5 Pasal UU ITE Yang Bermasalah Bagi Perempuan, Aktivis dan Jurnalis

Jika tidak direvisi, UU ITE bisa membuat perempuan korban kekerasan seksual (KS) rentan mengalami reviktimisasi, bahkan kriminalisasi.

Komnas Perempuan mengingatkan bahwa revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) merupakan kebutuhan genting dalam memastikan upaya penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan. 

Berbagai kajian dan data menunjukkan bahwa UU ITE tidak memiliki kemampuan untuk melindungi perempuan dari kekerasan seksual dan eksploitasi  terutama melalui penyebaran materi bermuatan seksual. Sebaliknya, justru membuat perempuan korban kekerasan seksual (KS) rentan mengalami reviktimisasi, bahkan kriminalisasi.

Hal ini merisikokan pelaksanaan tanggung jawab konstitusional negara pada pemenuhan hak, terutama atas jaminan dan kepastian hukum, rasa aman, bebas dari diskriminasi dan kekerasan.

Selanjutnya Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin juga mengatakan, meskipun UU ITE 11/ 2008 diklaim tidak menyasar pers, namun nyatanya terdapat banyak wartawan yang dijerat dengan UU kontroversial ini, bahkan hingga divonis bersalah oleh hakim. UU ini juga menyasar para aktivis, perempuan dan minoritas

Berikut adalah 5 pasal bermasalah di UU ITE khususnya pada pasal-pasal yang berpotensi dan menghambat kebebasan pers dan mengkriminalisasi korban kekerasan seksual dan hak asasi manusia secara umumnya:

1.Pasal tentang penghapusan informasi elektronik (Pasal 26 ayat 3)

Pasal ini berpotensi bertabrakan dengan UU Pers dan UU Keterbukaan Informasi Publik serta sejumlah peraturan perundang-undangan lain yang telah menjamin hak publik atas informasi dan kebebasan berekspresi.

Ketidakjelasan rumusan “informasi yang tidak relevan” dalam pasal ini, dapat digunakan untuk melanggengkan fenomena impunitas kejahatan dalam kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat, korupsi, atau kekerasan seksual. Sebab pasal ini akan membuka peluang bagi pelaku termasuk pejabat publik untuk mengajukan penghapusan informasi, termasuk informasi yang diproduksi media pers.

Frasa “penetapan pengadilan” menjadi masalah tersendiri karena hal ini mencerminkan asas voluntair sementara imbas penghapusan menimpa minimal dua pihak sekaligus yakni pribadi dan pengendali data yang dalam hal ini disebut Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) termasuk media.

Dengan demikian, secara subtansi pasal ini sudah bermasalah dan dapat digunakan untuk kepentingan yang semangatnya jauh dari penghormatan terhadap hak asasi manusia.

2. Pasal pencemaran nama baik dan penghinaan (Pasal 27 ayat 3 jo Pasal 45 ayat 3)

Pasal ini menambah risiko kriminalisasi terhadap wartawan yang melakukan kerja jurnalistik dengan tuduhan pencemaran dan penghinaan. Karena rumusan pasal yang luas ini sehingga kerap kali digunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi dan berpendapat di ruang online, tidak terkecuali pada wartawan.

Meskipun dalam penjelasan telah dirujuk ke Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP, namun dalam praktik seringkali diabaikan, sebab unsur “penghinaan” masih terdapat di dalam pasal ini.

Kasus-kasus wartawan yang terjerat UU ITE Pasal 27 ayat 3 seperti wartawan Mediarealitas.com M Reza als Epong divonis 1 tahun penjara karena terbukti bersalah setelah menulis berita tentang dugaan penyalahgunaan wewenang, dirilis di media mediarealitas.com kemudian link berita disebarkan di akun facebook pribadi. Judul berita dicopy untuk dijadikan caption.

Jika melihat dari kasus-kasus di atas, serangan balik kepada wartawan saat melakukan kerja wartawan sangat nyata, dan Pasal 27 ayat 3 UU ITE menjadi salah satu peraturan yang berkontribusi memuluskan serangan balik kepada kebebasan pers.

3. Pasal tentang ujaran kebencian (Pasal 28 ayat 2 jo Pasal 45A ayat 2)

Pasal ini seharusnya ditujukan sesuai dengan tujuan awal perumusan tindak pidana tentang propaganda kebencian. Namun pasal ini justru menyasar kelompok dan individu bahkan pers yang mengkritik institusi dengan ekspresi yang sah. 

Lebih memprihatinkan lagi, pasal ini kerap digunakan untuk membungkam pengkritik Presiden, padahal pasal terkait penghinaan Presiden telah dihapus Mahkamah Konstitusi karena dianggap inkonstitusional.

Mestinya pasal ini dulu dibuat untuk melindungi masyarakat dari propaganda kebencian terhadap suku, agama, ras dan antar golongan, namun karena sangat lenturnya pasal ini, wartawan yang kritis bisa dianggap sebagai orang yang menyebarkan ujaran kebencian terhadap kelompok-kelompok tertentu.

Contoh kasus-kasus wartawan yang dijerat pasal 28 ayat 2, seperti Diananta wartawan banjarhits/kumparan divonis 3 bulan 15 hari oleh Pengadilan Negeri Kotabaru setelah menulis berita konflik lahan di Kalimantan Selatan antara warga dan pengusaha.

Hakim mengabaikan ahli dari Dewan Pers yang menyatakan perkara yang diadili adalah produk pers dan harus diselesaikan melalui sengketa pers.

Kemudian kasus yang menimpa Sadli Saleh, pemimpin redaksi liputanpersada.com dilaporkan oleh Bupati Buton Tengah, Samahudin karena menyebarkan berita via Facebook dan Whatsapp.

4. Pasal 36, menambah ancaman pidana yang diatur dalam Pasal 27 sampai 34 UU ITE menjadi 12 tahun jika menimbulkan kerugian.

Keberadaan ketentuan dalam pasal ini berpotensi digunakan untuk memperberat ancaman pidana sehingga memenuhi unsur untuk dilakukan penahanan.

5. Pasal tentang pemblokiran (Pasal 40 ayat 2b)

Kewenangan mengenai pengaturan blocking dan filtering konten harus diatur secara tegas mekanismenya sesuai dengan due process of law. Kewenangan yang besar tanpa sistem kontrol dan pengawasan membuat kebijakan blokir internet berpotensi sewenang-wenang.

Salah satu contoh pada saat pemerintah dalam hal ini Kemkominfo RI melakukan tindakan pelambatan dan pemutusan akses internet di Papua dan Papua Barat pada akhir tahun 2019 yang kemudian dinyatakan sebagai perbuatan melanggar hukum oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.

Saat ini LBH Pers dalam pernyataan sikapnya bersama koalisi masyarakat sipil yang terdiri sejumlah organisasi, SAFEnet, YLBHI, ICJR, IJRS, ELSAM, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, Greenpeace Indonesia, KontraS, Amnesty International Indonesia, PUSKAPA UI, Imparsial, AJI Indonesia, PBHI, Rumah Cemara, Koalisi Perempuan Indonesia, ICW, LeIP, WALHI, PSHK, KPJKB Makassar, LBH Apik sedang melakukan permohonan uji materi terhadap Pasal 40 ayat 2b.

“Dalam uji materi yang kami ajukan, pada pokoknya kami meminta agar membatasi kewenangan dalam melakukan pemblokiran dan mendorong proses due process of law dalam setiap tindakan pemblokiran internet,” kata Ade Wahyudi

LBH Pers dan AJI Indonesia juga merekomendasikan Pemerintah dan DPR untuk segera melakukan revisi menyeluruh pada UU ITE, tidak sebatas penghinaan, pencemaran nama baik dan ujaran kebencian, namun juga mencabut pasal 26 ayat 3 UU ITE dan dipindahkan ke dalam RUU Perlindungan Data Pribadi yang saat ini sedang di bahas oleh DPR.

Lalu mencabut pasal-pasal bermasalah seperti Pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran atau penghinaan dan 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian kemudian diikuti dengan mencabut pasal lain yang secara subtansi bermasalah dan multitafsir seperti Pasal 27 ayat 1 tentang kesusilaan, Pasal 29 tentang menakut nakuti yang ditujukan secara pribadi dan Pasal 36 tentang pemberatan pidana yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain.

Sekaligus melakukan revisi pada pasal 40 ayat 2a dan 2b dengan memasukan secara jelas mekanisme due process of law.

Rabu, 10 Maret 2021, sejumlah lembaga dan organisasi pers ini memenuhi undangan dari Kementerian Polhukam untuk memberi masukan kepada Tim Kajian Revisi UU ITE yang dikepalai oleh Dr. Sigit Purnomo dari Kedeputian III Polhukam.

Pertemuan diikuti ketua dan direktur lembaga yakni Ade Wahyudin (LBH Pers), Wens Manggut (Asosiasi Media Siber Indonesia), Sasmito Madrim (Aliansi Jurnalis Independen), dan Imam Wahyudi (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia).

Komunitas pers mendorong pemerintah melakukan revisi terhadap UU ITE, khususnya terhadap pasal-pasal yang mengancam kebebasan pers

Kriminalisasi korban kekerasan seksual

Dalam konteks kriminalisasi pada korban melalui penggunaan UU ITE, hasil pemantauan dan kajian Komnas Perempuan menunjukkan bahwa bukan saja melibatkan perempuan korban kekerasan seksual ketika muatan seksual menyangkut yang melibatkan dirinya disebarkan melalui media sosial siber.

Korban kekerasan dalam rumah tangga atau kekerasan di ranah personal lainnya juga berpotensi dikriminalkan ketika mereka menggunggah menuliskan kisah dan/atau aspirasinya tentang  kasus yang dialaminya di media sosial.

Sulit bagi perempuan korban untuk keluar dari jerat kriminalisasi, terutama ketika suami/pasangannya  adalah pejabat publik atau elit sehingga dapat mengambil keuntungan sepihak dari relasi timpang antar mereka akibat kedudukan sosial dan konstruksi gender mengenai posisi perempuan dalam relasi personal.

Komisioner Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang mengatakan dalam pernyataan pers yang diterima www.konde.co, kriminalisasi perempuan korban kekerasan dengan menggunakan UU ITE dimungkinkan karena muatan UU ITE mengenai pasal terkait kesusilaan bersifat sumir dan perspektif penegak hukum serta masyarakat dalam kasus terkait kesusilaan cenderung memojokkan perempuan. 

“Kondisi ini secara khusus merugikan perempuan  yang oleh  masyarakat dikonstruksikan sebagai simbol moralitas. Selain berhadapan dengan hukum, perempuan yang terjerat dengan UU ITE  kerap harus menghadapi penghakiman masyarakat, bahkan keluarganya, terhadap dirinya.”

Di dalam kesepakatan Baleg DPR RI dan pemerintah,  revisi UU ITE tidak menjadi bagian dari daftar yang diusulkan untuk Prolegnas 2021. Hal ini dikuatirkan akan mengakibatkan jumlah perempuan yang menjadi korban Kekerasan Seksual (KS) dengan menggunakan media online, serta reviktimisasi dan kriminalisasi perempuan korban Kekerasan Seksual (KS) dengan menggunakan UU ITE terus bertambah.

Bertolak dari pemikiran di atas, Komnas Perempuan mendukung upaya masyarakat sipil agar Pemerintah dan DPR RI mengadopsi revisi UU ITE menjadi bagian dalam program legislasi prioritas nasional 2021.

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

Poedjiati Tan

Psikolog, aktivis perempuan dan manager sosial media www.Konde.co. Pernah menjadi representative ILGA ASIA dan ILGA World Board. Penulis buku “Mengenal Perbedaan Orientasi Seksual Remaja Putri.”
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!