Perempuan Bisa dan Boleh Menyatakan Perasaan Duluan

Di dunia ini, perempuan seolah tak boleh menyatakan cinta terlebih dulu. Tak hanya cemas mendengar respons dari orang yang disukainya, label “murahan”, “gampangan” yang diberikan oleh orang lain ikut serta menjadi alasan terbesar perempuan takut untuk mengungkapkan perasaannya. Padahal, perempuan berhak untuk menyatakan perasaannya duluan

Ada seorang perempuan yang tinggal di sebuah kota yang sepi. Ia sudah lama memperhatikan sosok laki-laki yang berulang kali lewat di depan rumahnya, sosok  yang akhirnya ia berikan ruang di buku hariannya. Pagi dan malam ia berpikir bagaimana caranya untuk berkenalan.

Karena sudah menghabiskan banyak waktu berpikir di dalam kamarnya, perempuan itu kemudian memberanikan diri berjalan menuju laki-laki tersebut ketika ia sedang lewat di depan rumahnya. Tak henti-hentinya ia tersenyum, menunduk ke bawah, menatap laki-laki itu, lalu tersenyum lagi. Gerak-geriknya menunjukkan dengan jelas bahwa ia gugup, tapi juga puas atas keberaniannya menemui laki-laki itu. “Aku suka padamu,” adalah kalimat pertama yang akhirnya muncul dari kedua bibirnya.

Pernahkah kamu membaca dongeng atau cerita tradisional di mana perempuan menjadi sosok yang duluan yang mengajak kenalan atau menyatakan perasaannya? Cerita di atas hanya sebuah dongeng ilustrasi kejadian yang mungkin jarang kamu temui di ranah fiktif beberapa tahun lalu.

Di dunia fiktif maupun nyata, perempuan sering mendapat peran sebagai sosok yang harus diam dan menunggu, pasif, hanya bisa mengikuti arus dan menanti laki-laki untuk menentukan kelanjutan ceritanya. Banyak perempuan hidup di lingkungan yang mengajarkan mereka untuk memendam perasaan dan mengedepankan kebutuhan orang lain, bersikap manis, rapi dan tidak boleh grasah-grusuh. Sedangkan laki-laki umumnya diarahkan untuk lebih ekspresif dan berani. Hal ini pun tercermin dari cerita-cerita tradisional yang banyak kita dengar sejak kecil.

Untunglah, di banyak film dan literatur modern, perempuan kini mulai “dipercaya” untuk menyatakan perasaannya lebih dulu. Ending-nya sih sering berakhir baik: Si laki-laki memiliki perasaan yang sama, dan mereka bahagia menjalin kasih. Tapi, itu kan hanya di kisah fiktif, enggak mungkin bisa diterapkan di dunia nyata. Benarkah?

Peran menyatakan perasaan biasanya diemban laki-laki karena mereka dianggap lebih punya inisiatif dan harus lebih dahulu membuat gerakan. Makanya, ketika perempuan confess duluan dianggap aneh.

Miris sekali kalau kita percaya bahwa perkembangan kepribadian seperti itu berlaku untuk setiap orang. Laki-laki pun bisa merasa takut dan merasa minder. Takut dan minder menyatakan perasaan, misalnya. Tidak semua laki-laki berani loh, dan tahu cara mengungkapkan perasaannya.

Selain dihantui persepsi berbasis gender, ada juga ketakutan bahwa si perempuan di komunitasnya akan disebut terlalu berani menjatuhkan harga dirinya hanya untuk menyatakan perasaan terhadap laki-laki.

Tak hanya cemas mendengar respons dari orang yang disukainya, label “murahan”, “gampangan” yang diberikan oleh orang lain ikut serta menjadi alasan terbesar perempuan takut melakukannya.

Padahal, menyimpan perasaan itu tidak enak. Dengan membiarkan perasaan itu menumpuk dalam hati, kamu akan semakin merasa tertekan. Menjadi perempuan yang inisiatif dan ekspresif tidak menjadikan kamu terlihat agresif, justru kamu akan dilihat sebagai orang yang berani dan serius dalam mencapai suatu tujuan.

Jika kamu memang sudah yakin dengan perasaanmu terhadap orang tersebut, nyatakan saja. Mungkin akan ada beberapa suara sumbang yang kritis. Biarpun begitu, ada sekian persen kemungkinan laki-laki akan menghargai usahamu dan menganggap kamu menarik saat kamu bersikap jujur padanya karena itu artinya kamu percaya diri.

Kalau menyatakan perasaan ke sahabat, boleh?

Konon katanya jika laki-laki dan perempuan bersahabat, pasti ada salah satu dari mereka yang jatuh cinta terhadap sahabatnya. Itu wajar terjadi karena mereka sudah banyak menghabiskan waktu bersama, dari situ lah perasaan itu muncul dan akhirnya menggebu-gebu. 

Awalnya kamu mungkin takut merusak persahabatanmu, tapi tidak apa-apa untuk berkata jujur. Seandainya sahabatmu tidak memiliki perasaan yang sama, kamu tidak perlu merasa sedih atau malu. Kamu hanya ingin mengungkapkan perasaan, kok, dan itu membuatmu lega karena telah mengucapkannya. Apapun responnya, yang penting kamu sudah melawan ketakutanmu sendiri, bukan?

Siapa pun takut mendengar kalimat penolakan, bingung bagaimana cara terbaik untuk berkenalan dengan orang yang menarik hati kita, dan khawatir akan gerak-gerik kita yang bisa membuat orang lain ilfeel. Setiap orang pasti pernah merasakan semua dan itu normal. Menjadi perempuan tidak membuatmu harus selalu bersikap pasif; mengambil inisiatif itu boleh dan tidak dosa, loh.

Menyatakan perasaan memberi pelajaran kepada kita bahwa itu artinya kita mampu mengakui perasaan kita sendiri dan menghargainya. Juga, kita sudah melakukan yang terbaik untuk belajar percaya diri.

Tidak masalah jika kamu masih belum berani, tapi semoga kamu tahu bahwa menyatakan perasaan adalah hak setiap manusia.

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

(Tulisan ini merupakan program “Literasi Digital Perempuan” www.konde.co bekerjasama dengan www.plainmovement.id, program berbagi pandangan personal dan perjuangan perempuan dalam berliterasi melalui media digital)

Firza Aliya A.

Penulis Plain Movement
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!