UU Pornografi Bermasalah Sejak Awal, Kini Mengkriminalisasi GA dan Para Perempuan

Komnas Perempuan mengkritisi UU Pornografi yang bermasalah karena telah mengkriminalisasi banyak perempuan seperti artis GA dan juga MYD. Polisi seharusnya fokus pada penyebar video, bukan pada GA atau MYD

UU Pornografi memang sudah bermasalah sejak awal pembentukannya. Pembahasan UU ini juga telah menimbulkan polemik dan protes yang keras dari berbagai kalangan karena memakan banyak korban terutama perempuan

Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi dalam pernyataan sikap pada 30 Desember 2020 mengatakan tentang kritik Komnas Perempuan terhadap UU Pornografi, diantaranya yaitu berpotensi mengurangi hak atas rasa aman terutama akibat perumusan hukum yang condong melakukan kriminalisasi warga dengan penghakiman moralitas.

“Yang kedua, berpotensi menghadirkan ketidakpastian hukum dan mengurangi jaminan perlindungan hukum akibat perumusan frasa-frasa dalam UU Pornografi yang bersifat multitafsir. Dan ketiga, berpotensi mengkriminalkan korban kekerasan seksual akibat ketidakmampuan UU Pornografi dalam melihat perempuan sebagai korban kekerasan berbasis gender, termasuk dalam konteks industri pornografi,” kata Siti Aminah Tardi

Persoalan-persoalan tersebut sebelumnya telah disampaikan Komnas Perempuan, termasuk ketika menjadi pihak terkait dalam uji materi UU Pornografi ke Mahkamah Konstitusi di tahun 2009

Komnas Perempuan mencatat, potensi berkurangnya hak atas rasa aman dan perlindungan hukum, dan sebaliknya mengalami kriminalisasi, menjadi nyata ketika UU Pornografi digunakan untuk menjerat perempuan yang sebetulnya dalam posisi dikecualikan di dalam UU Pornografi, yaitu:

1.Pasal 4 Ayat 1 yang menyatakan bahwa “Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: a. persenggamaan…” di mana dalam penjelasannya secara tegas dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan “membuat” adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.

2. Pasal 6 yang menyatakan “Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi..” Penjelasan pasal ini menyatakan bahwa “memiliki atau menyimpan” tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.

3. Pasal 8 yang menyatakan “Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi”. Yang dalam penjelasannya ketentuan ini dimaksudkan bahwa jika pelaku dipaksa dengan ancaman atau diancam atau di bawah kekuasaan atau tekanan orang lain, dibujuk atau ditipu daya, atau dibohongi oleh orang lain, pelaku tidak dipidana.

Kriminalisasi Akibat UU Pornografi

Sejak penerapan UU Pornografi, Komnas Perempuan telah menerima pengaduan kasus kriminalisasi yang dialami oleh perempuan yang semestinya dikecualikan dari pemidanaan, termasuk korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan korban KBGO berbentuk penyebaran konten intim non konsensual.

Dalam kasus terkait TPPO, salah satunya adalah korban dari tindak suaminya yang merekam, menyebarkan dan memperjualbelikan video hubungan seksual korban. Korban kemudian dipidana penjara selama 3 tahun dan denda 1 milyar, karena dinilai melanggar pasal 8 jo. pasal 34 UU Pornografi.

Sementara itu, sejak Januari hingga awal Oktober 2020, Komnas Perempuan telah menerima 659 kasus KBGO di antaranya ancaman dan penyebaran konten intim. Pola kedua inilah yang menimpa GA (dan MYD). Dalam kasus GA dan MYD, keduanya melakukan hubungan seksual dan merekamnya tidak untuk ditujukan kepentingan penyebarluasan ke publik.

Merujuk kepada pengaturan dalam UU Pornografi, Komisioner Komnas Perempuan, Rainy Hutabarat berpendapat bahwa GA dan MYD semestinya tidak dapat dikenakan ketentuan pemidanaan, melainkan pengecualiannya.

Dalam kasus ini, fokus aparat penegak hukum (APH) semestinya diberikan pada persoalan pendistribusian muatan tersebut.

“Kepolisian perlu menyegerakan proses hukum pada pihak yang menyebarkan video tersebut yang menyebabkan konten pribadi dapat diakses oleh publik dan sebaliknya memberikan perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang dirugikan akibat penyebarluasan informasi privacy-nya. Langkah ini berkontribusi membangun budaya hukum yang lebih berkeadilan dan juga mengurangi distraksi pada berbagai persoalan mendesak yang membutuhkan atensi intensif dari APH dan publik,” kata Rainy Hutabarat

Langkah ini juga berkesesuaian dengan upaya mewujudkan tanggungjawab konstitusional negara

Komnas Perempuan juga mengingatkan bahwa dalam kasus-kasus yang terkait moralitas, terdapat dampak yang berbeda terhadap laki-laki dan perempuan. Dampak yang dialami oleh perempuan lebih besar dan mendalam daripada yang dialami laki-laki.

Hal ini terkait dengan konstruksi masyarakat tentang posisi perempuan sebagai simbol moralitas publik. Penghakiman, hujatan atau stigma akan lebih tertuju kepada pihak perempuan.

Hal ini juga tampak pada model pemberitaan yang memuat penyebutan nama lengkap GA, namun menggunakan inisial untuk laki-laki, dan yang mengaitkannya dengan peran GA sebagai ibu.

“Situasi ini menghalangi perempuan dapat mengakses dukungan di dalam proses hukum dan perlu menjadi perhatian khusus dalam pemulihan korban,” kata Rainy Hutabarat

Stop Kriminalisasi Perempuan

Sehubungan dengan hal ini, Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani merekomendasikan pada Kepolisian Republik Indonesia untuk memfokuskan dan menyegerakan penanganan penyebaran video bermuatan intim ini pada proses hukum dari pihak yang melakukan penyebarannya.

“Lalu menghentikan penyidikan pada pihak yang dirugikan atas penyebarluasan muatan intim yang dimaksudkan untuk diri sendiri dan kepentingan sendiri, yang sesuai dengan ketentuan hukum bukanlah merupakan tindak pidana”

Mengembangkan kebijakan dan program penguatan kapasitas dalam penanganan kasus perempuan berhadapan dengan hukum agar peka pada persoalan kekerasan berbasis gender, terutama dalam perkembangan kekerasan seksual di ranah siber sehingga dapat memberikan perlindungan hukum pada pihak yang mengalami pelanggaran hak privasinya

Komnas Perempuan juga meminta DPR RI agar merevisi UU No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi untuk memutus keberulangan kriminalisasi dan atau reviktimisasi korban dan menguatkan tanggung jawab negara atas pemulihan korban.

Untuk media massa agar menghindari bias gender dalam penyajian berita dan tidak menjadikan kasus berdimensi seksualitas untuk menaikkan jumlah pengunjung, dengan cara menggunakan inisial untuk para tersangka baik laki-laki maupun perempuan, tidak mengaitkan dengan perannya sebagai ibu atau istri, dengan demikian menghindari dampak negatif terhadap tumbuh kembang anak GA

“Lalu memusatkan perhatian pada kasus-kasus urgen yang membutuhkan atensi publik seperti penanganan pandemi Covid19, korupsi, perbaikan sistem hukum, dan warganet agar menghentikan penyebaran konten intim dan lebih selektif dalam membagikan postingan-postingan media sosial untuk menghindari reviktimisasi korban,” kata Andy Yentriyani

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Osi NF

Designer grafis. Menyukai hal-hal baru dan belajar di media online sebagai tantangan awal. Aktif di salah satu lembaga yang mengusung isu kemanusiaan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!