Humanity Youth Ajarkan Anak Muda Kampanye HAM

Pameran ‘Humanity Youth’ mengangkat isu perdagangan orang, anak-anak yang diambil paksa, serta pelanggaran Hak Asasi Manusia/ HAM pasca pemberontakan tahun 1965. Pameran ini berharap dapat mewariskan catatan hitam bangsa ke generasi penerus

Ketika kita memasuki pameran ‘Humanity Youth’, kita akan menjumpai lima karya audio visual yang langsung mengundang rasa penasaran. Video mapping “Rekonstruksi” karya duo seniman BOMBO asal Makassar, misalnya, menampilkan visual anak-anak. Karya ini mengisahkan stolen children, anak-anak Timor Leste yang secara paksa dibawa ke Indonesia ketika negara itu menjadi bagian NKRI.

“Menghadirkan kembali si anak-anak kecil ini ke ruang-ruang kota di beberapa titik di kota Makassar pada khususnya,” terang Muhammad Rais dari BOMBO

Bersama rekannya, Muhammad Reza, BOMBO menampilkan proyeksi cahaya di tempat-tempat umum seperti gang pemukiman, truk kontainer, bahkan pasar. Sejumlah warga di Makassar yang penasaran bertanya pada mereka apakah maksud video-video itu. “Di sini dulu ada beberapa anak yang diculik dari Timor Timur,” ujarnya.

Namun menjelaskannya kepada masyarakat umum memang tidak mudah. “Lokasi-lokasi itu mungkin orang-orang yang asing dengan kesenian, jadi ketika awal-awal kami menjelaskan ini ada proyek seni, itu susah banget diterimanya,” ujar Rais sambil tertawa.

Meski begitu, ujar berharap, karya BOMBO bisa menyadarkan masyarakat di Makassar mengenai peristiwa yang tak banyak diketahui ini.

Seni Sebagai Jembatan

Video mapping dari BOMBO adalah satu dari lima karya yang dipamerkan Humanity Youth yang digelar Asia Justice and Rights (AJAR), organisasi advokasi HAM. Empat audiovisual lainnya adalah “Jarak” karya Armin Septiexan dari Kupang, “Kacamata 65” karya Deny Renanda Putra dari Semarang, “T. B. O.” karya Fat Velvet dari Bandung, dan “Satu Matahari” karya Toma & Kako dari Jakarta. Masing-masing individu dan kelompok ini membuat karya berdasarkan riset yang dilakukan AJAR terkait korban stolen children, perdagangan orang, dan pelanggaran HAM 1965.

Kurator pameran ini, Ika Vantiani, mengatakan ada tantangan tersendiri dalam menyampaikan topik-topik tersebut kepada anak muda. “Kita bicara bagaimana untuk mengomunikasikan hal-hal yang sifatnya terjadi di masa lalu. Dan juga HAM-nya sendiri sudah jadi tantangan tersendiri. Karena narasi HAM sendiri bukan sebuah narasi yang umum kita bicarakan dalam konteks sehari-hari, terangnya kepada VOA.

Karenanya, ketika menentukan seniman yang diajak berpameran, Ika mencari orang yang bisa menerjemahkan pesan tersebut. “Saya memilih seniman yang saya percaya dari portofolio mampu melakukan itu, jadi bukan sekedar ‘wah karyanya bagus dan keren banget’ secara kekaryaannya,” tambahnya yang juga merupakan seniman kolase ini.

Lewat karya-karya yang dipamerkan, Ika berharap pembicaraan soal HAM tidak lagi asing bagi anak muda. “Biasa ngobrol dulu, nanti seterusnya lebih nyaman, nih lebih santai. Lalu kita bisa ngomongin hal-hal lain yang jadi bagian dari hak mereka juga,” harapnya.

Untuk Generasi Muda

Raisa Widiastari dari AJAR mengatakan, ia menggaet para seniman supaya dapat menyebarkan isu ini kepada masyarakat awam. “Supaya diskursusnya nggak berhenti di anak-anak yang bergerak (aktivis) saja. Orang-orang penikmat seni bisa mulai berdialog (juga), dengan pendekatan kesenian ini,” ujarnya seraya menekankan bahwa isu-isu pelanggaran HAM harus terus dibahas.

Raisa mengatakan, karya-karya ini diangkat berdasarkan pengalaman otentik dari para korban dan penyintas. Pendokumentasian-nya dilakukan selama tujuh bulan pada 2019 dan total melibatkan 78 penyintas. Dia berharap, generasi muda mengetahui peristiwa yang jarang diangkat ini. “Kan korban pelanggaran HAM ini sudah menua, takutnya narasi-narasi ini tidak terdokumentasikan dengan baik. Terus mereka keburu nggak ada. Jadi nggak ada narasi tandingan atau alternatif,” tandasnya.

Raisa mengakui upaya menuju keadilan bagi para korban memang masih panjang. Namun dia berharap, lewat pameran ini, semakin banyak orang tahu sejarah kelam tersebut.

“Karena kalau misalnya menuju ke pengadilan atau keadilan yang berbentuk meja hijau kayaknya agak sulit. Tapi yang penting orang-orang tahu kebenarannya, dan kebenaran versi korban,” imbuhnya.

Pameran ‘Humanity Youth’ terbuka untuk publik sejak 12 Juli hingga 12 Agustus 2020 di situs AJAR. [rt/em]

(Sumber dan Foto: Voice of America/ VOA)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!