Tak Pernah Dilibatkan, Protes Masyarakat Pada UU Omnibus Law Cipta Kerja Makin Meluas

Pemerintah buru-buru melakukan konferensi pers pada 7 Oktober 2020 setelah gelombang protes terhadap disahkannya UU Cipta Kerja terjadi dimana-mana. Padahal sebelumnya pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat/ DPR mengabaikan dan tak melibatkan masyarakat sejak UU ini diusulkan hingga disahkan pada 5 Oktober 2020

Luviana-Konde.co

Aksi dan protes terhadap UU Omnibus Law Cipta Kerja ramai dilakukan sejak UU ini disahkan Dewan Perwakilan Rakyat 5 Oktober 2020

Aksi protes juga terjadi di media sosial, salah satunya para buruh dan organisasi masyarakat yang menyatakan: mosi tidak percaya pada pemerintah dan DPR. Namun anehnya, setiap ada tulisan yang mengatakan bahwa UU Ciptaker ini merugikan buruh dan masyarakat, selalu dibalas dengan kalimat: Ini hoax, ini salah interpretasi, atau ini pelintiran.

Namun sejatinya bukan hanya itu saja yang penting untuk diprotes, karena protes ini sebenarya sudah dilakukan sejak penyusunannya yang tak pernah melibatkan masyarakat. UU Ciptaker seperti disusun secara sembunyi atau seperti UU siluman. Masyarakat tidak pernah tahu kapan disusunnya hingga disahkan.

Pertanyaan kecilnya adalah: bukankah pemerintah tak pernah mengikutsertakan masyarakat? Maka perbedaan persepsi ini terjadi karena pemerintah selalu bekerja sendiri, menggunakan interpretasi sendiri dan sembunyi-sembunyi

Dalam konferensi pers pada 7 Oktober 2020, pemerintah melalui Menteri Koperasi dan UMKM, Teten Masduki menyatakan bahwa UU ini dilahirkan untuk investasi, jadi nantinya izin usaha akan dipercepat dan mempermudah percepatan pengembangan industri, izin dan masyarakat tidak dipersulit untuk mendapatkan pekerjaan. 

Sedangkan Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah mengakui bahwa ada banyak distorsi informasi dalam kluster ketenagakerjaan ini, padahal ia mengklaim UU ini dilahirkan untuk penguatan perlindungan dan kesejahteraan buruh dalam mendukung sistem iklim investasi dan digital. 

“Ada banyak sekali plintiran dan informasi yang tidak benar, karena UU ini disusun untuk memperhatikan uji materi UU Ketenagakerjaan 13/ 2003.”

Pemlintiran tersebut seperti menurut Menaker yaitu misalnya Ciptaker tetap mengatur PKWT, mengatur perlindungan tambahan atau kompeasai setiap Pekerja Kontrak Waktu Tertentu/ PKWT selesai kontrak. Kemudian prinsip perlindungan hak bagi pekerja dan outourching sepanjang perlindungan juga disusun  seperti dalam hasil uji materi Mahkamah Konstitusi.

“Tentang ketentuan waktu kerja dan istirahat tetap diatur sebagaimana UU tenaga kerja, namun aada perubahan karena ini dilakukan untuk sektor kerja yang dinamis dalam zaman ekonomi digital.” 

“ Dalam kluster pengupahan misalnya, Ciptaker tetap mengatur hak-hak dan perlindungan upah atau buruh sebagaimana UU Ketenagakerjaan. Upah minimum tetap diatur namun selanjutnya akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Upah minimum kabupaten kota tetap dipertahankan.

Plintiran yang lain menurut Menaker juga terjadi yaitu ketika UU Ciptaker tidak mengatur soal PHK, padahal Ciptaker tetap mengatur tata cara PHK sama dengan UU Ketenagakerjaan

“UU Ciptaker juga tetap memberikan peran bagi serikat pekerja ketika di PHK dan ketika di PHK, para pekerja tetap masih digaji selama upah proses.”

Konferensi pers pemerintah ini juga tak hanya memberikan keterangan tentang industri dan investasi, ketenagakerjaan, namun juga soal tata ruang, industri perikanan, usaha kreatif yang ada dalam UU Cipta Kerja

Serikat Pekerja Menjawab Tuduhan Hoax

Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia/ KSPI dalam pernyataan sikapnya 7 Oktober 2020 menjawab tuduhan atas hoax yang tersebar di media sosial, Sejumlah hal yang ditulis dalam pernyataan sikap tersebut antaralain:

1. Benarkah uang pesangon akan dikurangi?

Faktanya : Uang pesangon dikurangi.

Bahkan diakui sendiri oleh Pemerintah dan DPR, jika uang pesangon dari 32 kali dikurangi menjadi 25 kali (19 dibayar pengusaha dan 6 bulan melalui Jaminan Kehilangan Pekerjaan atau JKP yang akan dikelola BPJS Ketenagakerjaan). Lagipula tidak jelas, yang oleh JKP itu 6 kali atau 6 bulan, karena kami tidak menemukan hal ini dalam omnibus law. Di mana bisa saja besarnya seperti yang diberikan sekian ratus ribu selama 6 kali.

Pengurangan terhadap nilai pesangon, jelas-jelas merugikan kaum buruh. KSPI berpandangan, ketentuan mengenai BPJS Ketenagakerjaan yang akan membayar pesangon sebesar 6 bulan upah tidak masuk akal. Dari mana sumber dananya?

Selain itu, karena dalam omnibus law buruh kontrak dan outsourcing bisa “seumur hidup”, maka besar kemungkinan tidak ada pengangkatan karyawan tetap. Dengan sendirinya pesangon akan hilang (tidak lagi didapatkan buruh).

2. Benarkah UMP, UMK, UMSK, dan UMSP dihapus?

Faktanya: Upah Minimum Sektoral (UMSP dan UMSK) dihapus. Sedangkan UMK ada persyaratan.

Jika UMSK dan UMSP dihapus tidak adil, sebab sektor otomotif seperti Toyota, Astra, dan lain-lain atau sektor pertambangan seperti Freeport, Nikel di Morowali dan lain-lain, nilai Upah Minimum nya sama dengan perusahan baju atau perusahaan kerupuk. Itulah sebabnya, di seluruh dunia ada Upah Minimum Sektoral yang berlaku sesuai kontribusi nilai tambah tiap-tiap industri terhadap PDP negara.

Fakta lain adalah, UMK ditetapkan bersyarat yang diatur kemudian adalah pemerintah.

Hal ini hanya menjadi alibi bagi Pemerintah untuk menghilangkan UMK di daerah-daerah yang selama ini berlaku, karena kewenangan untuk itu ada di pemerintah. Padahal dalam UU 13 Tahun 2003, UMK langsung ditentukan tanpa syarat.

Fakta yang lain, yang diwajibkan untuk ditetapkan adalah upah minimum provinsi (UMP). Ini makin menegaskan jika UMK hendak dihilangkan, karena tidak lagi menjadi kewajiban untuk ditetapkan.

Adapun yang diinginkan buruh adalah UMK ditetapkan sesuai UU 13 Tahun 2013 tanpa syarat, dengan mengacu kepada kebutuhan hidup layak (KHL).

3. Benarkah Upah buruh dihitung per jam?

Faktanya: Aturan dalam omnibus law (tentang perubahan terhadap Pasal 88B UU 13 Tahun 2003) memungkin adanya pembayaran upah satuan waktu, yang bisa menjadi dasar pembayaran upah per jam. Di mana upah per jam yang dihitung per jam ini pernah disampaikan oleh Menteri Ketenagakerjaan (ketik “pemerintah akan terapkan upah per jam” di google untuk melihat beritanya).

4. Benarkah hak cuti  hilang dan tidak ada kompensasi?

Faktanya: Cuti Panjang hilang (berpotensi tidak lagi diberikan).

Dalam UU 13 tahun 2003 Pasal 79 Ayat (2) huruf d diatur secara tegas, bahwa pengusaha harus memberikan hak cuti panjang selama 2 bulan kepada buruh yang sudah bekerja  selama 6 (enam) tahun. Sedangkan dalam omnibus law, cuti panjang tidak lagi menjadi kewajiban pengusaha.

Buruh juga meminta agar cuti haid dan melahirkan tidak dipotong upahnya. Sebab kalau upahnya dipotong, maka buruh akan cenderung untuk tidak menghambil cuti. Karena meskipun cuti haid dan melahirkan tetap ada di undang-undang, tetapi dalam pelaksanaan di lapangan tidak akan bisa berjalan jika upahnya dipotong, karena pengusaha akan memaksa secara halus buruh perempuan tidak mengambil cuti haid dengan menakut-nakuti upahnya akan dipotong.

5. Benarkah Outsourcing di semua jenis industri dan dengan kontrak seumur hidup?

Faktanya: Outsourcing (pemborongan pekerjaan) bisa diterakan di semua jenis pekerjaan tanpa terkecuali.

Di mana dalam Pasal 65 UU No 13 Tahun 2003 harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan tidak menghambat proses produksi secara langsung.

Sedangkan Omnibus law justru menghapus pasal 65 UU 13 tahun 2003 yang memberikan batasan terhadap outsourcing. Sehingga outsourcing bisa bebas di semua jenis pekerjaan.

Fakta yang lain, dalam UU 13 Tahun 2003, outsouring hanya dibatasi di 5 (lima) jenis pekerjaan, sesuai dengan Pasal 66 Ayat (1): Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.

Tetapi dalam omnibus law, Pasal 66 Ayat (1) yang memberikan batasan mengenai pekerjaan yang boleh menggunakan pekerja outsourcing dihapus. Artinya, semua jenis pekerjaan bisa di outsourcing. Di sini akan terjadi pebudakan modern.

KSPI meminta outsourcing dibatasi untuk jenis pekerjaan tertentu dan tidak boleh seumur hidup, atau  kembali sesuai UU  13 Tahun 2003.

Di seluruh dunia, lazim penggunaan outsourcing dibatasi jenis pekerjaannya agar tidak terjadi modern slavery. Misal di Perancis hanya boleh untuk 13 jenis pekerjaan boleh menggunakan karyawan outsourcing dan tidak boleh seumur hidup, begitu pula di banyak negara industri lainnya. Di Indonesia berdasarkan UU 13 Tahun 2003 karyawan outsourcing hanya boleh dipergunakan untuk 5 jenis pekerjaan. Negara harus hadir melindungi rakyatnya agar tidak terjadi perdagangan tenaga manusia melalui agen outsourcing.

Ketika outsourcing dibebaskan, berarti tidak ada job security atau tidak ada kepastian kerja bagi buruh Indonesia. Hal ini menyebabkan hilangnya peran negara untuk melindungi buruh Indonesia, termasuk melindungi rakyat yang masuk pasar kerja tanpa kepastian masa depannya dengan dikontrak dan outsourcing seumur hidup.

Tahun 2020 saja jumlah karyawan kontrak dan outsourcing sekarang berkisar 70% sampai 80% dari total buruh yang bekerja di sektor formal. Dengan disahkannya omnibus law, bisa saja karyawan tetap hanya tinggal 5%

6. Benarkah tidak akan ada status karyawan tetap?

Faktanya: Karyawan kontrak tidak ada lagi batasan waktu.

Dalam perubahan pasal 59 UU 13 tahun 2003 di omnibus law, tidak lagi diatur mengenai berapa lama kontrak (pkwt) harus dilakukan. Sehingga bisa saja terjadi pkwt seumur hidup. KSPI meminta tetap harus ada batas waktu kontrak bagi pekerja kontrak atau pkwt.

Jika hal ini diterapkan, maka buruh Indonesia tidak memiliki kepastian terhadap masa depan. No job security. Buruh tidak lagi memiliki harapan untuk diangkat menjadi karyawan tetap, karena pengusaha cenderung akan mempergunakan karyawan kontrak yang bisa diberhentikan kapan saja. Sekarang saja jumlah karyawan kontrak dan outsourcing sebesar 60 persen hingga 75 persen tanpa kepastian kerja, upah rendah, tidak ada jaminan sosial. Data ini hasil survei FSPMI bersama lembaga nirlaba jerman FES di tiga propinsi yaitu Jabar, Jatim, Kepri.

7. Apakah Perusahaan bisa memPHK kapanpun secara sepihak?

Faktanya: Perusahaan yang melakukan PHK secara sepihak, dalam omnibus law tidak lagi dikatergorikan batal demi hukum dan upah selama proses perselisihan PHK tidak dibayar.

Hal ini, karena, omnibus law menghapus pasal 155 UU 13 Tahun 2003 yang bunyinya:

(1) Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3)

batal demi hukum.

(2) Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.

(3) Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.

Omnibus law juga mempermudah PHK, hal ini terlihat dalam Pasal 154A, khususnya Ayat 1 huruf (b) dan (i):

(1) Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan:

(b) perusahaan melakukan efisiensi;

(i) pekerja/buruh mangkir;

Padahal sebelumnya, Mahkamah Konstitusi sudah memberikan putusan bahwa PHK karena efisiensi hanya bisa dilakukan ketika perusahaan tutup permanen. Dengan pasal ini, bisa saja perusahaan melakukan PHK dengan alasan efisiensi meskipun sedang untung besar.

Selain itu, dalam omnibus law PHK bisa dilakukan karena buruh mangkir (tanpa dijelaskan berapa lama mangkir, sehingga bisa hanya 1 hari) . Padahal dalam UU 13 Tahun 2003 PHK karena mangkir hanya bisa dilakukan setelah mangkir 5 hari berturut-turu dan dipanggil minimal 2 kali secara tertulis.

8. Benarkah Jaminan sosial dan kesejahteraan lainnya hilang?

Faktanya: Karena outsourcing dan karyawan kontrak bebas, maka sulit bagi mereka bekerja hingga masa pensiun. Sehingga tidak mendapatkan jaminan pensiun. Selain itu, karena rentang diputus kontrak, maka tidak lagi mendapatkan jaminan kesehatan.

9. Benarkah semua karyawan berstatus tenaga kerja harian?

Faktanya: Omnibus law mengatur hubungan yang fleksibel dengan mudah rekrut dan pecat. Sehingga mungkin saja akan banyak buruh yang berstatus sebagai tenaga kerja harian.

Selain itu, omnibus law waktu kerja fleksibel. Hal ini justru akan meningkatkan jumlah pekerja informal di industri padat karya. Misalnya, pabrik boneka, sepatu, baju, tidak lagi mendirikan bangunan pabrik tetapi cukup mendirikan kantor saja.

Pengusaha akan memberikan order ke masyarakat atau buruh yang bekerja dari rumah (home industry). Dengan sistem seperti ini, tidak ada lagi perlindungan untuk buruh. Upah hanya dibayarkan seenaknya dan tidak ada jamian kesehatan dan jaminan pensiun.

10. Benarkah Tenaga Kerja Asing dilarang masuk?

Faktanya Omnibus lawa menghilangkan kewajiban bagi tenaga kerja asing untuk memiliki izin

11. Benarkah Buruh Dilarang Protes?

Faktanya ini adalah dampak dari meluasnya buruh outsourcing dan kontrak. Karyawan kontrak itu kalau tidak nurut (banyak protes) akan tidak diperpanjang kontraknya

12. Benarkah libur hari raya hanya pada tanggal merah dan tidak ada penambahan cuti?

Faktanya ini adalah penerapan dari penerapan jam kerja yang fleksibel dan upah perjam , sehingga liburpun buruh disuruh masuk

Protes Dari Dosen dan Akademisi Indonesia

Di hari yang sama, 7 Oktober 2020 para dosen, profesor dan akademisi perwakilan dosen berbagai universitas di berbagai wilayah di Indonesia memprotes UU ini melalu daring.

Sebagai akademisi mereka tidak bisa diam dan langsung menyatakan pernyataan sikap memprotes UU Cipta Kerja. Hal ini karena sejak awal, pemerintah dan DPR telah melanggar hukum karena tak pernah mengikutsertakan masyarakat

Salah satu akademisi, Prof. Susi Dwi Harijanti dalam pernyataan sikap para dosen dan akademi di Indonesia ini menyatakan bahwa pengesahan yang dilakukan oleh DPR di malam hari dan secara diam-diam ini seperti sebuah misteri.

“Mengapa UU Cptaker yang banyak bermasalah ini, harus segera disahkan, padahal ini malam-malam. Bukankah ini akan menganggu tidur nyenyak para anggota DPR? Apa artinya partisipasi publik? Hak manusia dan lingkungan hidup sudah diabaikan.”

“Bapak presiden dan DPR yang terhomat, ini adalah tanggungjawab kami sebagai akademisi yang bertanggungjawab untuk negeri ini. Negara akan mengalami demoralisasi dan korupsi meluas akibat disetujuinya UU Cipta Kerja ini,” kata Susi Dwi Harijanti

Luviana, setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar ilmu komunikasi paruh waktu. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!