Untuk para perempuan yang punya mimpi dan masih berusaha mewujudkan mimpi-mimpinya, yang memutuskan untuk tidak menyerah, teruslah berjalan dan berlari untuk mengupayakannya. Karena mimpi hanya perlu kalian lihat dari mata kalian sendiri, tidak perlu melihat dari mata orang lain.
*Maya Atri- www.Konde.co
I am a dreamer.
I am; indeed, a practical dreamer.
My dreams are not airy things.
I want to convert my dreams into realities.
Troughout my life i have gained more from my critic friends than from my admirers, especially when the criticism was made in courteous and friendly language.
I am a lover of my own liberty and so i would do nothing to restrict yours.
(Mahatma Gandhi)
Ndableg merupakan kata berasal dari bahasa jawa yang bisa diterjemahkan secara bebas sebagai cuek, tidak terlalu mikirin omongan orang, keras kepala, suka melanggar aturan, muka tembok; tidak memperhatikan orang yang menyuruh atau menasehati; bandel. Kata Ndableg ini sering disematkan pada perempuan di sekitar lingkungan saya.
Memang kenapa kalau perempuan ndableg atau cuek? Terlebih saat ndableg pada mimpi-mimpinya?. Namun seakan kata ndableg ini seperti tidak pas bersanding dengan kata perempuan. Iya, maksudnya konstruksi perempuan yang oleh masyarakat identik dengan lemah-lembut dan penurut. Karena ndableg jauh dari itu dan lebih dekat dengan keras dan pemberontak.
Semua orang memang punya mimpi, karena ia tercipta dan berawal dari pikiran manusia. Memiliki mimpi sebenarnya adalah hak asasi. Perempuan juga memiliki mimpi. Entah apapun mimpinya, perempuan berhak memiliki dan mewujudkannya, selama tidak melanggar hak orang lain atau dikategorikan sebagai tindakan kriminal.
Sayangnya, masih ada saja tanggapan “nyinyir” terhadap mimpi perempuan. Pertama, akan ada orang yang meragukan, meremehkan perempuan untuk mewujudkan mimpinya. Seperti ungkapan, memang kamu bisa? atau yakin bisa?.
Kedua, perempuan yang punya mimpi dan itu dianggap mimpi yang tinggi lalu gigih memperjuangkannya, bisa jadi akan dipandang sebagai orang yang terlalu ambisius atau dicap terlalu perfeksionis. Terkadang pula, juga dianggap sebagai orang yang punya kadar egois tinggi.
Ketiga, dan menurut saya ini yang paling parah, adalah dikasihani. Dalam hal ini, perempuan yang punya mimpi dan gigih mewujudkannya justru akan dikasihani.
“Cita-citamu terlalu tinggi. Tidak usah bermimpi terlalu jauh, kasihan kamu kalau nanti jatuh dan tidak mewujudkan mimpimu.”
Entahlah, menjadi perempuan yang memiliki mimpinya sendiri, yakin akan hal itu, berusaha sekuat tenaga mewujudkannya sangat amat tidak mudah. Ya memang mewujudkan mimpi bagi tiap orang pun selalu tidak mudah.
Bermimpi yang awalnya bebas dan suka-suka saja ketika di dalam pikiran, akan mungkin bisa berubah, mengalami revisi atau penyesuaian saat dihadapkan dengan kata “realistis”. Yang berarti mesti memperhitungkan berbagai hal, kondisi atau situasi, peluang, kemampuan, hambatan, kekurangan, lingkungan, struktur dan lain sebagainya.
Namun, menjadi semakin getir saat harus menghadapi kalimat-kalimat yang sering“nyinyir”. Terlebih, saat usaha yang dilakukan belumlah mencapai hasil yang diharapkan atau mengalami kegagalan demi kegagalan. Maka lagi-lagi, jika ada yang peduli biasanya dinasihati untuk menyerah, sekaligus jadi solusi yang mereka tawarkan.
Belum lagi justru mereka menawarkan opsi lain yang mereka pikir akan dapat menggantikan mimpi tersebut, terutama saat si perempuan berstatus single atau belum menikah, yakni untuk segera menikah atau mencari pasangan hidup. Seakan semua mimpi perempuan disamaratakan, termasuk dalam hal perempuan harus bermimpi untuk menikah.
Saya tidak tahu pasti apakah hal-hal tersebut dirasakan juga oleh perempuan lain yang punya mimpi dan pantang menyerah mewujudkannya, atau hanya terjadi pada saya saja. Tapi yang pasti, dan yang saya ketahui bukanlah respon tersebut yang sebenarnya diharapkan perempuan. Ia yang punya mimpi dan patang menyerah mewujudkannya hanya ingin dukungan. Baik itu sifatnya dukungan moril yang menyemangati ataukah kritik dan masukan kritis yang sesuai konteks. Misalnya dengan mendiskusikan, mengevaluasi upaya atau cara yang telah dilakukan, yang mungkin salah atau kurang tepat, hingga masih menemui kegagalan.
Perempuan yang punya mimpi dan pantang menyerah mewujudkannya patut diapresiasi, meskipun masih mengalami kegagalan.
Ada hal penting yang lebih esensi, terutama bagi perempuan yakni “percaya pada diri sendiri”. Dengan percaya pada diri sendiri berarti menegaskan bahwa perempuan adalah seorang individu, seorang subyek yang memiliki kehendak dan punya kekuatan di dalamnya.
Dengan timbulnya kesadaran perempuan untuk memiliki dan memperjuangkan impian berarti meneguhkan dirinya sebagai manusia seutuhnya. Yang tidak saja mimpi-mimpi tersebut hanya akan diperingati, diingat setahun sekali saja dan hanya sekedar seremoni. Tetapi perempuan boleh bermimpi, mengusahakannya tiap hari, tiap waktu, kapanpun yang ia mau. Ia lah pengambil keputusannya sendiri, bahkan jika akhirnya ia memutuskan untuk menyerah. Ia lah pemegang wewenang akan mimpinya sendiri, bukan orang lain.
Untuk para perempuan yang punya mimpi dan masih berusaha mewujudkan mimpi-mimpinya, yang memutuskan untuk tidak menyerah, teruslah berjalan dan berlari untuk mengupayakannya.
Karena mimpi hanya perlu kalian lihat dari mata kalian sendiri, tidak perlu melihat dari mata orang lain.
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
Referensi:
1.Saya seorang pemimpi. Saya, benar-benar, seorang pemimpi praktis. Mimpi saya bukan hal-hal yang tidak nyata. Saya ingin mengubah mimpi saya menjadi kenyataan. Selama hidup, saya telah mendapat lebih banyak dari teman-teman pengkritik daripada para pengagumku, terutama jika kritiknya dibuat dalam bahasa yang sopan dan bersahabat. Saya seorang pecinta kebebasan sehingga saya tidak akan menghalang-halangi kebebasan Anda. Mahatma Gandhi.
2.Kutipan dari Widjajono Partowidagdo, Mengenal Pembangunan dan Analisis Kebijakan, Bandung : Program Pascasarjana Studi Pembangunan Institut Teknologi Bandung, 2004, Hlm. 34.
*Maya Atri, seorang perempuan yang pernah dan sedang belajar sosiologi, penggapai mimpi yang percaya pada intuisi