Pernyataan Wakil Gubernur (Wagub) Jawa Barat, Uu Ruzhaul Ulum yang mengatakan bahwa poligami bisa menekan angka HIV/AIDS, adalah sebuah kesalahan fatal yang dilakukan seorang pejabat publik.
Hal ini juga menunjukkan pernyataan pejabat publik yang tidak paham soal konstitusi kebijakan negara. Padahal sebagai pejabat publik, Uu Ruzhaul seharusnya mengeluarkan pernyataan yang tidak bertentangan dengan undang-undang.
Selama ini sudah ada aturan dan UU Kesehatan yang mengatur soal HIV/AIDS, ada UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang jika melakukan poligami bisa berpotensi melakukan KDRT, juga ada UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang mengatur soal kekerasan seksual
Aktivis hak asasi perempuan dan mantan komisioner Komnas Perempuan, Masruchah ketika dihubungi Konde.co menyatakan, bahwa pernyataan Wagub ini menunjukkan minimnya pengetahuan pejabat publik, hal ini yang menyebabkan seorang pejabat kemudian bisa memberikan pernyataan yang inkonstitusional.
Padahal pejabat publik seharusnya bisa membedakan mana yang pelaku dan mana yang korban. Karena dalam hal ini, perempuan lagi-lagi dijadikan korban, harus mau menerima jika suaminya poligami, jika tidak mau, maka suaminya akan terkena HIV/AIDS. Pernyataan ini jelas tanpa menggunakan analisa, padahal perempuan adalah korban dalam konteks ini ketika suaminya terkena HIV/AIDS
“HIV/ AIDS ini bisa mengenai siapapun, untuk menghindari atau menghentikan apakah butuh poligami?. Apakah ini akan selesai?. Ini soal pengetahuan pejabat yang telah memberikan pernyataan inkonstitusional, pejabat seperti ini biasanya punya problem di level pengetahuan.”
Masruchah mengusulkan agar para pejabat publik di Indonesia bisa menandatangani pakta integritas tentang gender, kesehatan reproduksi sebelum menjadi pejabat negara, ini antaralain agar mereka bisa mengatasi problem kemanusiaan. Jadi isu gender tidak hanya sekedar simbol dalam pidato-pidato.
Seperti dikutip dari Kompas.com pada 30 Agustus 2022, berdasarkan data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bandung, dari 5.943 kasus positif HIV di Bandung selama periode 1991-2021, sebanyak 11 persen di antaranya adalah ibu rumah tangga (IRT). Salah satu pemicunya adalah suami yang melakukan hubungan seks tidak menggunakan pengaman. Selain IRT, 6,9 persen atau 414 kasus terjadi pada mahasiswa.
Untuk mencegah suami berhubungan seks dengan PSK, Uu menyarankan suami berpoligami.
“Daripada seolah-olah dia (suami) tidak suka begitu, tapi akhirnya kena (HIV/AIDS) ke istrinya sendiri, toh agama juga memberikan lampu hijau asal siap adil kenapa tidak?. Makanya daripada ibu kena (HIV/ AIDS) sementara ketahuan suami seperti itu mendingan diberikan keleluasaan untuk poligami,” kata Uu.
Masruchah menyatakan, jawaban ini jelas membuktikan bahwa isu gender memang harus diinternalisasi di kalangan pejabat publik agar para pejabat bisa berbicara dengan menggunakan analisa kebijakan di Indonesia
“Isu ini penting diinternalisasi pejabat negara, isu kesehatan reproduksi harus dipahami lebih baik, harus ada pakta integritas, pejabat negara harus memaknai gender sebagai problem yang harus disikapi pemimpin negara. Poligami tidak akan menyelesaikan ini. Uji publik mestinya juga dilakukan agar pejabat publik memahami soal ini. Isu perempuan saat ini jadi sorotan besar di dunia internasional dan nasional, penting menjadi pijakan bagi pejabat publik,” kata Masruchah.
Aktivis Arek Feminis, Surabaya, Ika Ariyani menyatakan bahwa logika yang digunakan pejabat publik seperti Wagub Jawa Barat ini adalah logika terbalik. Seharusnya jika ada ibu rumah tangga (IRT) yang terkena HIV/ AIDS dari suaminya, seharusnya IRT yang diselamatkan agar tidak menjadi korban.
Tapi pernyataan Uu Ruzhaul ini malah menunjukkan seakan yang harus dibela adalah pelaku/ suami dengan meminta mereka untuk poligami. Padahal seharusnya laki-laki yang mempunyai pasangan lebih dari satu, seharusnya dipidana, bukan justru malah memberikan ruang pada mereka
“Seorang pejabat kenapa tega memberikan pernyataan seperti itu, kog laki-laki malah istimewa, seharusnya jika melakukan ini, mereka harusnya mendapatkan hukuman,” kata Ika Ariyani ketika dihubungi Konde.co
“Menurut saya sepertinya poligami sulit dilakukan karena harus ada persetujuan istri pertama, lebih mudah memilih setia dibandingkan poligami jika memang butuh solusi. Dan sudah seharusnya kita menggunakan konstitusi yang sudah diperjuangkan dengan susah payah, karena pernyataan ini tidak berpihak pada korban. Wagub seharusnya membuka paradigma yang lebih luas, karena HIV/ AIDS bisa terjadi lewat jarum suntik, jangan istri yang selalu disalahkan.”
Ika Ariyani menyatakan, sebagai pejabat publik yang punya power, seharusya Uu Ruzhaul melihat ini sebagai sesuatu yang serius, melakukan cara seperti membentuk satgas penanganan HIV/ AIDS dan serius menyelesaikannya, serta diikuti dengan aturan kebijakan dan anggaran.
“Pernyataan pejabat publik seharusnya diimbangi dengan langkah yang tepat karena sudah ada kebijakan sebelumnya dan tidak bisa diabaikan begitu saja, harus menggunakan langkah nyata untuk menyediakan anggaran mengatatasi ini,” kata Ika Ariyani
Ika Ariyani juga menyoroti stigma yang terjadi terhadap ibu rumah tangga karena ucapan Wagub ini, karena ibu adalah sebagai pihak yang tidak bersalah dan harus menanggung akibatnya.
Mahasiswa Magister Islam dan Kajian Gender UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Roudhotul Jannah menyatakan jika pernyataan Wakil Gubernur Jawa Barat tentang poligami yang menjadi solusi dari HIV/AIDS tidak tepat. Justru dengan poligami malah menimbulkan kekerasan terhadap perempuan.
“Islam sendiri tidak menganjurkan poligami. Hal efektif yang perlu digalakkan dalam pencegahan HIV/AIDS terangkum dalam ABCDE yaitu abstinence, be faithful, condom, drugs, education. Pemerintah seharusnya fokus kepada pemberian edukasi terkait seks dan reproduksi khususnya HIV/AIDS sehingga dapat menekan angka kasus HIV/AIDS di wilayah setempat,” kata Roudhotul Jannah pada Konde.co, 31 Agustus 2022
Pernyataan pejabat ini bagi para aktivis perempuan sangat penting dan banyak publik yang akan mendengarkan, jadi jangan memberikan pernyataan yang membahayakan perempuan
Poligami Adalah Kekerasan Terhadap Perempuan
Komnas Perempuan dalam salah satu pernyataannya menyatakan bahwa poligami adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan
Ketika membuka seleksai anggota baru Komnas Perempuan pada periode 2020-2024 mensyaratkan sejumlah kriteria yang ditetapkan yaitu calon anggota tidak boleh memiliki rekam jejak dalam melakukan poligami, korupsi, pelaku kekerasan dan perusakan lingkungan. Jadi poligami merupakan salah satu unsur kekerasan yang harus diakhiri
Sementara organisasi Save Janda pernah menyatakan bahwa praktek poligami merupakan konstruksi kelembagaan keluarga yang berpotensi memberi pengaruh negatif bagi tumbuh kembang anak.
Poligami bukanlah isu yang baru muncul di Indonesia, dimana sejarah telah mencatat perjuangan dan kegigihan kaum perempuan dalam menolak poligami sejak Tahun 1952 hingga 1978.
Penolakan terhadap poligami telah dilakukan sejak Kongres Perempuan Indonesia ke I (tahun 1928), namun hingga hampir sembilan abad, kita masih tetap diperhadapkan dengan isu “ poligami” yang dilegitimasi melalui UU Perkawinan Tahun 1974, dimana UU tersebut telah menjustifikasi “poligami” dengan alasan tertentu dan atas izin Pengadilan dan terkhusus bagi Pegawai Negeri Sipil/ PNS dengan izin Pejabat (PP No.10/1983 dan PP 45/1990).
Kondisi ini ternyata masih harus terus diperjuangkan hingga kini. Padahal, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional untuk Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan sejak 1984 melalui UU No 7 Tahun 1984. Selain itu sudah ada UU Penghapusan KDRT dan UU TPKS yang mengatur ini semua.
Solidaritas Perempuan Kendari di tahun 2017 pernah menghimpun fakta apa yang terjadi terhadap kasus-kasus kekerasan yang banyak terjadi di Konawe, Kendari kala itu, temuannya mayoritas kekerasan disana merupakan persoalan kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) akibat dari poligami yang kemudian memicu Kekerasan fisik, psikis dan ekonomi baik terhadap perempuan maupun anak-anak hingga pada akhirnya meningkatkan angka gugat cerai oleh istri.
Jadi akhiri pernyataan pejabat publik yang tak berperspektif pada korban, inkonstitusional dan malah berpihak pada pelaku