Makin Terisolasi di Balik Pandemi: Cerita Hidup LGBT di Beberapa Kota Selama Covid

Dituduh sebagai pembawa virus dan merasakan ketakutan jika sedang berada di luaran adalah kondisi yang dialami sejumlah Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) di beberapa kota di Indonesia di masa Covid. Pandemi ini membuat kondisi LGBT semakin terisolasi 

Fadiyah- Konde.co

Ratna, seorang transpuan mencoba mengingat kembali kejadian yang belum lama ini dialaminya saat ia keluar rumah. Ia saat itu keluar rumah hanya sekadar untuk membeli kebutuhan sehari-hari di sebuah minimarket.

“Aku dituduh ‘ih, pembawa corona’ gitu. Jadi aku gak bisa melakukan perlawanan karena sendiri kan,” kisah Ratna (30)

“Jadi aku terima apa yang di-bully orang, orang-orang melakukan kekerasan, itu menerima aja gitu. Jadi enggak tahu mau buat apa lagi,” ujarnya kepada Konde.co dalam percakapan melalui telepon pada Sabtu (11/7/2020) siang.

Hinaan dari orang yang tidak ia kenal yang ditemuinya di pinggir jalan secara tiba-tiba biasa dirasakan oleh Ratna. Ratna adalah nama yang sengaja dipilihnya untuk menutup identitasnya dan identitas kawan-kawannya sesama transpuan yang berasal dari ujung pulau Sumatera.

“Padahal aku pakai APD [alat pelindung diri], pakai masker,” ungkapnya.

Ratna merasa khawatir dan takut untuk keluar dari tempat tinggalnya selama pandemi. Kekhawatirannya pun tak sebatas karena tuduhan sebagai pembawa dan penyebar virus Covid-19, melainkan juga cercaan yang diterima di jalan, atau tempat umum.

“Yang aku hadapi saat ini, ya mengganggu secara psikologis ya. Aku tuh takut ketika melihat orang lain di luar komunitas [transgender],” serunya.

Tak berhenti di sana, kerentanan terhadap Ratna dan komunitasnya semakin menjadi selama masa pandemi terutama berkaitan dengan pilihan tempat tinggal. Terlebih, dengan kebijakan untuk meminimalisir kegiatan di luar rumah.

“Di sini sulit sekali mendapatkan kosan atau sewa rumah yang mau menyewakan ke komunitas [transpuan]. Jadi biasanya para transpuan itu tinggal di tempat usahanya masing-masing. Jadi akan terkumpul di titik-titik usaha,” terangnya.

Ratna memiliki usaha salon di sebuah ruko dua lantai. Lantai satu khusus untuk operasi salon dan lantai dua dia gunakan sebagai tempat tinggal bersama teman sesama transpuan dengan memanfaatkan kamar seluas 2×2 meter.

Namun, selepas pandemi, banyak transpuan yang kemudian kehilangan pekerjaannya. Mereka pun ditampung dan disediakan lapangan kerja oleh teman-teman sesama transpuan. Ratna sendiri kini menampung empat orang di salonnya untuk saling berbagi ruang.

Beban yang dihadapi oleh transpuan memang semakin berlipat ganda selama pandemi ini. Menurut Ketua Komunitas Sehati Makassar (KSM) Eman Memay Harundja, yang berfokus pada isu hak LGBT, terdapat setidaknya dampak ekonomi, psikologis, hingga kesehatan yang terjadi pada kelompok transgender selama pandemi.

“Mereka kehilangan pekerjaan, penurunan penghasilan, bahkan ada yang tidak memiliki pendapatan, bahkan beberapa kelompok transpuan itu tidak bisa membayar biaya rumah,” jelas Eman kepada Konde.co saat dihubungi pada Kamis (18/7/2020).

Eman menjelaskan bahwa mayoritas dari kelompok transgender memiliki pekerjaan informal karena masih banyaknya diskriminasi untuk mendapatkan pekerjaan bagi mereka. Selain itu, banyak pula yang tak diakui keluarga, sehingga harus beranjak dari keluarga sebelum benar-benar memiliki bekal keterampilan, ataupun pendidikan.

Jadi banyak yang akhirnya bekerja secara informal, seperti di salon, atau di pinggir jalan, seperti pekerja seks. Kebanyakan memang jadi pekerja seks, salon, atau tukang salon keliling,” ungkap Eman.

Keadaan pandemi memunculkan beban yang semakin berlipat ganda bagi mereka. “Nah, pasca covid ini itu semua hilang pendapatannya. Misalnya, yang di salon,” jelasnya.

Bagi mereka yang mendapatkan penghasilan dengan menjadi pekerja seks pun turut terdampak. Penghasilan mereka turun drastis. Namun, beberapa dari mereka tetap bekerja karena terdesak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sekali pun pengunjungnya sepi dan risikonya tinggi.

“Mereka pun mau nggak mau tetap bekerja di jalan, tetapi ada risiko keamanan yang bisa sistem kekebalan tubuh mereka, maupun covid,” terang Eman.

Namun, dengan segala dampak yang muncul kepada transgender, baik Eman, maupun Ratna, belum pernah mendengar ada bantuan dari pemerintah. Bahkan, rangkaian perlakuan diskriminatif terhadap transpuan juga tak surut selama pandemi.

Contohnya, pada masa awal masuknya pandemi Covid-19 ke Indonesia, warga Jakarta justru dikejutkan dengan berita pembunuhan Mira di kawasan Cilincing, Jakarta Utara. Mira terakhir kali menghembuskan napasnya 5 April 2020. Ia merupakan transpuan yang dibakar dalam keadaan hidup.

Tak lama setelah itu pada Jumat (1/5/2020) dini hari, muncul kasus lainnya di Bandung berupa prank atau jebakan kepada dua transpuan. Jebakan tersebut dilakukan salah satunya oleh seorang Youtuber bernama Ferdian Paleka.

Ferdian memanggil para transpuan yang ia temui di pinggir jalan. Kemudian ia memberikan bingkisan yang Ferdian akui sebagai sembako. Alih-alih berisikan makanan, bingkisan tersebut ternyata berisikan sampah. Ferdian pun merekam video tersebut dan mengunggahnya secara daring, hingga sempat viral.

Kasus lainnya hadir belum lama ini, Kamis (12/7/2020), saat adanya penusukan terhadap transpuan, Alin, di Aceh. Kelompok komunitas yang fokus pada isu gender pun turun tangan untuk membantu donasi karena luka tersebut tak dapat ditanggung oleh BPJS Kesehatan.

“Harapannya sebenarnya tidak membeda-bedakan terkait hak-hak kami sebagai bagian dari kelompok LGBT. Biasanya, ketika ada bantuan, ini untuk kelompok perempuan, kelompok masyarakat rentan, kok belum ada yang secara spesifik untuk kelompok mayoritas seksual,” ujar Eman.

“Harapannya sih ya, pemerintah bisa bersikap lebih profesional sesuai dengan tupoksi sesuai dengan standar, tetapi sampai sekarang, teman-teman transpuan belum pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah,” pungkasnya.

Perundungan di Ranah Digital

Perundungan pun tak terbatas pada tempat umum, melainkan juga masuk ke ranah-ranah digital, seperti sosial media.

Ratna mengisahkan betapa jengkelnya ia saat melihat unggahan-unggahan di sosial media yang malah menyalahkan kelompok LGBT atas penyebaran pandemi di Indonesia.

Konsekuensi terbesar ujaran kebencian terhadap kelompok LGBT adalah persekusi atau perundungan terhadap kelompok transpuan karena memiliki ekspresi seksual yang paling terlihat.

Ratna menilai bentuk perundungan kepada kelompok transpuan sebetulnya bukan hal baru. Salah satu contoh lama, ungkap Ratna, adalah penanaman perspektif keliru terkait transpuan sebagai penyebar virus HIV, hingga bencana alam.

Pernyataan Ratna pun tercerminkan dalam penelitian Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat yang menunjukan setidaknya terdapat 973 orang yang menjadi korban dari stigma, diskriminasi dan kekerasan berbasis orientasi seksual, identitas dan ekspresi gender di luar norma biner heteronormatif selama 2017. Korban terbanyak adalah kelompok transgender, yakni sebanyak 715 orang.

Ratna menilai bahwa persepsi-persepsi tersebut bisa muncul akibat dari kebencian dan diskriminasi yang memang sudah lama ditanamkan terhadap mereka, baik melalui para politisi yang menggunakan isu transgender demi kepentingan kampanye, pemberitaan media yang memojokkan kelompok transgender, hingga hinaan di sosial media.

“Jadi individu-individu kelompok trans ini semakin tidak percaya diri, takut, secara psikologis, kami semua terganggu,” ungkapnya.

Fadiyah, Jurnalis lepas di Jakarta. Kini aktif sebagai pengurus divisi gender Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta. Di waktu kosong, kerap kali mengubah khayalannya jadi fiksi

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!