga mendapatkan pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan serta mendapatkan pelayanan bimbingan rohani.

Baca Juga: Apa yang Dimaksud Saksi Korban dalam Pelaporan Kasus KDRT?

Adapun sanksi hukum terhadap perbuatan KDRT diatur dalam  Bab VIII. Yaitu tentang Ketentuan Pidana dijelaskan secara rinci dalam Pasal 44-53 UU PKDRT, secara ringkasnya sebagai berikut:

  1. Kekerasan fisik 

Pelaku yang melakukan kekerasan fisik apabila menyebabkan korban terhalang aktivitasnya. Maka, pelaku dapat dipenjara selama 4 tahun atau denda Rp 5 juta. 

Sementara, pelaku yang melakukan kekerasan fisik apabila menyebabkan korban mengalami luka berat dan jatuh sakit, pelaku bisa dipidana penjara hingga 10 tahun atau denda Rp 30 juta. 

Sanksi yang paling berat, pelaku yang melakukan kekerasan fisik apabila menyebabkan korban meninggal dunia, maka hukuman pelaku bisa berupa pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda Rp 45 juta.

  1. Kekerasan psikis 

Pelaku yang melakukan kekerasan psikis dapat terancam pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp 9 juta. Sedangkan, pelaku yang melakukan kekerasan psikis namun tidak menimbulkan penyakit atau halangan menjalankan aktivitas sehari-hari bisa diancam pidana penjara paling lama 4 bulan atau denda Rp 3 juta.

  1. Kekerasan seksual 

Pelaku KDRT yang melakukan kekerasan seksual dapat dipidana penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak Rp 36 juta. Sementara, pelaku yang memaksa orang dalam rumah tangga melakukan hubungan seksual dapat diancam pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 15 tahun atau denda paling sedikit Rp 12 juta dan paling banyak Rp 300 juta. 

Baca Juga: Dikriminalisasi Karena Posting Chat Perselingkuhan Suami Di Medsos, Apa Yang Harus Dilakukan?

Untuk ancaman terberatnya, akan dikenakan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun atau denda paling sendiri Rp25 juta dan paling banyak Rp500 juta.

  1. Penelantaran 

Pelaku yang menelantarkan orang-orang dalam lingkup rumah tangganya, mendapatkan pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp 15 juta.

Keempat jenis KDRT ini, tak hanya sering dihadapi oleh istri dan anak-anak. Namun, juga sering dihadapi oleh PRT yang berada dalam lingkup rumah tangga. Dalam hal ini, jenis KDRT yang dialami oleh saudara dari Ibu Asmanah adalah kekerasan fisik, psikis, dan penelantaran (tidak membayar gaji yang menjadi hak dari saudara Ibu Asmanah).

Terkait dengan pengabaian pembayaran gaji bisa juga merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Yaitu menuntut atas dasar penggelapan. Mengenai penggelapan diatur dalam Pasal 372 KUHP. 

Yang termasuk penggelapan adalah perbuatan mengambil barang milik orang lain. Baik itu sebagian atau seluruhnya) di mana penguasaan atas barang itu sudah ada pada pelaku. Tapi penguasaan itu terjadi secara sah. Tidak membayarkan gaji dapat diinterpretasikan menguasai uang (gaji). Tujuan dari penggelapan adalah memiliki barang atau uang yang ada dalam penguasaannya yang mana barang/uang tersebut pada dasarnya adalah milik orang lain (milik/hak dari saudara ibu Asmanah).

Baca Juga: Kekerasan Seksual di Kantor Toksik: Saya Tak Bisa Lapor HRD dan Kena Victim Blaming

Selanjutnya, mengenai cara/proses penyelesaian hukumnya, pelaporan dilakukan ke kantor polisi di wilayah atau daerah hukum tempat terjadinya tindak pidana. Dalam kasus saudara Ibu Asmanah, karena peristiwa tindak pidana terjadi di Jakarta, maka pelaporan dilakukan ke Kepolisian di Jakarta di wilayah hukum tempat terjadinya tindak pidana. 

Hal itu juga berhubungan dengan kewenangan relatif Pengadilan Negeri pada saat proses mengadili terdakwa pelaku KDRT tersebut. Dan mengingat saksi-saksi (ibu tetangga, bapak penjual sayur di kompleks tersebut dan pak RT) yang tinggal disekitar tempat kejadian perkara.

Berdasarkan pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2007 tentang Daerah Hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pembagian daerah hukum terdiri atas: (1) Mabes Polri (Markas Besar Polisi Republik Indonesia) untuk NKRI; (2) Polda (Kepolisian Daerah) untuk Provinsi; Polres (3) (Kepolisian Resor) untuk kabupaten/kota, dan (4) Polsek (Kepolisian Sektor) untuk kecamatan. 

Jika sekiranya tindak pidana terjadi lingkup kecamatan, maka saudara Ibu Asmanah bisa melaporkannya ke Polsek Kecamatan. Namun tidak ada larangan untuk membuat laporan di wilayah administrasi yang berada di atasnya, seperti melapor ke Polres, Polda, atau pun Mabes Polri.

Baca Juga: Jika Kamu Berkasus: Ketahui Perbedaan Terlapor, Tersangka, Terdakwa, dan Terpidana

Saran kami, sebelum membuat laporan polisi ke Jakarta, bisa mencari bantuan pendampingan hukum ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) terdekat yang ada di Bandung. Pastikan juga mereka memiliki perspektif hak-hak perempuan (HAP) yang juga memahami isu/persoalan-persoalan hak PRT. Dengan adanya pendampingan hukum, akan memudahkan proses pencarian keadilan bagi saudara dari Ibu Asmanah. 

Demikian jawaban dari kami. Semoga dapat membantu proses hukum atas upaya saudara dari ibu Asmanah di dalam mencari keadilan.

Jika kamu mau berkonsultasi hukum perempuan secara pro bono, kamu bisa menghubungi Tim LBH Apik Jakarta. Kamu bisa mengirimkan email Infojkt@lbhapik.org atau Hotline (WA Only) pada kontak +62 813-8882-2669. 

Sri Agustini

Advokat LBH Apik Jakarta

Let's share!

video

MORE THAN WORK

Mari Menulis

Konde mengundang Anda untuk berbagi wawasan dan opini seputar isu-isu perempuan dan kelompok minoritas

latest news

popular