Ambivalen Lagu Padi Reborn “Ingat Pesan Ibu”, Karena Cuci Tangan Bukan Urusan Ibu

Urusan cuci tangan tentunya bukan urusan ibu. Kira-kira inilah ambivalen lagu Padi Reborn yang berjudul “Ingat Pesan Ibu.” PADI Reborn dan Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 bersinergi meluncurkan lagu ini untuk kampanye lawan COVID-19. Buat saya, lagu ini ambivalen dan bias gender karena menempatkan ibu sebagai satu-satunya orang yang mengurus pengasuhan anak

Tagline #ingatpesanibu merupakan jargon yang diusung Satgas Penanganan COVID-19 dalam upaya memberikan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat luas akan pentingnya mematuhi protokol kesehatan serta menjalankan kebiasaan baru demi menekan angka penularan COVID-19. Dilansir dari Tirto.id, kenapa mengambil ibu karena mengingat pesan dari ibu pada anaknya

“Jadi kita ingin memastikan setiap orang patuh apabila mengingat pesan dari ibu, karena kepatuhan seorang anak kepada ibunya,” kata Juru Bicara Satgas COVID-19, Wiku Adisasmito, dalam konferensi pers, Kamis (1/10/2020), seperti dikutip dalam Tirto.id

Kira-kira begini lirik lagu “Ingat Pesan Ibu”:

Ingat pesan ibu

Pakai maskermu

Cuci tangan pakai sabun

Jangan sampai tertular

Ingat pesan ibu

Jaga jarakmu

Hindari kerumunan

Jaga keluargamu

Saya seketika langsung meraih remote dan memijit tombol untuk mengganti saluran TV. Saya tidak mau aktivitas menonton saya didistraksi, termasuk oleh lagu itu.

Dalam Program Padi Reborn Sang Penghibur yang tayang di NET TV, Piyu, gitaris Padi mengatakan bahwa lagu itu diserahkan kepada Satgas Penanganan COVID-19 sebagai material untuk ikut mempromosikan budaya hidup sehat selama pandemi. Lagu itu kemudian disiarkan di stasiun-stasiun TV dan menjadi konsumsi publik Indonesia secara luas.

Bagi saya, ada beberapa ambivalensi di dalam lirik lagi ini. Lebih dari itu, buat saya, rilisnya lagu ini menampakkan bahwa pemerintah—dalam hal ini Satgas Penanganan COVID-19—sebetulnya memiliki penglihatan yang lemah dalam mengampanyekan protokol kesehatan 3M: Memakai masker; Menjaga jarak; dan Mencuci tangan dengan sabun ini. Mereka nampaknya kurang riset dalam merumuskan bentuk komunikasi publik terkait pandemi:

Lagi pula kenapa harus “Ingat Pesan Ibu,” sih? Ini ciri bahwa negara ini teramat patriarkis, sehingga semua hal yang berurusan dengan pengasuhan anak—termasuk mengingatkan mencuci tangan—adalah urusan ibu. Tentu saja sebagai seorang perempuan, saya kesal. Bikin anaknya berdua sama suami, kog, tapi kenapa yang ngurus atau bertugas mengingatkan cuma ibunya?

1.Apa-apa menjadi urusan ibu : ciri negara patriarkis dan fatherless society

Sedihnya lagi, yang tampil membawa “pesan ibu” seluruhnya adalah band yang semua anggotanya laki-laki, bukan perempuan itu sendiri.

Lagu ini tidak memberi ruang representasi bagi perempuan untuk tampil, atau perempuan tidak bersuara di dalam lagu ini.

Di dalam wawancara di program NET TV yang tadi disebutkan, Piyu juga diminta menceritakan perihal mengapa judul “Ingat Pesan Ibu” yang diambil.

Ia berkata, “Kalau orang yang kita sayangi, kita jaga, kita hormati itu aja nggak didenger, ya pasti kita akan bermasalah nantinya. Makanya kita membuat itu mengambil angle dari ibu. Supaya…siapa lagi sih, yang bisa didenger kalau bukan ibu?”

Oke, saya menangkap maksud positifnya dan pandangan hormatnya terhadap ibu. Tapi, poin yang disebutkan Piyu menunjukkan bahwa kita ini adalah fatherless society. Kita menjelma menjadi keluarga yang tumbuh dengan konstruksi bahwa ibu harus menjadi “sumber suara” yang harus didengar bagi anak-anaknya.

Tapi, kenapa bukan bapak? Kemanakah bapak? Tentu saja bapak tidak banyak terlibat di pengasuhan dalam logika masyarakat patriarkis. Sebab, bapak tugasnya bekerja di luar rumah. Soal domestik—termasuk mengasuh anak dan mengingatkan semua anak untuk mencuci tangan—itu tugas ibu. Kalau anak-anak bermasalah, maka sangat mudah bagi ibu untuk disalahkan.

Lagipula, kenapa bukan “Ingat Masa Depan”, “Ingat Cicilan Belum Lunas”, “Ingat Kamu Masih Jomblo dan Mantanmu Sudah Mau Punya Dua Anak”, “Ingat Kamu Belum S3”, “Ingat Paspor Kamu Perlu Lebih Banyak Stempel”, “Ingat Tulisanmu Belum Terbit”, dan pengingat-pengingat lainnya?

2.Urusan cuci tangan adalah urusan semua orang

Sekarang coba kita tanya pada diri sendiri, siapa yang lebih banyak mengingatkan soal protokol kesehatan selama pandemi: kita—sebagai generasi penikmat atau fansnya Padi Reborn, yang bisa disebut generasi Y— atau ibu (orang tua) kita?

Dalam keseharian, saya adalah orang yang lebih sering mengingatkan ibu atau orang tua saya. Jujur saja, sebagai anak, kekhawatiran saya berlipat ganda ketika melihat masih banyak orang di luar yang maskernya melorot atau sengaja memelorotkan masker ke dagu setiap ngomong, copot masker sebentar untuk merokok, atau cuma sekedar pakai face shield. Betapa tidak teganya dan khawatirnya kami melepas orang tua kami di belantara dunia seperti itu.

Apa yang saya tulis ini bukan bermaksud menyalahkan orang tua sebagai pihak yang tidak peka protokol. Bukan. Saya yakin dan percaya, orang tua kami juga sudah berusaha menjalankan 3M. Sialnya, mereka juga selalu terbentur dengan tekanan sosial seperti, “Gak enak sama tetangga atau teman yang lain kalau gak datang. Nanti diomongin. Nanti dicariin, kok gak muncul.”

Maka, tolonglah, meminta untuk “Ingat Pesan Ibu” itu akan membuat emosional. Sangat gatal rasanya untuk ingin menjawab, “Yang benar saja! Justru saya yang lebih sering mengingatkan.”

3.Pemerintah salah persepsi

Kalau emosi saya sudah reda—setelah ganti saluran—saya suka bingung sendiri sama pemerintah. Sebenarnya apa mau pemerintah dengan mensosialisasikan lagu ini? Karena buat saya, mestinya cuci tangan itu urusan semua orang yang harus bertanggungjawab pada dirinya sendiri.

Jika yang diminta cuci tangan adalah anak-anak, maka orangtua, guru yang mengingatkan, bukan cuma ibu, tapi juga ayah yang punya tanggungjawab yang sama dengan ibu.

Karena jika anak-anaknya tak mau cuci tangan, bisa jadi nanti ibulah yang disalahkan sebagai biang kesalahan. Tentu kita tak mau seperti itu. Maka yang harus dilakukan adalah menghentikan ambivalensi dalam komunikasi publik pemerintah terkait pandemi ini

(Foto: Padi Reborn/ Youtube)

Lela Latifa

Seorang ibu dan penulis lepas di sebuah media yang fokus pada pengasuhan serta keluarga
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!