Isu Perubahan Iklim Itu Bukan Cuma Mengganti Sedotan Plastik Dan Tas Belanja

Pada peringatan Hari Bumi 22 April kemarin saya mencatat, isu perubahan iklim sejatinya bukan cuma persoalan perubahan gaya hidup seperti mengganti sedotan plastik ke sedotan besi, atau mengganti tas belanja plastik ke kertas atau kain yang menjadi salah satu program Pemerintah DKI Jakarta. Masih ada persoalan banjir, penggusuran yang menjadi pekerjaan rumah Pemerintah DKI Jakarta

Perubahan iklim yang memicu berbagai bencana di dunia mulai dari banjir, badai, kemarau panjang, kebakaran hutan hingga krisis air, sangat berdampak pada kehidupan perempuan.

Konstruksi gender di dalam masyarakat menempatkan perempuan pada peran-peran domestik. Terlebih lagi sejak 5 tahun terakhir, meningkatnya kelompok fundamentalis agama yang menyebarkan pandangan misoginis, makin membatasi keterlibatan peran perempuan di ruang publik.

Perempuan tidak banyak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, termasuk dalam upaya menghadapi krisis iklim yang makin memburuk akhir-akhir ini. Padahal krisis iklim menguatkan kerentanan perempuan di wilayah terjadi bencana. Krisis iklim yang terjadi menyebabkan dampak berlapis terhadap perempuan.

Dinda Nuurannisaa dari Solidaritas Perempuan memetakan hasil ini setelah melakukan penelitian bersama Aksi for gender, social and ecological justice mengenai ruang terbuka hijau di Jakarta. Ironisnya ruang terbuka hijau, sebagai salah satu usaha adaptasi perubahan iklim yang harusnya memberikan manfaaat bagi masyarakat, justru sering dilakukan melalui penggusuran di Jakarta

Krisis perubahan iklim juga dirasakan oleh perempuan nelayan, seperti misalnya yang dihadapi Asmania yang hidup pulau Pari, Kepulauan Seribu. Krisis yang terjadi di Teluk Jakarta adalah dampak pertama yang dirasakan para nelayan pulau Pari  karena makin tidak jelasnya kapan musim timur dan musim barat. Arah angin dan arus laut yang menentukan pasang surut air laut, menjadi tidak menentu, sehingga nelayan sulit mendapatkan ikan.

Belum lagi persoalan “kiriman sampah” dari Jakarta yang dibawa oleh air laut yang semakin mengurangi tangkapan nelayan. Tak hanya itu, masuknya investasi swasta sebagai upaya privatisasi pulau Pari menyebabkan konflik lahan. Masyarakat setempat yang merasa dirugikan dan tertipu oleh tindakan oknum tertentu, melakukan perlawanan. Akibatnya, banyak penduduk di pulau Pari yang mempertahankan lahannya, mengalami kriminalisasi. Pada akhirnya, perempuan lah yang menjadi tulang punggung atau pencari nafkah utama keluarga

Dinda menyatakan bahwa di Jakarta, berbicara perubahan iklim erat kaitannya dengan industri yang menggunakan bahan bakar fosil, serta erat kaitannya dengan  investasi dan pembangunan infrastruktur.

DKI Jakarta telah memiliki Rencana Aksi Daerah (RAD) mengenai upaya mitigasi dan adaptasi untuk mengatasi perubahan iklim. DKI Jakarta  juga sudah menerbitkan kebijakan pengarusutamaan gender tahun 2012. Oleh karena itu, seharusnya dalam implementasi pembangunan oleh pemerintah Jakarta penting untuk melihat, mendengar dan mempertimbangkan pengalaman perempuan, termasuk pengembangan ruang terbuka hijau (RTH).

Pemerintah DKI Jakarta selama ini belum banyak melibatkan perempuan, baik dari  instansi pemerintah maupun organisasi perempuan untuk mendiskusikan upaya menghadapi perubahan iklim. 

Perempuan juga tidak dilibatkan dalam membuat keputusan dalam merancang atau membuat perencanaan di dalam Ruang Terbuka Hijau (RTH). Hal ini memperlihatkan pemerintah DKI Jakarta belum responsif gender dalam membangun kebijakan dan aksi-aksi  perubahan iklim

Jadi isu perubahan iklim bukan cuma soal perubahan gaya hidup seperti mengganti sedotan plastik ke sedotan besi, atau mengganti tas belanja plastik ke kertas atau kain yang menjadi salah satu program Pemerintah DKI Jakarta. Masih ada persoalan banjir, penggusuran, minimnya ruang terbuka hijau, konflik lahan, sampah yang tak terkendali yang menjadi pekerjaan rumah Pemerintah DKI Jakarta

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

Donna Swita

Sehari hari aktif di Institute for Women's Empowerment (IWE) dan Aksi for Gender Social and Ecological Justice
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!