9 Alasan Hukuman Kebiri Tidak Efektif Serta 6 Solusinya

Komnas Perempuan melihat terdapat sejumlah alasan tidak efektifnya hukuman kebiri jika diterapkan di Indonesia. Penambahan pidana kebiri kimia juga tidak didukung dengan data yang cukup komprehensif untuk mencegah kekerasan seksual. Lalu apa saja solusinya?

Komnas Perempuan dalam penyataan sikapnya pada 8 Januari 2021 melihat bahwa pidana kebiri ini akan bermasalah karena mengurangi daya negara dalam pemenuhan hak konstitusional.

Berikut 9 alasan yang dirangkum www.Konde.co di konferensi pers tersebut tentang alasan mengapa hukuman kebiri tidak akan efektif jika diterapkan:   

1.Pidana kebiri kimia mengalihkan perhatian dari persoalan laten dan kronis yang ada dalam upaya penghapusan kekerasan seksual, termasuk pada anak.

2.Dalam situasi penanganan kasus kekerasan seksual anak yang masih sangat terbatas, penambahan pidana kebiri kimia tidak akan mengatasi persoalan akses keadilan yang dihadapi korban.

3.Kekerasan seksual terjadi bukan semata karena libido atau demi kepuasan seksual.

Mengontrol hormon seksual tidaklah menyelesaikan kekerasan seksual karena tidak akan mengoreksi relasi yang timpang antara laki-laki dan perempuan, termasuk relasi antara orang dewasa dan anak.

4.Kekerasan seksual memiliki rupa yang tidak terbatas pada persetubuhan dan pencabulan yang melibatkan penggunaan alat genital laki-laki.

Kebiri kimia hanya bersifat anti-libido, sementara penaklukan, kontrol, balas dendam dapat dilakukan dengan penetrasi non penis.

5.Masalah pencegahan kekerasan seksual terhadap anak memerlukan penanganan yang komprehensif, tidak sebatas aspek penghukuman, melainkan juga melibatkan pendidikan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender serta kesehatan reproduksi, pelayanan sosial yang inklusif dan efektif termasuk untuk kelompok rentan.

6. Kajian di berbagai negara yang juga menerapkan hukuman maupun program pengobatan kebiri kimia menunjukkan bahwa jenis obat yang digunakan dalam proses kebiri kimia dapat menimbulkan efek samping tertentu, di antaranya depresi, otot melemah, osteoporosis dan gangguan metabolisme lemak yang merupakan faktor risiko penyakit jantung koroner.

7. Pada sejumlah orang, dampak kebiri kimia dapat bersifat permanen, meskipun sebagian besarnya bersifat temporer selama tindakan itu berlangsung. Efek samping ini secara langsung mengurangi hak atas kesehatan dan dapat memicu berkurangnya hak yang lain, misalnya hak atas penghidupan akibat kondisi kesehatan yang terganggu.

8. Penambahan pidana kebiri kimia juga tidak didukung dengan data yang cukup komprehensif dalam hal efektivitas mencegah kekerasan seksual, termasuk untuk mengurangi residivisme atau berulang kembali tindak kekerasan seksual oleh pelaku yang sama.

Data menunjukkan bahwa sebagai cara mengurangi residivisme pelaku kekerasan seksual kebiri kimia efektif ketika tindakan ini merupakan bagian dari program pengobatan (treatment) yang diikuti secara sukarela oleh orang bermasalah dalam mengendalikan hasrat libidinal dan diikuti dengan pendampingan psikologis yang melekat.

9.Pidana kebiri kimia menjadi langkah mundur bagi Pemerintah Indonesia dalam menjalankan mandat konstitusional untuk pemenuhan Hak Asasi Manusia/ HAM, terutama hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan martabat kemanusiaan.

6 Solusi Yang Harus Dilakukan

Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan menunjukkan Kekerasan terhadap Anak Perempuan (KTAP) berbentuk kekerasan seksual terhadap anak perempuan mengalami lonjakan 65% yaitu 2.341 kasus pada 2019, meningkat dari tahun 2018 berjumlah 1.417 kasus.

Meningkatnya kekerasan seksual terhadap anak perempuan menunjukkan bahwa perempuan sejak usia anak dalam situasi yang tidak aman dalam kehidupannya, bahkan oleh orang terdekat. Anak perempuan memiliki kerentanan berlapis karena ia berusia anak dan juga perempuan.

Dalam kondisi ini Komnas Perempuan merekomendasikan 6 solusinya antaralain:

1.Mengoptimalkan upaya pencegahan, antara lain, dengan pendidikan kesehatan reproduksi komprehensif untuk seluruh warga negara baik lelaki dan perempuan termasuk penyandang disabilitas, yang di dalamnya terdapat materi anti kekerasan seksual

2. Menguatkan pelaksanaan sistem peradilan pidana terpadu untuk penanganan korban kekerasan seksual dengan mengintegrasikan perspektif korban dan disabilitas

3. Meningkatkan dukungan, termasuk anggaran dan ketersediaan SDM berkualitas dan berkelanjutan, untuk proses pemulihan korban

4. Mengefektifkan pidana maksimal pada pelaku tindak kekerasan seksual termasuk penjara seumur hidup bagi yang melanggar Pasal 81 dan Pasal 82 UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perubahan tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

5. Mendorong pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, sebagai RUU yang komprehensif dalam hal penanganan korban maupun pelaku kekerasan seksual yang sudah dibangun sejak tahun 2014, yang juga memuat perumusan tindak pidana kekerasan seksual yang tidak terbatas pada pemerkosaan dan pencabulan

6. Menjadikan kebiri kimia sebagai bagian dari tindakan rehabilitasi yang menjadi pilihan berbasis kesukarelaan dan didasarkan pada informasi utuh mengenai proses dan dampak kepada terpidana, guna mengoptimalkan efektivitas tindakan ini dalam mengurangi residivisme

(Foto/ Ilusyrasi: Pixabay)

Poedjiati Tan

Psikolog, aktivis perempuan dan manager sosial media www.Konde.co. Pernah menjadi representative ILGA ASIA dan ILGA World Board. Penulis buku “Mengenal Perbedaan Orientasi Seksual Remaja Putri.”
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!