Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil mencari 5.000 anak muda Jawa Barat agar mau tinggal di desa dan menjadi petani 4.0.
Sejumlah keuntungan ditawarkan seperti pinjaman modal, pinjaman lahan dan pilihan untuk menikahi kembang desa. Program ini merupakan program untuk mengembangkan produk pertanian sehingga tidak lagi mencari pekerjaan di kota.
Namun yang membuat kaget adalah adanya kalimat seksisme dalam frasa “kembang desa” dalam ajakan tersebut:
“..pendaftaran akan dimulai minggu depan. Daripada jadi pengangguran kan? Salah satu syaratnya mau tinggal ngekos di desa. Menikahi kembang desa adalah pilihan…,” tulis Ridwan Kamil di akun Instagram miliknya, Kamis (27/1/2020).
Media juga menuliskan penggunaan kata “kembang desa” yang disampaikan Ridwan Kamil ini.
“Daripada jadi pengangguran kan? Salah satu syaratnya mau tinggal ngekos di desa. Menikahi kembang desa adalah pilihan.” kata Ridwan Kamil seperti dikutip dari https://jabar.suara.com/read/2021/01/29/104517/ridwan-kamil-cari-5000-anak-muda-untuk-nikahi-kembang-desa-ini-cara-daftar?page=all
Frasa pada kalimat “kembang desa” ini sangat menganggu buat saya, karena ini seperti menyatakan kalimat yang sensasional seperti “janda cantik” atau “Polwan cantik.”
Dalam masa pandemik COVID-19 ini, keterbatasan untuk mendapatkan pekerjaan menjadi sangat terlihat karena lambatnya pertumbuhan ekonomi. Salah satu program penting adalah program yang diluncurkan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil yang tengah mencari 5.000 anak muda Jawa Barat untuk tinggal di desa dan menjadi petani 4.0. Sejumlah keuntungan ditawarkan seperti pinjaman modal, pinjaman lahan. Ini adalah respon pemerintah Jawa Barat untuk menyikapi krisis pengangguran yang semakin bertambah karena dampak pandemi COVID-19.
Akan tetapi, frase “pilihan untuk menikahi kembang desa” menjadi hal yang perlu digarisbawahi karena seksis.
Konteks “kembang desa” pada definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengacu pada perempuan yang dianggap paling cantik di sebuah desa. Mungkin sebutan ini terkesan ‘biasa saja’ karena sudah lumrah digunakan, sebagai bahan bercanda, padahal ini sebenarnya seksis.
Bias Konotasi Pejabat Publik
Di zaman kampanye perempuan yang sudah mulai menguat seperti kondisi saat ini, ternyata tidak serta-merta ini akan menghilangkan istilah-istilah yang jika diucapkan begitu saja dapat memancing tendensi perendahan
Sebut saja “polwan cantik, guru cantik, dokter cantik”. Walaupun tak sebanyak perempuan, dalam konteks laki-laki pun sering terjadi hal yang sama, seperti penyebutan “dosen ganteng.”
Proses pendefinisian bahasa ini terjadi karena hegemoni budaya maskulinitas di masyarakat.
Konstruksi hegemoni dalam bahasa ini juga muncul dalam tatanan metafora penggambaran tentang perempuan sejak lama, contohnya Tjipto Mangoenkusumo yang menggambarkan perempuan Eropa berdandan tebal namun menyembunyikan itikad buruk sebagai simbol politik etis Belanda (Gouda: 240 dalam Santoso Widjajanti, 2005). Lalu ambiguitas yang dilakukan oleh Soekarno yang menggambarkan proses kemerdekaan layaknya dewi kemerdekaan karena menyamakan laki-laki bersarung dengan perempuan
European Institute for Gender Equality (EIGE) menggambarkan seksisme sebagai asumsi pemeringkatan satu jenis gender yang lebih tinggi, menciptakan bias ketidaksadaran bahwa tindakan, perkataan, serta lingkungan akan dapat menciptakan perendahan serta pelecehan.
Seksisme juga dapat dialami siapapun, namun perempuanlah yang sering mendapat dampaknya. Dalam konteks ini bagaimana istilah ‘kembang desa” dapat diinterpretasikan sebagai seksisme.
Sebutan ‘kembang desa” pada pernyataan Ridwan Kamil mungkin dimaksudkan untuk bercanda, akan tetapi dapat dimaknai lain bahwa kembang desa merupakan salah satu bentuk penarik para kandidat yang ingin berpartisipasi dalam program Petani 4.0. Persoalannya: apakah perlu menggunakan kalimat becandaan dengan melibatkan perempuan yang akhirnya hanya dijadikan ‘komoditas pemikat’? Seolah-olah program ini memerlukan lawan jenis untuk menarik laki-laki (pemuda) yang menjadi target program petani milenial.
Bias konotasi tidak dapat terhindarkan disini, karena masalah ‘kelaziman’ yang sudah dianggap wajar, dan sekali lagi perempuan yang terkena dampaknya.
Hal ini juga tak pantas diucapkan pemimpin daerah dan menjadi wacana publik yang seksis yang menjadikan perempuan hanya sebagai pelengkap
(Foto/ ilustrasi: Pixabay)