Basa-Basi Mesra Diantara Pasangan Tetap Perlu, Namun Bukan Karena Kodrat

Mengucapkan terimakasih pada pasangan yang membantu tugas rumah tangga itu penting atau tidak? Buat saya, tidak papa saya mengucapkannya selama pengungkapannya memang didasari ketulusan, bukan karena rasa kewajiban, apalagi penghambaan dan kodrat, karena tugas rumah tangga merupakan tugas suami dan istri di rumah

Satu malam, suami saya mengganti popok anak kami yang masih berusia dua bulan. Gayanya cekatan, tapi tak lama kemudian tetap saja ia terkena kencing anak kami. Saat itu dia tertawa. Saya, yang tengah lelah lahir batin, mengucapkan terima kasih padanya. Berkali-kali. Di luar dugaan, dia justru mengerutkan kening dan berkata sedikit kesal :

“Makasih buat apa sih?”

Ini bukan pertanyaan satir. Dia memang benar-benar bingung, kenapa saya harus berterimakasih (berulang-ulang pula) setiap kali ini terjadi. Padahal yang ia gantikan popoknya adalah bayi kami sendiri.

Saya juga langsung bengong. Tidak bisa menjawab. Selama ini, saya yang sudah cukup memahami prinsip-prinsip kesetaraan gender dan percaya bahwa mengganti popok adalah tugas kami berdua sebagai yang sama-sama berstatus orangtua, namun masih saja mengucapkan terimakasih, sesuatu yang saya tak harus mengucapkannya karena ini adalah anak kami berdua. Bukan kewajiban salah satu saja.

Lalu mengapa saya secara otomatis mengucapkan terima kasih? Sebenarnya, jawabannya mudah saja : tanpa disadari, nilai-nilai patriarki masih bercokol kuat di pola pikir saya.

Dua hari lalu, saya membaca We Should All Be Feminists karya Chimamanda Ngozi Adichie. Di halaman 37, saya menemukan penuturan yang hampir-hampir mirip dengan pengalaman di atas.

Saya juga memiliki seorang teman yang –meskipun punya gelar akademis dan pekerjaan yang sama dengan suaminya—selalu merasa wajib mengucapkan terima kasih setiap suaminya menggantikan popok bayi mereka. Saya tidak tahu apa yang terjadi kemudian, apakah suami teman saya bertanya layaknya suami saya, atau setidaknya membalas ucapan itu dengan “sama-sama” karena memang tidak diceritakan lebih lanjut.

Di sini, tentu yang dipermasalahkan bukanlah rasa atau ucapan terima kasihnya. Walaupun basa-basi mesra seperti itu bisa juga merupakan hak setiap pasangan dan memang sering dijumpai di antara mereka yang ingin saling menghargai.

Bagi saya, tidak papa saya mengucapkannya selama pengungkapannya memang didasari ketulusan, bukan karena rasa kewajiban, apalagi penghambaan. Permasalahannya, bagi saya, terletak pada apa yang mendasari ucapan terima kasih itu sendiri : suatu pola pikir bahwa mengganti popok –dan tetek bengek kepengurusan balita lainnya— tidak seharusnya dilakukan suami. 

Pada bab sebelumnya dalam buku, Chimamanda berargumen bahwa jika satu hal dilakukan terus-menerus secara berulang-ulang,  maka lama kelamaan hal ini akan dianggap normal. Terlebih jika tidak ada protes ataupun ucapan keberatan yang terdengar. Jalan cerita selanjutnya biasanya seperti ini : setelah dianggap normal, lama kelamaan ia bisa saja menjadi kebiasaan.

Selanjutnya, kebiasaan ini yang sudah dianggap normal dan dipraktikkan masyarakat luas menjadi budaya. Lalu dianggap sebagai tradisi yang diamini masyarakat lintas generasi, atau yang lebih fatal lagi dianggap sebagai kodrat bahwa istri harus tunduk pada suami, apapun yang dikatakan suami, istri harus tunduk.  Jika sudah begitu, maka siapapun yang nantinya berpikiran terbuka dan bermaksud menggugat, akan menemui jalan buntu karena mengubah tradisi atau ‘kodrat’ bisa saja disamakan dengan dosa. 

Maka saat pola pikir “mengganti popok adalah tugas perempuan” diterapkan dan dikatakan berulang-ulang pada seorang perempuan, di pengulangan yang ke sejuta seratus duapuluh kali ia tentu akan menganggap hal itu sebagai kebenaran absolut. Tugas perempuan adalah mengurus anak-anak, dan itulah hal yang normal. Jika laki-laki bersedia melakukannya, rasa terima kasih harus dinyatakan. Inilah persisnya yang terjadi di kalangan perempuan Indonesia. 

Sadar atau tidak, terima kasih yang diucapkan kebanyakan dari kita saat suami bersedia mengganti popok, dan keengganan banyak laki-laki untuk memasukkan aktivitas ini ke dalam daftar tugas mereka, adalah hasil dari didikan nilai patriarki selama bertahun-tahun.

Bukan hanya perkara popok, pola pikir ini juga muncul saat bicara soal memasak, merajut, merapikan tempat tidur, mencuci baju dan piring, dan –yang paling parah—mendidik anak-anak. Inilah persisnya yang harus kita ubah. Dalam mengurus anak, menyusui memang tugas kita sebagai perempuan. Namun di luar itu, baik istri dan suami memikul tanggung jawab yang sama besarnya.

Saya sadar, bahwa dalam dua puluh tahun belakangan, sudah banyak dari nilai-nilai di atas yang bergeser. Sudah banyak perempuan yang mengakui bahwa suami tercinta bersedia mengambil banyak peran dalam mengurus anak dan rumah tangga. Bahkan istilah seperti bapak rumah tangga pun kian populer. Namun tetap saja, bias gender dalam pembagian kerja masih lebih banyak lagi dipraktikkan. Terutama di ranah domestik dan pendidikan anak. Jika tidak, tentu tidak akan ada konten TikTok yang isinya para suami menggiring istri mereka ke depan tumpukan cucian piring dan baju kotor lantaran kelewat asik bermain handphone atau menonton drakor.

Bagaimana hal ini bisa diubah? Bagi saya, sederhana saja : kita harus berhenti mengajari anak-anak kita bahwa memasak dan mengurus anak adalah kodrat perempuan, sementara bekerja mencari uang merupakan kodrat lelaki. Sebab tidak ada yang ilahiah dalam dua argumen tersebut. Yang ada hanyalah sebuah sugesti panjang untuk membuat perempuan selalu merasa sebagai warga kelas dua.

Alih-alih, ajarkan anak-anak kita bahwa memasak, menanak nasi, dan mencuci baju adalah kemampuan dasar bertahan hidup dan harus dikuasai baik perempuan maupun laki-laki. Ajarkan mereka untuk saling membantu dan bertenggang rasa.

Dengan begini, saat memiliki pasangan nantinya, mereka akan lebih mudah menghargai pasangan masing-masing. Ajarkan pada anak-anak bahwa –seperti yang juga dikemukakan Chimamanda dalam buku lainnya—perbedaan antara laki-laki dan perempuan hanyalah di hal-hal biologis : hormon, rahim, payudara dan alat kelamin. Di luar itu, semua batasan gender adalah konstruksi sosial. Maka jangan sampai hal-hal ini mengekang kebebasan mereka untuk menjadi diri sendiri.

Perlihatkan juga kepada anak-anak, bahwa baik ayah maupun ibu punya tanggung jawab dan kewajiban yang setara dalam mengurus serta mendidik mereka.

Ayah bisa memasak, ibu bisa bekerja, begitu pula sebaliknya. Jangan perlihatkan ini sebagai suatu keanehan, melainkan sesuatu yang normal. Satu-satunya ranah pengasuhan anak yang dikhususkan pada perempuan atau Ibu, adalah menyusui. Sisanya, bisa dibagi sama rata antara sepasang orantua (tentu dengan pertimbangan bersama).

Jika bisa mengajarkan ini pada anak-anak kita, maka kesempatan mereka meneruskan praktik kesetaraan ke anak cucu mereka pun akan lebih besar. Peluang untuk pelan-pelan mengikis patriarki –setidaknya di dalam keluarga sendiri—juga lebih terbuka. Sehingga nantinya ucapan terima kasih perempuan kepada suami benar-benar didasari rasa syukur saling memiliki.

Percayalah, kesetaraan gender bisa dimulai dari cara kita berumah tangga.

Adichie, Chimamanda Ngozie. We Should All Be Feminists. 2014. London. pg. 13

Adichie, Chimamanda Ngozie. A Feminist Manifesto In Fifteen Suggestions. 2014. London.

Foto/ Ilustrasi: Pixabay

Sonia Fatmarani

Penulis lepas. Senang menyimak isu-isu kesetaraan gender, sejarah, dan budaya. Tengah singgah di kota Bogor bersama kucing-kucing
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!