Dalam sebuah pertemuan keluarga yang tiba-tiba, pertanyaan ini seperti menghantam saya ketika saya ditanya:
“Kapan kamu akan berkeluarga?.”
Sebenarnya tidak cuma sekali, tapi pertanyaan yang sama sudah sering dilontarkan beberapakali, walaupun ini selalu membuat saya kaget dan tak siap. Ini semua adalah pertanyaan khas dari saudara-saudara saya. Semakin banyak bertemu saudara, semakin saya merasakan pusing untuk menjawabnya.
Pertanyaan kapan saya berkeluarga sebenarnya tak jauh dari pertanyaan: kapan kamu menikah?. Walaupun ini lebih halus, tapi sebenarnya ya sama saja artinya
Jika saya bilang bahwa keluarga adalah siapa saja yang hidup di sekitar kita, bisa teman, bisa saudara, pasti akan dijawab lagi dengan: “bukan itu maksudnya.”
Ketika saya bilang,” Mengapa semua orang harus berkeluarga?.”
Mereka malah menganggap saya punya pikiran yang rumit.Di zaman dulu, banyak orang meyakini bahwa keluarga itu terdiri dari ayah, ibu dan anak. Karena kalimat inilah yang selalu ada di buku-buku bacaan. Padahal dalam UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, keluarga adalah siapapun yang tinggal di dalam rumah. Bisa saja mereka teman baik kita, saudara atau siapapun yang tinggal di dalam rumah bersama kita
Itulah yang seharusnya saya terangkan ke semua orang yang bertanya tentang keluarga. Tapi untuk sekarang, menjawab siapakah keluarga, ini adalah sesuatu yang tak mudah untuk saya.
Sehari-hari saya tinggal bertiga dengan kawan-kawan perempuan saya, kami tentu saja sudah seperti saudara, bertahun-tahun dekat, berteman baik. Jika ada yang sakit, merekalah yang merawat. Maka layak khan jika saya menyebut mereka sebagai sebuah keluarga?.
Maka ketika ada yang bertanya: kenapa kamu tak berkeluarga, saya merasa bahwa saya sudah punya keluarga.
Tapi tetap saja, keluarga seperti yang banyak saya lihat, selalu diyakini sebagaimana tradisi selama ini, yaitu harus dibentuk melalui proses perkawinan, ada ayah dan ibu, lalu anak-anak yang lahir kemudian.
Padahal sudah seharusnya kita beranjak dari cara berpikir seperti ini. Bagi saya, lebih penting untuk menjawab pertanyaan kritis soal: apa yang terjadi dalam keluarga? Benarkah tradisi keluarga seperti ini harus turun-temurun? Bagaimana jika seseorang memilih bentuk keluarga yang berbeda?
Saya percaya bahwa semua perempuan sudah seharusnya mempunyai pilihan merdeka. Maka buat saya, jika konsep keluarga adalah ayah dan ibu dan anak-anak yang tidak menjadi pilihan semua perempuan, sudah seharusnya kita mulai memberikan alternatif pilihan-pilihan lain.
Bagaimana jika keluarga isinya hanya dua orang yang saling mencintai dan tanpa anak? apakah mereka mau menyebut ini sebagai sebuah keluarga?
Dan pertanyaan berikutnya: mengapa kita harus sibuk untuk mendapatkan legitimasi dari orang lain yang kita sendiri merasa tak pernah nyaman dengan pertanyaan ini?
Feminisme percaya bahwa keluarga adalah tempat mengorganisir yang sangat penting, karena disanalah semuanya bisa dilihat: apakah laki-laki mendominasi dalam keputusan keluarga? Apakah perempuan atau ibu terlalu didominasi? Apakah anak-anak mempunyai ruang pilihan? Namun jika ada dominasi, disanalah letak persoalannya. Jadi disitulah inti pertanyaannya, dengan siapapun kita memilih untuk berkeluarga.
Lebih baik jika semua orang menghormati argument-argumen yang berbeda, perdebatan kritis tentang definsi keluarga, dan menghormati pilihan-pilihan perempuan.
(Foto/ ilustrasi: Pixabay)