Problem Perempuan Adat: Regulasi dan Aturan Adat Yang Belum Berperspektif Perempuan

Kajian Organisasi Perempuan Aman menunjukkan, ada 2 faktor yang menjadi penyebab buruknya perlindungan perempuan adat, yaitu lemahnya kebijakan pembangunan dan lemahnya aturan adat yang belum berperspektif perempuan

Sudah keduakalinya Rancangan Undang-undang (RUU) Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (RUU Masyarakat Adat), masuk ke DPR. Di tahun 2020, rancangan ini kembali masuk agenda prioritas program legislasi nasional DPR RI

Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat yang telah lama diusulkan ini, tidak kunjung ditetapkan, ini menjadi salah satu contoh lemahnya perlindungan perempuan adat. Padahal RUU Masyarakat Adat ini diharapkan menjadi jaminan hukum bagi pemenuhan dan perlindungan hak kolektif perempuan adat.

Meski begitu, dalam kondisi yang buruk, namun perempuan adat tetap membuktikan ketangguhannya sebagai pejuang perubahan sosial. Ini ditunjukkan dari ragam inisiatif, daya lawan, dan kelenturan perempuan adat menghadapi situasi yang merugikan mereka. Devi Anggraini, Ketua Organisasi Perempuan Aman menyampaikan ini dalam pidato politik simposium perempuan adat, 16 Desember 2020.

Salah satu contohnya, dalam situasi pandemi, ketika banyak masyarakat yang kehilangan sumber-sumber penghidupannya, perempuan adat justru kuat dengan mengkonsolidasikan diri di kampung-kampung melalui pertanian yang dikelola secara koletif, melakukan pengawetan stok pangan yang dihasilkan sehingga para perempuan adat bisa berbagi dengan para perempuan di kampung lain yang membutuhkan.

Situasi ini ditunjukan oleh 55 wilayah pengorganisasian Perempuan Aman yang tersebar di 6 region besar di Indonesia, yaitu Sumatera Jawa, Kalimantan, Kepulauan Maluku, Sulawesi serta Bali Nusa Tenggara. Dalam lima tahun terakhir Perempuan Aman juga melakukan pendokumentasian yang berdasarkan pada pengalaman, praktek dan kejadian yang menimpa perempuan adat.

Dalam pendataan ditemukan fakta bahwa 90% perempuan adat masih belum dilibatkan dalam proses pembangunan yang akan masuk ke wilayahnya. Dan dari survey tersebut, 98% responden menyatakan bahwa wilayah adatnya telah mengalami perubahan, namun belum melibatkan suara mereka sebagai perempuan.

“Akibatnya, perempuan adat kehilangan wilayah adat atas kelolanya sehingga secara langsung menyingkirkan perempuan adat. Partisipasi penuh perempuan adat dalam beragam tahapan dan pengambilan keputusan menjadi tereliminasi,” ujar Devi Anggraini

I Gusti Ayu Bintang Darmawati, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam symposium tersebut juga mengapresiasi yang sudah dilakukan organisasi Perempuan Aman karena telah membuka perspektif akan kekuatan perempuan adat dalam menjaga keberagaman dan identitas bangsa.

“Peran luar biasa perempuan adat adalah menjadi garda terdepan perlindung nilai-nilai budaya dan kearifan lokal nusantara, ketahanan ekonomi, peranan sosial melalui budaya gotong-royong dan menjaga kelestarian alam. Sementara peran pemerintah adalah menyusun RUU Masyarakat Hukum Adat dan mengawal substansi gendernya. Untuk itu kerjasama dibutuhkan untuk menyelesaikan isu perempuan dan anak secara komprehensif serta menyatukan kekuatan”.

Rukka Sombolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara/ AMAN menyatkan bahwa peran penting perempuan adat secara sosial, ekonomi, politik dan budaya adalah peran yang berakar dari identitas yang melekat dengan wilayah adatnya beserta sistem sosial, ekonomi, politik dan budaya masyarakat adat. Bahkan perjuangan masyarakat adat dalam menjaga identitas bangsa tidak terlepas dari hak-hak perempuan ada, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari masyarakat adat.

“Saat ini upaya-upaya peminggiran dan praktek-praktek diskriminsi masih ada. Sistem ekonomi kapitalis menyebabkan peminggiran perempuan adat. Akibatnya perempuan adat selama ini telah kehilangan kekuasaan dan ruang-ruang politiknya, hingga wilayah adatnya. Untuk itu, kita harus berjuang keras untuk pengesahan Undang-Undang Masyarakat Adat, berjuang bersama untuk melawan perampasan wilayah adat,” tutur Rukka Sombolinggi.

Arimbi Heru Putri, Dewan Pakar Perempuan Aman, menyampaikan bahwa narasi dan kepentingan perempuan adat lenyap dibawah gemuruhnya pengetahuan, wilayah kelola dan ekspresi, namun kondisi perempuan adat yang diabaikan. Karena itu perlu penataan ulang dalam ketatanegaraan, hukum dan paradigma untuk menempatkan perempuan adat dalam mosaik negara bangsa Indonesia.

Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia menyampaikan bahwa perempuan adalah pemangku kepentingan dalam pelestarian sumber daya alam, dimana hutan menjadi ruang hidup, sumber penghidupan dan pengetahuan. Dan hutan adalah akar budaya perempuan. Namun perempuan menjadi kelompok yang paling menderita akibat kerusakan hutan dan lingkungan. Perempuan juga tidak pernah ditanya ketika terjadi konversi hutan menjadi perkebunan dan pertambangan.

“Keberhasilan pembangunan sumber daya alam dan lingkungan di daerah sangat ditentukan oleh aspek pemenuhan hak asasi perempuan adat.”

Sementara itu, Meiliana Yumi, Ketua Dewan Nasional Perempuan Aman, menuturkan bahwa sesungguhnya posisi perempuan adat bukan hanya sebagai pelengkap dalam komunitas, tetapi perempuan adat adalah aktor utama dalam mempertahankan wilayah adat dan sebagai teladan dalam pengambilan keputusan di dalam komunitas adat.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Osi NF

Designer grafis. Menyukai hal-hal baru dan belajar di media online sebagai tantangan awal. Aktif di salah satu lembaga yang mengusung isu kemanusiaan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!