Waktu Dandan Pramugari Tak Dihitung Sebagai Kerja: Problem Pekerja

Segregasi, stereotipe, dan pembatasan kerja membuat perempuan kemudian tidak leluasa memilih profesinya. Banyak perempuan kemudian lebih memilih bekerja paruh waktu agar dapat mengurus keluarga, demikian juga yang terjadi pada pramugari dan banyak perempuan pekerja lainnya di Indonesia

Seorang peneliti mengungkapkan segregasi profesi masih terjadi. Di Indonesia, di mana angka partisipasi kerja perempuan hampir mencapai 51%, bandingkan dengan laki-laki yang mencapai hampir 82%, profesi perempuan terkonsentrasi pada sektor jasa.

Data global Organisasi Buruh Internasional (ILO) menunjukkan profesi yang banyak melibatkan kaum perempuan adalah pekerjaan yang bergerak dalam bidang jasa.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Juni 2020 menunjukkan proporsi pekerja perempuan yang mendominasi tenaga kerja usaha jasa mengalami peningkatan menjadi hampir 59% pada tahun 2019.

Peneliti bidang gender dan pekerjaan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Hani Yulindrasari menjelaskan segregasi berdasarkan bidang pekerjaan di Indonesia masih sangat tinggi. Akses perempuan dipandang cukup terbuka pada bidang-bidang pekerjaan yang bergerak dalam sektor jasa.

“Walaupun angka partisipasi perempuan naik, bidang itu masih sangat tersegregasi berdasarkan gender. Jadi, ada bidang-bidang kerja yang dianggap lebih cocok untuk perempuan dan ada bidang kerja yang dianggap cocok untuk laki-laki,” jelasnya.

Stereotipe juga membuat banyak perusahaan enggan mempekerjakan perempuan, terutama dalam bidang-bidang pekerjaan yang menuntut pegawainya untuk jauh dari keluarga seperti sektor pertambangan, atau pekerjaan yang menuntut karyawan bepergian cukup sering, seperti pramugari.Ratri Purbolaras, usia 25 tahun, adalah seorang pramugari. Ia justru menyukai profesinya yang memungkinkannya sering bepergian dan datang ke banyak negara. Ia justru melihat tuntutan yang berbeda dalam profesinya.

Selain kerjasama tim, terampil menghadapi dan melayani penumpang, pramugari asal Madiun itu mengungkapkan, perempuan harus berdandan. Tetapi, waktu yang digunakan untuk penampilan itu, tidak pernah dihitung sebagai jam kerja.

“Urusan make up, dandan tuh, kan juga lebih lama,” ujar Ratri.

Ia kemudian mengemukakan pengalaman beberapa rekan yang menjadi karyawan tetap perusahaan penerbangan dan memperoleh cuti hamil setahun dan bisa kembali terbang. Akan tetapi, ia melihat, jauh lebih banyak pramugari dengan sistem kontrak yang kurang beruntung.

“Jadi, di saat dia menikah, boleh, tapi saat hamil biasanya resign. Kemudian, mungkin nanti saat dia sudah siap untuk jadi pramugari lagi, biasanya dia akan bisa melamar lagi, tapi mulai dari nol.”Ratri, yang sudah terbang sejak 2015, mengakui banyak pramugari yang kemudian memutuskan berhenti bekerja pada usia yang masih produktif dengan alasan mengurangi bepergian demi mengurus keluarga.

Segregasi, stereotipe, dan pembatasan, menurut Hani Yulindrasari, membuat kaum perempuan lebih memilih bekerja paruh waktu agar dapat mengurus keluarga. [mg/ka]

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

(Sumber: Voice of America)

Metrini Geopani

Jurnalis Voice of America (VOA)
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!