Delia (17), bukan nama sebenarnya, merasa bangga dan bahagia saat namanya terpilih jadi Duta Kesehatan Mental.
Sebagai Duta, Delia punya tugas mengedukasi dan jadi inspirasi bagi anak-anak muda buat lebih melek soal kesehatan mental.
Istilah Duta Kesehatan Mental itu, dipopulerkan oleh salah satu organisasi kesehatan mental, Literasi Psikologi Indonesia, yang konon memberi literasi soal psikologi di Indonesia. Pengikut akun di sosial media yang ratusan ribu, menjadikan organisasi ini cukup bisa dikatakan mentereng dan punya “dampak”.
Pada akhir Agustus lalu, Delia kemudian turut mendaftar saat ada rekrutmen. Kebetulan saat itu, siswi kelas 12 SMA itu juga sedang libur sekolah.
“Sewaktu itu, aku memang ingin cari pengalaman saat libur sekolah kenaikan kelas,” ujar Delia via IG Perempuan Berkisah yang diizinkan untuk Konde.co kutip.
Namun ketika Delia lolos jadi Duta, ada yang membuatnya kaget. Dia diperintahkan untuk membayar kaos senilai Rp 200 ribu, kabarnya sekarang sudah naik Rp 350 ribu. Di samping, kaget juga bahwa ternyata yang terpilih menjadi Duta banyak. Seolah tidak pernah ada proses seleksi, asal bisa bayar.
“Kami diwajibkan beli kaos, padahal gak semua kami mampu membelinya,” ujar Delia soal kemampuan finansial teman-teman Duta lainnya yang banyak masih pelajar di bangku sekolah.
Berbagai kejanggalan pun mulai muncul. Dia memulai soal banyaknya kegiatan yang tidak didiskusikan. Juga tidak mempertimbangkan kemampuan para Duta. Misalnya, tugas take video yang harus di luar ruangan, tidak mempedulikan jadwal padat sekolah sampai deadline yang mepet padahal ada beban editing juga.
Baca Juga: Riset sebanyak 2,45 juta remaja di Indonesia tergolong Orang dengan Gangguan Kesehatan Mental
Usai Delia selesai masa kontrak pada sekitar September, pihak organisasi menawarkan program magang di bagian desain grafis. Awalnya Delia tidak berminat, tapi karena didorong rasa penasaran, akhirnya dia mengajukan diri berminat.
Saat itu juga, Delia pikir, saat ditawari magang itu dirinya akan mendapatkan upah. Lumayan, untuk menambah uang jajannya.
Namun setelah dirinya diminta mengisi surat kontrak (SK), Delia membaca isinya dan ternyata yang ditawarkan adalah magang selama 3 bulan dan tanpa dibayar. “Kami diharuskan mengerjakan banyak hal dalam waktu cepat tanpa dibayar sepeser pun,” kata dia.
Delia sempat bertanya-tanya saat itu, apakah karena dirinya masih SMA dan belum punya pengalaman kerja, makanya belum ada upah? Tapi (dia menyadari kemudian) karena ketidaktahuannya, Delia akhirnya tetap menerima saja tawaran itu.
Usai tanda tangan kontrak, dia ikut rapat dengan staf teknologi dan CEO-nya. Delia saat itu bahkan langsung terpilih sebagai ketua. Pihak organisasi kemudian menjelaskan apa yang harus ia kerjakan.
Betapa kagetnya Delia, lagi-lagi ternyata dia harus mengerjakan banyak program kerja dalam waktu singkat. Ada tugas mendadak juga yang tak bisa dia tolak. Bahkan, tanpa melihat kondisi karyawan/stafnya. Seperti, kerjaan saat sedang sekolah atau hari minggu.
Pernah suatu hari saat libur, Delia sedang family time dengan keluarganya. Dia disuruh mengerjakan tugas seabrek dan deadlinenya mepet cuma sampai jam 3 sore.
“Aku sampai rela bawa laptop saat jalan-jalan sama keluarga. aku stres sampai aku dimarahi ortuku karena sibuk sendiri,” katanya.
Saking dikejar-kejarnya tugas, Delia sampai mematikan data internet di ponselnya. Tapi begitu perjalanan pulang, ternyata dia langsung dapat dari CEO yang isinya voice note untuk menyuruhnya memegang kerjaan yaitu handle akun organisasi.
“Di otakku selama jalan-jalan adalah mengerjakan tugas terus. Padahal aku gak dapat uang sepeserpun. Katanya akun psikologi, tapi kenapa bikin stafnya stress? Tiap malam aku nangis karena nggak kuat,” ujar dia.
Baca Juga: Rumah Tak Mau Lagi Menampungnya: Kisah Haraa, Perempuan dengan Gangguan Jiwa
Bukan hanya saat itu saja, Delia mengungkap, dirinya setiap hari selalu ditanya progres dari tugas yang jumlahnya banyak. “Aku selalu begadang dan pernah nggak tidur sama sekali buat menyelesaikan tugas. Sampai pernah hari senin aku izin gak masuk sekolah karena pusing di depan laptop terus.”
Sudah tidak sanggup dengan semua itu, Delia akhirnya memutuskan untuk mundur sebagai ketua. Dia mengalami stres, terlebih dengan banyaknya tugas yang tidak terkoordinir, deadline mepet, dan mendadak.
Tapi ternyata, mundur dari organisasi itu juga tidak mudah. Delia harus memenuhi persyaratan sebelum pengunduran dirinya disetujui. CEO organisasi itu juga seperti mengulur-ulur dengan banyak alasan. Mulai dari harus ikut zoom acara, harus melatih penggantinya nanti sampai ikut rapat dan mengerjakan banyak tugas lagi.
“Selain aku, banyak duta2 lain yang mengundurkan diri. Mereka memiliki pengalaman buruk yang hampir sama, bahkan ada yang sampai trauma panjang dan harus perawatan. Kami juga sering diancam akan menerima SP (surat peringatan) jika tidak sesuai perintah,” katanya.
Delia adalah satu dari sekian banyak para korban anak, utamanya perempuan, yang berani bicara soal kasusnya.
Data sementara yang dihimpun Perempuan Berkisah sejak dipublikasikan pada Jumat (27/10/2023) hingga beberapa hari setelahnya, mencatat ada sebanyak 43 korban yang melapor. Sebanyak 90,7% adalah korban perempuan dan sisanya laki-laki. Data yang ditutup pada 5 November 2023 ini, kemungkinan bisa lebih besar dari itu.
Sebelumnya pada Selasa (24/10/2023), Perempuan Berkisah juga sudah menerima banyak cerita-cerita korban melalui DM. Mereka banyaknya adalah anak-anak perempuan berusia 14-17 tahun. Hingga kini, mereka juga masih ada yang merasa ketakutan untuk keluar dari organisasi tersebut, karena merasa sudah menandatangani kontrak bermaterai 10 ribu.
“Selain itu, mereka telah mengeluarkan uang senilai Rp 200-350 ribu untuk pembelian kaos yang diwajibkan saat mereka dinyatakan lolos sebagai relawan. Ada juga yang sudah mengeluarkan uang lebih dari nilai Rp 1,5 juta ketika mengerjakan tugas-tugas organisasi,” tulis Perempuan Berkisah.
Korban Saling Menguatkan dan Bersolidaritas
Saat kasus ini ramai di sosial media beberapa waktu lalu, Konde.co dihubungi oleh salah satu korban dugaan kasus eksploitasi jadi Duta Kesehatan Mental ini, Reggie Pranoto, yang bersedia identitasnya disebut.
Melalui akun twitter pribadinya, Reggie pernah speak up soal kasus ini pada Januari 2023. Dia yang bergabung jadi Duta sejak November 2022, merasa ada kejanggalan pada organisasi tersebut. Itu bermula saat percakapannya dengan rekannya yang menyadarkan ada yang ‘tak beres’ dari organisasi itu.
Dari persoalan penugasan yang tak masuk akal karena semuanya harus ongkos sendiri, sampai penelusuran Reggie ke alamat kop surat organisasi itu. Ternyata terungkap, kantor organisasi itu fiktif.
Di masa-masa itu, Reggie yang membawa nama lembaganya sebagai Duta Kesehatan Mental itu pun, sempat mengalami tekanan mental.
“Saya kena juga akhirnya, 2-3 minggu saya kena mental,” ujar Reggie kepada Konde.co melalui sambungan telepon, Rabu (1/11/2023).
Dalam proses pemulihan itu, Reggie bisa dikatakan cukup beruntung karena ada support system dari keluarga dan lingkungannya. Dia juga sempat berobat kepada ahli.
Baca Juga: Makna ‘Hari Pelukan’: Ingatkan Kasih Sayang dan Sehatkan Mental
Hingga sekitar sebulan lalu, Reggie diundang dalam sebuah grup WA yang ternyata berisi para korban dugaan eksploitasi organisasi kesehatan mental itu. Bukan hanya mereka yang pernah terlibat sebagai Duta, tapi juga mantan staf/karyawan yang mengaku juga menjadi korban.
Disitulah, Reggie mengambil peran dalam membantu proses investigasi pengumpulan bukti dari korban bahkan juga mendampingi para korban dengan dukungan mental.
Para korban yang banyaknya usia anak-anak itu, terdampak paling banyak secara finansial dan mental. Ada yang sampai di opname bahkan percobaan bunuh diri karena tekanan mental.
“Saya kasih semangat, dari 200-an itu, saya sadar diri gak bisa semua saya pegang. Yang saya dampingi (intens) itu ada 2 orang,” katanya.
Sejak ramainya kasus ini di sosmed, satu persatu para korban juga speak up di publik. Ada yang membuat konten video, ada yang bicara di kolom komentar, dan banyak lainnya melaporkan kasusnya yang kini dihimpun oleh Perempuan Berkisah. Mereka kini saling menguatkan.
Mengingat akun organisasi literasi psikologi Indonesia sampai kini masih aktif sejak 2021 dan masih melakukan open rekrutmen, Reggie memperkirakan jumlah Duta Kesehatan Mental kini sudah mencapai ribuan. Puluhan sudah melapor sebagai korban, dan diperkirakan masih banyak lainnya yang “masih bertahan” atau belum melaporkan.
Baca Juga: Kekerasan pada Anak, Pandanglah Pelaku dan Jangan Salahkan Ibu
Dari apa yang terjadi, dirinya mengingatkan untuk lebih berhati-hati. Juga berani bersuara untuk melaporkan kasusnya.
Bersama para korban, Reggie kini tengah berkonsultasi dengan beberapa lembaga bantuan hukum probono untuk penanganan kasus ini. Selain itu, pihaknya juga berencana menindaklanjuti kasus ini ke Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Di sisi lain, Reggie belum bisa menghubungi pihak organisasi kesehatan mental termasuk CEO-nya. Disebabkan semua akun dan platform komunikasi dengan CEO diblokir.
Konde.co juga sudah berupaya menghubungi CEO Literasi Psikologi Indonesia, Rahmad Wedi, namun hingga tulisan ini tayang belum ada respons. Komunikasi dilakukan baik melalui pesan singkat WA, akun resmi IG Literasi Psikologi Indonesia dan Duta Kesehatan Mental Indonesia.
Sebelumnya pada 29 Oktober 2023, mereka sempat mengeluarkan pernyataan klarifikasi soal kasus ini. Namun, klasifikasi itu dibantah oleh korban dengan bukti-bukti melalui Perempuan Berkisah. Setidaknya ada 13 sanggahan, yang intinya senada dengan kesaksian para korban seperti Delia dan Reggie.
Eksploitasi dan Pelanggaran Hak Anak
Apa yang dialami korban organisasi kesehatan mental itu, bisa disebut sebagai bentuk eksploitasi pada anak.
“(Ini) Perbuatan yang memanfaatkan anak sesuai kehendak untuk kepentingan dirinya sendiri yang dilakukan oleh keluarga atau orang lain dan perbuatan tersebut mengganggu tumbuh kembang fisik dan mental anak,” tulis Perempuan Berkisah.
Eksploitasi ekonomi pada anak yaitu dengan menyalahgunakan tenaga anak berupa dimanfaatkan fisiknya untuk bekerja demi keuntungan orang yang mengeksploitasinya. Pekerjaan tersebut membuat anak kehilangan hak-haknya, misalnya karena dipaksa bekerja, anak tidak bisa sekolah, jarang dikasih makan dan lainnya. Pekerjaan itu seharusnya juga belum bisa dikerjakan oleh seorang anak.
Mirisnya, menurut data International Labour Organization (ILO), sekitar 168 juta anak menjadi pekerja anak dan sekitar 85 juta anak melakukan pekerjaan yang berbahaya.
Baca Juga: Pekerja Anak, Situasi Sulit yang Menjerat Anak
Adapun UU yang mengatur eksploitasi anak seperti UU No 35 Tahun 2014 Perubahan atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Bahwa larangan bagi semua pihak, termasuk orang tua untuk melakukan eksploitasi pada anak, baik eksploitasi ekonomi dan/atau seksual.
Ada juga Pasal 20 UU Nomor 35 Tahun 2014 bahwa negara, pemerintah, pemda, keluarga, masyarakat, keluarga dan orang tua/wali bertanggung jawab dan berkewajiban dalam menyelenggarakan perlindungan terhadap anak.
Di samping itu, Pasal 761 Nomor 35 tahun 2014 yang menyatakan, setiap orang dilarang membiarkan, menempatkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau ikut serta melakukan eksploitasi pada anak secara ekonomi dan/atau seksual.
Lalu apa sanksinya? Pasal 88 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang sanksi pelaku eksploitasi anak menyebut, setiap orang yang melanggar ketentuan pasal 761 akan diberikan sanksi berupa pidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200 juta.