Dilecehkan Anggota Keluarga, Hargai Korban Yang Berani Bicara

Saya kerap kesal dengan orang-orang yang menentang disahkannya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual/ RUU PKS dengan sok memberi solusi pada korban pelecehan seksual dengan pendekatan secara kekeluargaan, ataupun yang bicara soal peran keluargalah yang terbaik untuk urusan ini

Mungkin mereka tidak pernah mengalaminya. Saya yakin bahwa orang-orang yang pernah mengalami pelecehan pasti akan sebal dengan solusi yang sangat tidak mengandung fakta seperti ini, karena ternyata data membuktikan bahwa orang terdekat atau keluarga adalah orang yang paling banyak melakukan pelecehan dan kekerasan pada korban: paman, ayah, teman, dll

Teman saya pernah bercerita tentang pengalamannya menerima pelecehan seksual oleh anggota keluarganya sendiri. Pelecehan itu tidak hanya sekali ia dapatkan dengan satu orang, namun beberapa kali dengan orang yang berbeda. Dan semua pelakunya berasal dari anggota keluarga. Tidak satupun dari orang yang tak ia kenal.

Pelecehan tersebut ia alami sejak ia remaja hingga beranjak dewasa, tepatnya saat tahun-tahun pertama kuliah. Ia cerita, ketika kejadian itu, ia coba menceritakanya pada orang lain, berharap mendapatkan ketenangan dan perlindungan, namun ia justru dipertanyakan:

“Kenapa tidak kau pukul?”

“Jadi perempuan harus tegas, tidak boleh lemah.”

“Kenapa diam saja?,” serta beberapa ucapan-ucapan lainnya.

Teman saya, yang pada saat itu masih berusia 13 tahun lantas diam. Ia tidak sanggup untuk melanjutkan ceritanya, padahal saat itu ia sambil menangis sesenggukan. Percuma. Lalu ia memilih untuk menyimpannya sendiri.

Katanya, setiap ingatan itu kembali muncul, ia selalu merasa ketakutan, freeze, dan perasaan gelisah lainnya.

Coba kita bayangkan sejenak berada di posisinya. Sudah mendapat pelecehan dari tiga anggota keluarganya sendiri, orang-orang yang seharusnya menjadi pelindung baginya. Trauma yang ia dapatkan sangat kompleks. Sifatnya yang dulu sangat welcome terhadap orang baru, kini menjadi tertutup, menjaga jarak dengan lawan jenis. Jika ada laki-laki yang hendak mendekati, ia reflek menjauh, sinis. Hal itu tidak bisa ia kontrol, karena dampak yang ditimbulkan dari pengalamannya yang lalu. Sedangkan peran keluarga tidak ia dapatkan. Rumah bukan lagi tempat yang aman untuknya.

Buat saya, mari membuka mata. Bahwa di sekeliling kita mungkin saja banyak yang menyimpan cerita kelam pelecehan seksual, namun ia takut untuk bicara. Dampak yang dihasilkan dari perbuatan keji para pelaku sangat signifikan, sehingga membutuhkan pendampingan dan perlindungan. Tidak hanya sebatas pendekatan humanis dan edukasi, tapi juga payung hukum sebagai salah satu bentuk keadilan bagi para korban.

Maka dari sini, jangan ragu untuk berteriak: sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual!

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

Dzikra Nasyaya Mahfudhah

Mahasiswi jurusan kimia Universitas Negeri Surabaya. Senang membaca sejak kecil, terutama novel fiksi karya Tere Liye. Mulai menulis kumpulan cerita pendek bergenre anak-anak, hingga kini lebih tertarik pada isu sosial dan perempuan. Pernah menjadi student exchange di China
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!