Kampusku Belum Aman Dari Kekerasan Seksual

UII Bergerak, jaringan yang mengadvokasi kasus kekerasan seksual di Kampus Universitas Islam Indonesia (UII) menyatakan kecewa karena hingga saat ini pihak kampus UII belum juga memberikan respon dalam menangani kasus kekerasan seksual di kampus mereka. Hal ini diutarakan perwakilan UII Bergerak, Fakrurrozi dalam konferensi pers melalui Instagram 10 Agustus 2020.

Tim Konde.co

Fakhrurrozi mengatakan, sudah sepantasnya UII belajar dari beberapa kampus yang sudah memiliki regulasi khusus kekerasan seksual seperti Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gajah Mada

Pentingnya Regulasi Anti Kekerasan Seksual di lingkup kampus sudah mencapai titik nadir karena kampus menjadi tempat sangat rawan terjadi kekerasan seksual.

Kasus di UII ini bukan satu-satunya yang terjadi di kampus di Indonesia, ada kekerasan seksual yang terjadi di 79 kampus di 29 kota di Indonesia

Kasus di Kampus UII ini mencuat pada April 2020 dimana banyak perempuan korban kekekerasan seksual yang mengadu ke UII Bergerak dan ke LBH Jakarta atas kasus yang diduga dilakukan IM, mantan mahasiswa UII yang sedang menempuh kuliah lanjutan ke Melbourne University, Australia

Meila Nurul Fajriah, pengacara LBH Yogyakarta yang menjadi pengacara korban mengatakan bahwa IM Menggunakan modus menanyakan kabar dan memberikan informasi soal beasiswa kepada para perempuan adik kelasnya, IM dengan daya ‘pesonanya’ diduga telah melakukan sejumlah kekerasan seksual. Perbuatan ini telah dilakukannya sejak tahun 2016, korbannya mencapai 30 orang

UII Bergerak juga mendapat sebaran pesan berantai dari Lembaga Dakwah Kampus atas kejadian ini. Menindaklanjuti pesan berantai tersebut, UII Bergerak menelusuri kebenaran informasinya. 

UII Bergerak mencoba menghubungi salah satu penyintas berinisial ‘Z’ yang mendapat tindakan pelecehan seksual melalui direct message Instagram pada 11 April 2020, lalu penyintas ‘X’ yang bersedia menceritakan kisahnya kepada UII Bergerak. Penyintas mendapat pelecehan seksual dari Ibrahim Malik pada 2016 di perpustakaan UII. 

Beberapa saat setelah UII Bergerak merilis sikap “UII Lawan Kekerasan Seksual”, pihak kampus memberikan respon melalui Pers Mahasiswa Himmah UII, pada (2/5/2020) dan menyatakan komitmen untuk menangani kasus kekerasan seksual di lingkungan UII. 

Namun, sampai 10 Agustus 2020 dalam pernyataan pers nya, UII Bergerak mengatakan bahwa komitmen UII patut dipertanyakan, 

“Karena tidak adanya transparansi perkembangan penanganan terkait apa saja yang telah dilakukan oleh UII kepada publik dalam bentuk apapun. Langkah yang diambil UII adalah membentuk tim pencari fakta yang keanggotaan timnya hingga saat ini tidak transparan.” 

Dalam rilis kronologi UII Bergerak dituliskan, menanggapi kasus kebebasan akademik yang menimpa salah satu dosen, Kampus UII memilih untuk melakukan konferensi pers dan melakukan pengawalan ketat hingga membawa ke jalur hukum. Kasus kekerasan seksual yang ramai diperbincangkan publik dari akhir bulan tidak dinggap penting. 

Beberapa informasi yang UII Bergerak dapati bahwa UII sedang merancang regulasi anti kekerasan seksual untuk lingkup kampus pun hingga saat ini nihil. Begitu juga dengan tim yang membentuk regulasi, namun hingga saat ini tidak ada transparansi. 

UII Bergerak dalam konferensi persnya mengatakan bahwa abainya UII terhadap kasus kekerasan seksual membuat publik terus bertanya kepada UII Bergerak mengenai perkembangan penanganan kasus IM?

Fakhrurrozi juga mengatakan bahwa kini IM lolos dari Melbourne University dengan dalih pihak kampus tidak memiliki cukup bukti. Bersamaan dengan itu, Melbourne University juga memberikan assistance kepada 2 (dua) penyintas yang melaporkan ke universitas dan juga kepada IM. 

“Berita ini tentu sangat memukul penyintas bahkan syok. Menurut para penyintas kampus menjadi tempat yang tidak aman dan rentan terjadi kasus kekerasan seksual, terutama perempuan. Belum adanya penyintas yang melaporkan ke pihak berwajib hingga saat ini, bukan berarti tidak ada korban,” kata Fakrurrozi dalam konferensi pers.

Kekosongan regulasi khusus untuk menangani kasus kekerasan seksual juga menjadi faktor utama mandeknya penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan UII. 

Praktik Stop Kekerasan Seksual di Sejumlah Kampus

Kekerasan seksual di kampus ini tak hanya terjadi di UII namun ini terjadi di banyak kampus di Indonesia.

#NamaBaikKampus, sebuah program kolaborasi berupa laporan tulisan yang dilakukan 4 media yaitu The Jakarta Post, Tirto, Vice dan BBC yang dilakukan untuk membuka kasus kekerasan seksual di kampus mendapatkan data melalui survey daring tentang adanya kekerasan seksual yang terjadi di 79 kampus di 29 kota di Indonesia

Langkah yang dilakukan UI dan UGM adalah langkah yang sangat baik dengan membuat aturan dan standar operasional di kampus. 

Dalam theconversation.com dituliskan bahwa UGM dan UI kemudian membuat kode etik stop kekerasan seksual di kampus.

Di sejumlah negara lain, kebijakan ini juga dibuat di kampus misalnya dibuatlah kebijakan yang mengatur interaksi apa saja yang tidak boleh dilakukan dosen ketika mengajar, membimbing skripsi, maupun dalam kehidupan personal.

Theconversation.com juga menuliskan misalnya dalam Dokumen Kebijakan Hubungan Konsensual dari Northwestern University di Amerika Serikat mengatur secara ketat hubungan seperti apa yang diperbolehkan antara pengajar dan mahasiswa.

“Karena luar biasa besarnya ketimpangan kuasa institusional maupun risiko munculnya pemaksaan, tidak boleh ada hubungan seksual maupun romantis antara anggota fakultas dengan mahasiswa,” tulis kebijakan tersebut.

Tanpa ada batas perilaku yang jelas yang dipahami semua pihak, dosen maupun mahasiswa senior dapat menyalahgunakan kuasanya, disengaja maupun tidak.

Sri Wiyanti salah satu dosen yang memprakarsai pembuatan kebijakan di kampus UGM mengatakan bahwa himbauan tentang relasi kuasa ini harus ditekankan di seluruh lingkungan kampus, kepada semua pihak, di berbagai aktivitas.

“Pelecehan seksual layer [lapisan]-nya beda-beda. Ada yang dari dosen ke mahasiswa, dosen senior ke dosen junior, dari dosen ke pegawai, dari mahasiswa senior ke junior, dan seterusnya.”

Lukas S Ispandriarno, Ketua Prodi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta dalam diskusi yang diadakan pada 10 Agustus 2020 yang bertajuk: penghapusan kekerasan seksual: pentingkah dilakukan di kampus? yang dilakukan Lembaga Ciqal dan Universitas Atma Jaya Yogyakarta melalui daring mengatakan, di beberapa kampus di sejumlah negara, sudah mulai melakukan perubahan seperti mendiskusikannya di kampus untuk membuat kebijakan menjamin hak asasi manusia di kampus. Bahkan beberapa negara sudah mendiskusikan dengan murid-muridnya sejak masa sekolah.

Di kampus, hal ini bisa dilakukan dengan mendukung martabat siapapun yang ada di dalam kampus untuk merasakan aman dari kekerasan seksual, entah itu mahasiswa, guru, buruh atau siapapun yang ada di dalam kampus untuk menjamin lingkungan yang bebas dari kekerasan seksual, karena bagaimana kita mau belajar dengan baik jika kita tidak merasakan rasa aman. 

Lukas mempelajari ini di beberapa kampus di Amerika dan Filipina

“Kampus bisa membuat kebijakan, jadi ada aturan tertulis yang menjerat pelaku dan melindungi korban,” kata Lukas Ispandriarno

Apa lagi yang bisa dilakukan? Lukas Ispandriarno mengusulkan beberapa ide seperti mengadakan diskusi di kampus soal stop kekerasan seksual di kelas, melalui workshop, olahraga, festival dan penggunaan platform untuk menyebarkan kesadaran. 

Kemudian membentuk tim untuk merancang kebijakan kampus/ peraturan kampus.

Selain itu memperbanyak penelitian tentang stop kekerasan seksual di kampus dan memasukkan isu ini dalam kurikulum kampus.

“Hal lain, yaitu mengikutsertakan mahasiswa dalam advokasi isu ini di luar kampus untuk bekerjasama dengan organisasi-organisasi mendorong adanya undang-undang stop kekerasan seksual agar segera disahkan.”

Walaupun menurut Lukas ini membutuhkan waktu yang panjang. Ia mencontohkan, di Amerika negara dengan ruang keterbukaan yang luas, baru membahas soal kekerasan seksual di kampus di tahun 2016, maka Indonesia bisa memulainya sekarang. 

Dengan cara ini, maka kampus bisa menjadi pelopor dalam melakukan stop kekerasan seksual.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

(Referensi: https://theconversation.com/cara-menyusun-sop-penanganan-kekerasan-seksual-di-kampus-belajar-dari-dosen-ui-dan-ugm-128054)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!