Muay Thai Pulihkan Trauma Saya Sebagai Korban Kekerasan Seksual

Setelah melihat ayah kerap memukuli ibu, sejak itu saya berpikir, apa yang harus saya lakukan untuk membela ibu?. Kejadian waktu kecil itu membuat kesehatan mental saya terganggu. Saya kemudian belajar muay thai atau thai boxing Thailand untuk memuaskan emosi saya di masa lalu

Sudah hampir empat tahun saya menekuni muay thai di sela-sela kesibukan sehari-hari. Meski empat tahun bukanlah waktu yang lama, namun muay thai sudah banyak membantu dalam perjalanan pemulihan kesehatan mental saya.

Mengapa saya belajar muay thai? Ini karena sewaktu kecil, saya sering melihat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan ayah terhadap ibu.

Ada banyak detil yang sudah tidak bisa diingat lagi karena sudah saya kubur dalam-dalam. Tapi saya ingat persis, di suatu malam saya pernah melihat, ayah saya menginjak-injak kepala ibu saya yang sedang terbaring. Saya juga ingat salah satu mata ibu saya sempat lebam ketika beliau datang ke sekolah.

Di luar itu, saya adalah korban kekerasan seksual. Ada beberapa kejadian kekerasan seksual yang saya alami ketika saya masih anak-anak. Saya tidak akan cerita banyak soal ini, selain cuma mau menyebutkan nama salah satu pelaku kekerasan seksual itu bernama: P (Kalau kamu baca ini, P, dan kita akan pernah bertemu lagi, siap-siap dibawa polisi ya).

KDRT dan kekerasan seksual yang saya saksikan dan saya alami dulu kemudian kerap membuat saya merasa bersalah, karena saya merasa tak bisa berbuat banyak, seolah membiarkan kekerasan yang terjadi pada saya sekaligus pada ibu.

Dari rasa bersalah itulah kemudian lahir mitos gak percaya diri yang hinggap di hidup saya:

“Saya lemah, karena saya tidak bisa melindungi ibu dari ayah saya dan juga diri sendiri dari P.”

“Saya juga merasa cengeng, karena yang saya bisa lakukan di saat itu cuma menangis.”

“Saya tidak menarik, karena siapa sih yang akan mau sama perempuan yang mengalami kekerasan seksual?”

“Saya tidak berbakat, tidak atletis, tidak menarik, medioker, ceroboh.”

Lagipula mungkin memang baiknya saya tidak usah berpenampilan menarik? Toh, penampilan menarik akan berisiko mengundang P-P yang lain yang akan melakukan kekerasan seksual pada tubuh saya

Pokoknya saya dulu percaya kalau saya itu tidak cukup baik. Mitos-mitos ini juga bukan muncul begitu saja. Perasaan tidak cukup atau insecure itu bukan bawaan lahir. Mitos-mitos inilah yang kemudian saya pegang selama puluhan tahun.

Mitos ini tanpa saya sadari kemudian berdampak negatif terhadap kesehatan mental saya, yang lalu bermanisfestasi dalam bentuk kesulitan saya menyalurkan kemarahan secara sehat.

Belajar muay Thai dan tak bisa menahan tangis

Puncaknya adalah di tahun 2017. Sewaktu kemarahan saya memuncak hingga saya hampir mengakhiri hidup saya. Namun dengan dukungan suami, saya memutuskan untuk mengakhiri itu semua dan mulai mengunjungi terapis.

Setelah beberapa sesi, si terapis menyarankan saya untuk mencoba muay thai. Respon saya waktu itu?, “halah, amit-amit itu kan kekerasan,” kata saya.

Tapi si terapis ini lumayan keukeuh dengan rekomendasinya. Akhirnya setelah berbulan-bulan dia merekomendasikan itu, saya nurut juga. Maksudnya cuma supaya dia diam. Toh, kalau saya tidak cocok, saya hanya tidak perlu melanjutkannya.

Namun kenyataannya saya langsung jatuh hati dengan muay thai. Di sesi pertama saya dibimbing oleh seorang trainer yang juga seorang penyintas kekerasan seksual.

Ketika saya memukul samsak untuk pertama kalinya, saya tidak kuasa menahan tangis. Wajah P tiba-tiba muncul di dalam benak saya, dan setiap pukulan yang saya lemparkan adalah simbol perlawanan balik saya pada P.

Sejak hari itu, muay thai menjadi tempat pelampiasan amarah yang aman bagi saya. Emosi yang tidak bisa saya artikulasikan dengan bebas karena norma-norma, ekspektasi sosial, risiko kehilangan pekerjaan, dll saya luapkan di samsak. Pelan-pelan, saya belajar menyalurkan kemarahan dengan cara yang sehat.

Peran muay thai dalam perjalanan pemulihan kesehatan mental saya tidak berhenti di situ. Lagi-lagi dengan dorongan si terapis, saya memutuskan untuk berkompetisi dalam sebuah pertandingan. Untuk dapat berkompetisi, saya harus mengikuti program fight camp yang diadakan gym tempat saya berlatih.

Programnya lumayan ‘brutal’, apalagi untuk saya yang tidak suka olahraga dan (dulu saya percaya) bahwa saya lemah, cengeng dan tidak atletis. Saya harus lari 5 kilometer selama lima kali seminggu dan hampir setiap hari berlatih di gym kurang lebih tiga-empat jam. Tentu awalnya terasa sangat berat. Beberapa kali saya sempat cedera. Tapi, pelan-pelan, saya bisa mengikuti.

Dari situlah saya lalu berpikir,“apa mungkin saya tidak selemah yang saya pikir?”

Melawan mitos dengan muay thai

Puncaknya kemudian adalah suatu hari di bulan Mei 2019. Kala itu saya harus sparring atau harus berlatih bertanding dengan Teresa Perozzi, mantan pemegang sabuk World Boxing Association kelas middleweight. Sebelum sparring, perasaan ragu, takut dan semua mitos-mitos diri itu muncul bersamaan dan bercampur aduk.

“Bagaimana kalau saya nanti KO?”, “yah, ini sih pasti bakal cedera”, dan “mana bisa saya tahan lawan mantan juara dunia?.” Kurang lebih ini yang ada di pikiran saat itu.

Walau penuh rasa takut, saya pun sparring dengan Teresa Perozzi. Tebakan saya betul, kami memang berbeda level. Itu sih tidak mengejutkan. Tapi yang mengejutkan bagi saya, beberapa kali saya terkena pukulan keras di kepala dan saya baik-baik saja. Tidak cedera, tetap sehat, tetap bisa lanjut dan malah terus berusaha melawan balik.

Di akhir latihan hari itu, barulah saya sadar: saya tidak lemah. Saya tidak terbuat dari porselen. Jadi pikiran bahwa saya lemah, itu hanyalah sebuah mitos.

Malam itu, saya menyediakan waktu untuk memikirkan hal lain: jika saya tidak lemah, maka kenapa saya cengeng, tak percaya diri, merasa tidak berbakat dan tidak menarik?

Saya memutuskan untuk menuliskan kegelisahan saya dengan menulis surat. Surat ini berisi pertanyaan saya untuk menantang balik kesahihan semua mitos-mitos yang saya yakini selama ini.

Lambat laun, ini memungkinkan saya untuk mematahkan mitos terbesar dalam hidup saya: bahwa saya bertanggung jawab atas KDRT yang saya saksikan ataupun kekerasan seksual yang saya alami. Saya akhirnya paham, bahwa saya tidak bersalah. Adalah wajar kalau saya tidak bisa melindungi ibu dari ayah waktu itu, karena saya masih anak-anak. Dan bukan tanggung jawab saya untuk melindungi diri sendiri dari P atau orang lain, justru P dan orang-orang seperti dia lah yang harus bertanggung jawab untuk tidak menyakiti saya atau anak perempuan lain.

Setiap perempuan punya cerita sendiri dan perjalanan pemulihan yang berbeda-beda. Di hidup saya, muay thai lah yang membantu pemulihan kesehatan emosi dan mental saya karena ia mematahkan mitos-mitos yang saya dulu percayai.

Muay thai adalah alat yang membuka jalan untuk saya lebih mengenal, mencintai dan berdamai dengan diri sendiri.

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

answer styannes

Penikmat muay thai kelahiran Palembang yang kini menetap di Bermuda. Tertarik dengan peran bela diri dalam kesehatan mental dan emosional perempuan. Dapat dihubungi melalui answer.styannes@gmail.com
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!