Melihat Tulisan Kartini Dalam Mengkonsep Gerakan Perempuan Indonesia

Bagi saya, Kartini adalah salah satu konseptor gerakan perempuan di Indonesia. Sebagai perempuan, Kartini berdiri tanpa dukungan banyak pihak. Ia tidak memiliki alat untuk mewujudkan konsep pemikirannya. Melalui tulisan-tulisannyalah Kartini kemudian menyebarkan pentingnya kepedulian terhadap hak dan peran perempuan Indonesia

Gerakan perempuan di Indonesia masih sangat terbatas jumlahnya bila dijumpai dalam karya tulis kala itu. Meminjam pernyataan feminis, Helene Cixous sangat penting bagi perempuan untuk menyuarakan pengalaman yang telah dialaminya

Berdasarkan teori ini, saya ingin menuliskan bagaimana situasi ini juga dialami oleh tokoh perempuan Indonesia, Kartini yang dalam sejarahnya merupakan perempuan pertama yang menulis pengalaman pribadinya tentang adanya ketimpangan antara laki-laki dan perempuan di dalam adatnya. Dari tulisan-tulisan Kartinilah pemikiran gerakan perempuan dan perjuangan perempuan dimulai.

Pemikiran kartini dilatarbelakangi oleh beberapa faktor:

1.Feodalisme di Pulau Jawa yang mempengaruhi segala bidang kehidupan rakyat, juga hidup Kartini dan lingkungannya.

Terlebih perempuan, feodalisme memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam hal kedudukan prempuan saat itu. Perempuan tidak ada artinya bagi kaum feodal yang dulu mewujud dalam kebijakan di lingkungan rumah dan tempatnya tinggal. Para perempuan dianggap tidak mempunyai peran sebab pada sistem feodal, pendidikan hanya diperoleh laki-laki dan keluarga bangsawan.

2.Imperialisme modern

Kondisi imperialisme modern di Indonesia sendiri telah masuk sejak tahun 1870 yakni pasca undang-undang agraris dan undang-undang tanaman tebu de waal. Saat itu masuklah modal partikelir di Indonesia, pabrik gula dimana-mana, kebun-kebun teh, ordernemimg-ondermening tembakau, modal partikelir yang membuka macam-macam perusahaan tambang, kereta api, trem, kapal, dan pabrik-pabrik lainnya.

Dengan dihapuskannya tanam paksa pada periode ini menjadikan perkebunan jatuh ke tangan partikelir dengan peraturan modern, dan perusahan-perusahaan inilah yang menjabi bibit-bibit yang melahirkan kapitalisme. Saat itu muncullah kelas proletar di Indonesia. Dan salah satu dari kaum Proletar ini tak lain adalah Mardiono, mandor pabrik gula, bapak Ngasirah atau Kakek dari Kartini.

3.Politik etis

Sejak dari leluhur Kartini pun telah memberikan minat yang besar terhadap ilmu pengetahuan. Kakeknya, Ario Tjondronegoro adalah seorang bupati pertama yang memberikan pendidikan kepada putra-putranya. Pada tahun 1902 hanya ada 4 orang Bupati yang pandai menulis dan berbahasa Belanda salah satunya R.M. Ario Sosroningrat (bupati Jepara, ayah Kartini).

Putra-putra Ario Tjondronegoro adalah generasi pertama pribumi yang menerima pendidikan Barat, dan menguasai bahasa Belanda dengan sempurna. Dan Kartini pun juga mencicipi pendidikan ini. Sedang pada masa itu ujian sekolah Bumi Putera atau Sekolah Melayu Gubermen hanya bisa diikuti oleh laki-laki saja. Dan perempuan yang pertama kali berhasil lulus sekolah ini adalah adik kartini, Raden Ajeng Sumantri.

4.Faktor adat

Faktor yang terakhir adalah adat. Kartini mengkritik budaya pingitan, kawin paksa, poligami, dan pembodohan. Karena adat tersebut, posisi perempuan di masa Kartini terpaksa dibatasi dalam 2 peran yaitu sebagai aset yang harus ditingkatkan kualitas hidupnya, dan yang kedua sebagai pemuas kebutuhan biologis dan sarana prokreasi.

Dari dua peran ini membentuk pribadi perempuan yang nrimo dan pasrah. Dalam kondisi tersebut perempuan tidak mampu menangkap makna hidup yang hakiki, bahkan atas hidupnya sendiri. Hal inilah yang disebut Kartini sebagai pembodohan.

Tulisan Kartini, konseptor gerakan perempuan Indonesia

Kutipan-kutipan surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar menunjukkan benih-benih nasionalisme Kartini yang sangat kuat, kesetiakawanan melintasi ras, etnis, dan agama. Kartini yang hidup dalam masyarakat yang bersendikan feodalisme, pertama-tama memahami dasar demokrasi bagi perjuangan nasional dan perjuangan perempuan. Kartini berpendapat seyogyanya perempuan terdidik harus mampu berjuang untuk membela hak-hak perempuan sebagai manusia seutuhnya.

Semangat gerakan perempuan di Indonesia sebenarnya telah dirasakan jauh sebelum masa kemerdekaan, bahkan perjuangan tersebut ada sejak zaman kerajaan. Namun sebagian besar dari mereka belum tampil ke permukaan. Tokoh-tokoh perempuan seperti Cut Nyak Dien, Cut Mutia, Martha Crishtina Tiahahu, Nyi Ageng Serang merupakan sosok figur perempuan di wilayahnya masing-masing.

Kartini kemudian mengekspresikan dirinya dengan menulis. Hal yang dilakukan Kartini membuatnya semakin dikenal  ke dunia luar dan hasil pemikirannya dipelajari oleh generasi-generasi setelahnya hingga sekarang.

Hingga konsep-konsep yang dirumuskan oleh Kartini di kemudian hari diwujudkan oleh gerakan-gerakan perempuan seperti Putri Mardika (1912), Kartini Fonds (1913), Kautamaan Istri (1904), Kerajinan Amal Setia (1914), Gerakan Wanita Indonesia (GERWANI), Aisiyah (1917), Percintaan Ibu Kepada Anak Turunnya (1917), organisasi ini kemudian memberikan pendidikan kepada perempuan untuk terbebas dari berbagai persoalan yang membelenggu.

(Foto: Esportsnesia.com)

Rina Dewi Umayah

Aktif di Institute For Javanese Islam Research, Tulungangung, Jatim
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!