Karena mengabaikan partisipasi buruh perempuan, maka para perempuan pekerja rumah tangga dan pekerja rumahan, perempuan pekerja media, pekerja muda, pekerja industri kreatif, buruh pabrik dan pekerja dengan disabilitas menyatakan penolakannya pada Omnibus Law UU Cipta Kerja. Berikut 10 alasan mengapa buruh perempuan harus menolak UU Cipta Kerja.
Tim Konde.co
Kerja layak dan hidup layak tidak menjadi pertimbangan bagi pemerintah dan DPR dalam merumuskan UU Cipta Kerja yang akibatnya harus ditanggung oleh semua buruh dan secara khusus buruh perempuan.
Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja dalam konferensi pers secara daring pada 19 Oktober 2020 mencatat ada 10 alasan mengapa buruh perempuan harus menolak UU Cipta Kerja:
1.Jam Kerja Panjang dan Penghapusan Cuti Merugikan Pekerja Perempuan
Ketentuan dalam UU Cipta Kerja mengatur fleksibilitas kerja yang terwujud dalam jam kerja panjang dan menghilangkan sejumlah hak cuti akan merugikan pekerja perempuan. Di dalam draft resmi RUU Cipta Kerja yang diunggah di situs ketentuan lima hari kerja dihapus dan hanya berlaku enam hari kerja (pasal 79) dan waktu lembur diperpanjang menjadi 4 jam dari semula 3 jam (pasal 78). Itu artinya, pekerja berpotensi bekerja 8 jam ditambah lembur 4 jam, menjadi 12 jam sehari. Perusahaan tertentu juga memiliki peluang untuk mengatur jam kerja lebih dari 8 jam (pasal 77).
Selain itu, cuti panjang terancam hilang karena diserahkan pada peraturan perusahaan (pasal 79). Kondisi itu sangat merugikan pekerja perempuan yang selama ini masih menanggung beban ganda, yaitu beban kerja dan pekerjaan domestik. Pekerja perempuan akan hanya memiliki sedikit waktu untuk pengembangan diri bagi karir dan untuk dirinya sendiri.
2.Upah Yang Semakin Kecil, Menjauhkan Buruh Perempuan dari Kesejahteraan
Variabel penghitungan Upah didalam UU Cipta Kerja tidak mengutamakan standar hidup layak tetapi lebih mengedepankan variable pertumbuhan ekonomi (inflasi) dan upah ditetapkan berdasarkan satuan waktu dan atau satuan hasil akibatnya ketika ketentuan ini diberlakukan maka buruh perempuan akan menanggung dampaknya jika dilihat dari perspektif kesehatan reproduksi perempuan dimana cuti melahirkan, cuti hamil dan cuti haid tidak akan dihitung sebagai bagian dari kerja produktif.
3. UU Cipta Kerja Melanggengkan Status Kerja Kontrak, Buruh Perempuan akan Semakin rentan
Status kerja kontrak adalah sistem kerja yang selama ini merugikan buruh perempuan karena sistem ini pada prakteknya mengabaikan hak-hak kesehatan reproduksi pekerja perempuan, membuat buruh perempuan tidak memiliki kepastian kerja yang berkelanjutan, rentan mengalami Pemutusan Hubungan Kerja/ PHK dan melemahkan posisi buruh dihadapan pengusaha.
Dalam Undang-Undang Cipta Kerja, status kerja kontrak masih diakui, bahkan menghilangkan batasan kontrak dan memudahkan syarat kerja kontrak seperti tercantum pada dalam pasal 81 angka 151 UU Cipta Kerja yang berkonsekuensi pada pemberlakuan status kerja kontrak berkepanjangan dan dampaknya adalah hilangnya hak pesangon yang seharusnya didapatkan sesuai dengan masa kerja serta pengabaian hak kesehatan reproduksi buruh perempuan.
4.Disclaimer Jaminan Sosial memiskinkan perempuan secara fisik dan ekonomi
Setiap orang berhak atas Jaminan Sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermanfaat. Di dalam UU Cipta Kerja ada penambahan jenis program yaitu Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan, namun syarat dan ketentuan kepesertaan, serta prinsip penyelenggaraan program yang digunakan masih membuka peluang peserta kehilangan haknya untuk mengambil manfaat program, sehingga disclaimer menjadi sebuah keniscayaan, hal ini tentunya membuat pemenuhan kebutuhan hidup dasar yang layak semakin jauh dari kata ideal, apalagi bagi pekerja perempuan yang masih mendominasi pada sektor industri padat karya, tentunya akan semakin rentan secara fisik dan ekonomi, belum lagi dalam pencapaian martabat kemanusiaan.
5.Merugikan Pekerja Yang Di-informal-kan: Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan Pekerja Rumahan.
Peraturan ini meminggirkan Pekerja yang di-informal-kan seperti PRT, pekerja rumahan sejenis sebagai pekerjaan yang diakui, pekerja yang harus dilindungi dan hubungan kerja yang perlu diatur. Data Biro Pusat Statstik/ BPS 2019 menyebutkan sebanyak 70, 8 juta pekerja adalah pekerja informal dan mayoritas perempuan.
UU ini secara umum sudah menurunkan kualitas yang harus lebih ditingkatkan dan dipenuhi sesuai prinsip kerja layak seperti perlindungan upah, jam kerja normatif, libur mingguan, cuti, jaminan sosial, hak berserikat, THR, pesangon.
UU ini justru semakin meminggirkan pekerja formal dan yang di-informal-kan. Hal ini bertentangan dengan slogan Sustainable Development Goals (SDGs) SDGS dan beberapa tujuan SDGS Artinya 70,8 juta pekerja ditinggalkan dan 120an juta pekerja jauh dari pencapaian kerja layak.
6.Mendiskriminasi Pekerja Disable
Proses UU Cipta Kerja tidak melakukan harmonisasi dengan UU No. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas untuk hal-hal terkait dengan kepentingan Perempuan Penyandang disabilitas.
UU cipta kerja bahkan masih menggunakan istilah “cacat”, yang sejak tahun 2011 telah diganti Pemerintah dengan “disabilitas”, yaitu sejak meratifikasi UN CRPD. Banyak sektor yang terkait Penyandang disabilitas tidak diatur, dan ini merugikan Penyandang disabilitas, termasuk perempuan disabilitas; Bahkan, ada ketentuan yang berkaitan dengan Penyandang disabilitas namun bertentangan dengan UU No. 8 tahun 2016.
Salah satu alasan perusahaan diperbolehkan memutuskan hubungan kerja dengan karyawan adalah jika karyawan menjadi “cacat” karena kecelakaan kerja dan tidak dapat bekerja selama 12 bulan berturut-turut. Sedangkan Pasal 11 UU No 8 tahun 2016: seorang pekerja yang karena sesuatu hal menjadi Penyandang disabilitas berhak mendapatkan program “kembali bekerja (return to work)”.
Program ini difasilitasi oleh perusahaan tempat karyawan tersebut bekerja, mulai dari proses rehabilitasi, hingga kembali bekerja di perusahaan yang sama. Program kembali bekerja ini termasuk memindahkan karyawan yang menjadi Penyandang disabilitas ke jenis pekerjaan lain di perusahaan tersebut jika karena disabilitas yang disandang karyawan tersebut tidak memungkinkan melakukan pekerjaan sebelumnya.
7.Tidak Ada Perlindungan bagi Pekerja Media
Dalam konteks media dan pekerja media, tidak ada urgensi mengatur media dalam UU Cipta kerja. Masuknya pasal tentang media dalam UU Cipta Kerja ini ditandai dengan dimasukkannya perubahan pada pasal-pasal UU Penyiaran dalam UU Cipta Kerja.
Data Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP) menyebutkan, pasal penyiaran dalam UU Cipta Kerja ini digembar-gemborkan untuk mendorong investasi, membuka lapangan kerja, dan mempermudah birokrasi serta perizinan. Namun jika kita lihat isi-isi pasalnya, yang terjadi malah memperkuat dominasi industri televisi raksasa plus penguatan otoritas pemerintah dalam mengatur dunia penyiaran.
Undang-undang ini juga mengabaikan prinsip bahwa frekuensi siaran adalah milik rakyat yang penggunaannya oleh sebuah lembaga penyiaran seharusnya dimonitor dan dievaluasi dari waktu ke waktu. Jika UU ini disahkan, maka media penyiaran akan dikuasai pemerintah dan pengusaha, kita akan kembali ke zaman orde baru dan akan ada banyak eksploitase terhadap tenaga kerja media secara umum dan tenaga kerja perempuan di media pada khususnya.
Yang kedua, di media banyak terdapat pekerja prekariat, apalagi dengan adanya revolusi industri 4.0. Di media dan pekerja kreatif, selama ini banyak perempuan yang menjadi kontributor, stringer, ghost reporter, pekerja kreatif yang menjadi pekerja informal, mereka tidak dikontrak dan tidak dilindungi Undang-undang. Para pekerja ini adalah pekerja prekariat yang selama ini seperti pekerja rumah tangga dan pekerja rumahan, telah berjuang untuk mendapatkan upah layak dan untuk menjadi pekerja formal. Tetapi dengan adanya UU ini, nasibnya akan semakin tidak menentu, hanya dibayar perjam dan akan semakin banyak pekerja yang dianggap mitra perusahaan, padahal mereka tidak akan mendapatkan hak sebagaimana statusnya sebagai mitra perusahaan.
8.Kekerasan Berbasis Gender Tidak Ada Dalam Skema Perlindungan
Pelecehan seksual, diskriminasi berbasiskan gender ekspresi, dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga/ KDRT merupakan persoalan krusial yang dialami oleh banyak buruh perempuan dan berdampak pada diri mereka di dunia kerja sehingga seharusnya kekerasan berbasis gender manjadi pertimbangan penting didalam membuat sebuah undang-undang atau kebijakan sehingga perlindungan terhadap buruh perempuan akan semakin menyeluruh.
Akan tetapi, UU Cipta Kerja justru buta gender atau tidak mengakomodasi kepentingan perempuan. Salah satunya tercermin dari dihapuskannya pasal 169 UU Ketenagakerjaan yang mengatur pekerja dapat mengajukan PHK jika perusahaan menganiaya, menghina, dan mengancam mereka.
9.Pekerja Muda dan Calon Pekerja Berada Dalam Kerentanan Perbudakan Modern
Prinsip ketentuan ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja yaitu fleksibilitas tenaga kerja dan kemudahan merekrut dan memecat pekerja (easy hiring, easy firing) akan menciptakan kondisi perbudakan modern bagi pekerja muda dan calon pekerja. Sistem kerja yang tersedia bagi calon pekerja adalah jam kerja panjang, status kontrak/outsourcing, dan upah kecil. Saat mendapat pekerjaan, pekerja muda dapat mudah di-PHK karena ketentuan kontrak seumur hidup, syarat PHK semakin mudah, dan pesangon yang diperkecil. Kerentanan yang dihadapi oleh pekerja muda dan calon pekerja tersebut berpotensi menjatuhkan mereka dalam perbudakan modern.
10.Lapangan Pekerjaan bagi perempuan semakin sempit akibat kerusakan lingkungan
Sebuah ironi saat UU Ciptaker dibuat dengan tujuan menciptakan lapangan pekerjaan, tetapi dampaknya justru dapat menghilangkan pekerjaan. Ketentuan UU Cipta Kerja yang mengatur aspek lingkungan dan kehutanan berpotensi menghilangkan perlindungan masyarakat dari kerusakan lingkungan dan kepemilikan lahan yang berdampak pada semakin sempitnya lapangan pekerjaan bagi perempuan. Selama ini, perempuan memiliki peran yang besar dalam pekerjaan di sektor pertanian dan kehutanan.
Tetapi, ketentuan terkait izin lingkungan dan keterlibatan masyarakat dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diubah/dihapus. Pasal 40 tentang izin lingkungan dan pasal 93 soal hak gugatan masyarakat dihapus oleh UU Ciptaker. Selain itu, perizinan usaha berbasis lahan dapat diperpanjang sampai 90 tahun dan pelanggaran kawasan hutan hanya sanksi administratif (pasal 48). Kemudahan usaha dan dihilangkannya sanksi bagi pelanggaran korporasi meminggirkan masyarakat adat.
Atas dasar poin-poin tersebut serikat pekerja dan organisasi yang tergabung dalam Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan dalam Dunia Kerja menyatakan Menolak UU Cipta Kerja karena akan semakin meminggirkan dan memiskinkan buruh perempuan.
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)