Ruang Pengadilan Menjadi Tempat Menyeramkan Bagi Anak Korban Kekerasan Seksual

Ruang pengadilan menjadi tempat menyeramkan bagi anak korban kekerasan seksual. Pertanyaan hakim juga terlalu mencecar, "kamu kog mau-maunya dibawa laki-laki, padahal baru kenal?."

Tak hanya menjadi korban kekerasan seksual, Mira (bukan nama sebenarnya), anak perempuan umur 12 tahun, menangis di persidangan. Hakim terus bertanya bermacam hal yang tak bisa dijawabnya. Karena Mira adalah anak-anak yang belum tahu apa-apa. Lagipula, ini adalah sidangnya yang pertama.

Mira tak pernah menyangka, perkenalannya dengan Tito (bukan nama sebenarnya) di sosial media telah mempertemukan mereka di dunia nyata. Ia hanya merasa senang karena mempunyai teman baru. Namun Mira tak tahu jika pertemuan dengan Tito di malam itu kemudian akan mengubah jalan hidupnya.

Fakta ini terjadi ketika Mira, anak perempuan berumur 12 tahun saat itu ia tengah berlibur ke rumah pamannya di Makassar. Sebelumnya Mira memiliki teman dekat yang dikenalnya melalui facebook, Tito (20 tahun). Mereka pun telah intens berkomunikasi selama beberapa bulan sebelum Mira ke Makassar untuk berlibur.

Setelah tiba di Makassar, Mira dan Tito membuat janji untuk bertemu. Pada saat mereka bertemu, Tito mengajak Mira ke rumahnya. Dari pertemuan itu, Mira kemudian tidak pulang selama beberapa hari. Dalam kurun waktu tersebut, Mira mengalami kekerasan seksual.

Mira dan Perjuangan untuk Keadilan Anak Perempuan

Awal mula kasus ini diketahui oleh pihak keluarga Mira, saat Mira mengeluhkan sakit di vaginanya. Karena curiga, ibu Mira pun memaksanya untuk menceritakan peristiwa yang terjadi padanya selama 5 hari kepergiannya tanpa sepengetahuan keluarga.

Setelah Mira bercerita, ibu Mira langsung melaporkan kejadian tersebut ke Kepolisian Makassar. Setelah membuat laporan di Kepolisian Makassar, pihak keluarga memutuskan untuk mencari dukungan dalam pendampingan proses hukum. Korban kemudian didampingi LBH APIK Makassar

Secara psikologis, kondisi Mira tidak stabil, ini yang menjadi perhatian khusus bagi LBH APIK. Ia terlihat sangat ketakutan dan menjadi lebih pendiam dari sebelumnya. Menurut pengakuan ibu dan pamannya, Mira kehilangan keceriaannya, ia lebih sering terlihat murung dengan tatapan kosong penuh kesedihan, tak tampak lagi senyumnya.

Mira kemudian banyak menutup diri terhadap orang-orang asing yang tidak dikenalnya. Ia terlihat beberapakali hanya terpaku ke layar handphone yang ia genggam.

Melihat kondisi psikologis Mira yang mengalami trauma mendalam, LBH APIK kemudian menyarankan agar Mira segera mendapatkan penanganan psikologis untuk mengurangi dampak traumatis yang dialaminya. Bersinergi dengan lembaga pemerintah yang yang bergerak di isu perempuan dan anak, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak atau P2TP2A kota Makassar dibawah naungan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) kota Makassar yang memiliki fasilitas pendampingan oleh psikolog.

Pengalaman Sidang Pertama Yang Buruk

Ruang pengadilan ini sangat asing baginya. Ini pertamakali Mira kesini. Mira hendak dimintai kesaksian hari itu, terlihat sedikit cemas dengan tatapan yang sedikit memperlihatkan ketakutan.

Ia duduk di kursi tunggu di depan ruang siang, tengah menunggu giliran menghadap hakim di persidangan. Sesekali pandangannya berpindah, fokusnya teralihkan dari tumpukan kertas yang tebal di genggamannya, melirik dan menoleh ke arah orang-orang yang tengah sibuk berlalu lalang di sekitarnya.

Diamatinya, orang-orang. Tanpa sengaja, tatap polosnya terhenti pada sebuah seorang paruh baya. Tidak tampak asing baginya. Ia pun sontak berkata.

“Itu keluarga Tito.”

Kondisi psikologis Mira sedikit membaik, setelah mendapatkan penanganan oleh psikolog dari P2TP2A kota Makassar. Walaupun sesekali dirinya masih merasakan sedikit ketakutan namun aura keceriaan di wajahnya perlahan terpancar. Sesekali, karena kebosanannya menunggu dengan durasi yang terbilang cukup lama, ia mondar mandir, berlalu lalang, terlihat mengusir kebosanan. Kadang melontarkan pertanyaan polos layaknya anak-anak yang ingin tahu.

Anak sekecil Mira juga harus menunggu sidang yang terlalu lama dan ia harus memahami mengapa itu semua bisa terjadi. Ini yang dialami Mira di tengah ia menyelesaikan kasusnya.

“Karena kasus ini adalah kasus pidana asusila, maka persidangan dinyatakan tertutup untuk umum,” kata Hakim.

Seketika, hakim memerintahkan kepada para pengujung sidang yang berada dalam ruang, yang memenuhi kursi untuk meninggalkan ruangan. Hanya beberapa orang yang hendak dimintai keterangan atas kesaksian mereka terhadap kasus ini  serta 2 orang perempuan pengacara dari LBH APIK sebagai pendamping hukum yang mendapat ijin untuk tetap berada dalam ruangan.

Ada yang menarik dalam proses persidangan ini, bukankah beberapa saat lalu dengan jelas hakim menyatakan persidangan tertutup  untuk umum? namun ruangan tersebut masih dipenuhi beberapa kumpulan orang berseragam tahanan kejaksaan duduk menunggu giliran sidang berikutnya.

Ini membuat Mira sedikit gugup, dia harus memaksa dirinya, bertaruh dengan keberaniannya untuk mengusir ketakutannya. Mira, duduk di kursi tepat di depan hakim. Wajah kecilnya tampak lusuh, seketika senyumnya hilang.. Ia memperbaiki posisi duduknya. Menunggu pertanyaan yang berentetan tanpa jeda layaknya kereta yang sedang berjalan.

Didampingi ibunya dan juga bibi Mira, ketiganya duduk bersebelahan di kursi panjang yang sama. Dalam kasus ini, ibu dan bibinya adalah saksi.

Sebelumnya, jaksa, meyakinkan Mira untuk tidak merasa takut dan tetap fokus pada pertanyaan.  Gambaran di kepala Mira setidaknya hampir sama dengan pemandangan. Ia berharap lebih tenang karena ada ibu dan bibinya. Bagaimanapun juga, ini adalah sidangnya yang pertamali ia ikuti.  Ia tak tahu apa yang terjadi selanjutnya.

Lamunan Mira buyar, ketika salah seorang hakim anggota menanyainya dengan beberapa pertanyaan yang membuatnya takut.

“Kamu kok mau-maunya saja, dibawa sama Tito? Kalian khan baru bertemu sekali, kok gampang sekali?”

Wajahnya nampak murung, pertanyaan hakim membuatnya takut. Mira tak berkata apa-apa. Kakinya gemetar.

“Kamu anak perempuan  kelas 6 SD, diajak keluar malam-malam sama laki-laki yang baru kamu temui, kok mau sih? Kalian pacaran? “ tanya  hakim.

Karena seperti diharuskan untuk menjawab, maka Mira kemudian menjawab,“Iya.”

Mira hanya menjawab singkat, suaranya terbata bata, bibirnya terasa berat untuk berucap, ia menyeka air matanya.

“Kamu tahu gak, kamu itu anak perempuan. Anak perempuan itu banyak bahayanya. Kalau tidak bisa jaga diri, akan rusak. Kamu masih kecil sudah berani ikut sama laki-laki yang baru kamu kenal, sampai tidak pulang berhari-hari. Kalau sudah terjadi hal seperti ini, kasihan kamunya. Yang rugi kamu,” kata hakim.

Mira hanya terdiam.

“Ibu, ini anaknya tidak pulang selama berhari-hari, memang ibu gak nyari bu? gak khawatir? Ibunya ngapain saja.?”

“Iya, saya cari. Tapi saya juga bingung, mau saya cari ke mana? Saya tidak kenal juga sama Tito, tidak saya tahu rumahnya dimana,” jawab ibunya

“Bu, anaknya kok dibebaskan pakai HP? Dia masih SD loh. Harusnya ibu bisa menjaga anaknya. Kita juga gak bisa menyalahkan orang, berbuat jahat atas kelalaian kita,” ucap hakim lagi.

Ibu Mira, hanya diam. Menunduk dicecar pertanyaan dan pernyataan yang  membuatnya merasa seperti penjahat, penjahat yang merusak anaknya sendiri. Tak tahan, ibu Mira meneteskan air mata.

Hakim yang tak punya perspektif anak, tak punya perspektif perempuan adalah situasi yang melelahkan yang harus ditemui korban. Pertanyaan dan pernyataan yang mengintimidasi, menyudutkan harusnya tak boleh diterima korban. Ini seperti pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga.

Dalam potret pemeriksaan sidang Mira, terlihat beberapa hal yang dilanggar. Pertanyaan dan pernyataan yang dilontarkan oleh hakim sangat membuat korban berada salam tekanan, sehingga mempengaruhi kondisi psikologis Mira.

Apalagi Mira adalah seorang anak-anak, umurnya belum  cukup memahami tentang apa yang dialaminya. Mira, anak-anak yang tak seharusnya menjadi korban berulangkali.

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

Nurhikmah Kasmar

Sehari-hari Bekerja di LBH APIK Makassar
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!