Sebuah Kegelisahan Fresh Graduate Terhadap Akun Curhat Karyawan di Sosmed

Generasi fresh graduate pandemi, alias sarjana yang lulus di masa pandemi. Itulah yang bisa mendeskripsikan saya saat ini, lulus hanya satu bulan sebelum pandemi. Rasanya nano-nano, padahal baru saja lega sudah lepas dari universitas, tapi dipertemukan lagi dengan tekanan berupa pandemi.

Sebagai seseorang yang akan terjun ke dunia kerja, saya butuh banyak pencerahan. Kebetulan saat itu—dan sampai sekarang—akun sambat yang membeberkan fakta-fakta dalam dunia kerja kian naik daun, ramai dibicarakan di media sosial.

Akun-akun—yang mungkin tidak perlu saya sebutkan lagi username-nya ini membagikan berbagai macam informasi. Mulai dari informasi yang sangat dibutuhkan (saya senang sekali ketika mereka memberikan kiat-kiat lolos wawancara kerja dan semacamnya, terutama setelah saya gagal dalam wawancara kerja pertama saya setahun yang lalu) hingga informasi yang bisa  membuat cemas berujung overthinking.

Mereka dengan berani mengungkap sisi gelap dari dunia kerja, bahkan tak jarang info-info gelap ini berfokus pada industri tertentu. Keberadaan akun-akun membuat saya bertanya: seburuk itukah perusahaan di Indonesia memperlakukan pekerjanya? Apa tidak ada kemungkinan hal ini akan membaik dan bisa memperbaiki nasib karyawannya?

Pertanyaan selanjutnya adalah: lalu mengapa sebagian orang memilih bertahan bekerja di tempat yang membuatnya tidak nyaman? Dualisme ini selalu hinggap di pikiran-pikiran saya yaitu selalu ada pekerja yang harus bertahan bekerja di tempat yang buruk hanya demi sesuap nasi. Untuk alasan ekonomi.

Sarjana muda seperti saya tentu sangat membutuhkan informasi ini, apalagi jika tidak memiliki satu orang pun di sekitarnya yang bisa menuntunnya. Menjadi anak pertama yang tidak memiliki pendahulu, serta orang tua yang jarang meluangkan waktu untuk membicarakan masa depan anaknya karena terlalu sibuk, misalnya. Walaupun tak selalu begitu, karena saya sebagai anak bungsu tetap merasa perlu mengikuti akun-akun ini.

Di sisi lain, saya ingin mengucapkan selamat kepada akun-akun tersebut karena keberadaan mereka berhasil masuk ke dalam daftar hal-hal yang saya cemaskan. Hore! Fresh graduate dan jobseeker lain bisa jadi merasakan hal yang sama. Tolong yakinkan saya kalau saya memang benar-benar tidak sendirian. Bagaimana tidak, jika kita terlalu fokus dengan branding perusahaan, boleh jadi kita akan termakan bualan drama korea.

Karena selama ini banyak perusahaan yang memanfaatkan media sosial untuk mengenalkan budaya kerjanya. Mereka dengan bangga menunjukkan kantornya yang bergaya modern dan mengusung suasana fresh. Di dalamnya, tersedia fasilitas olahraga agar karyawannya tetap bugar walau harus kerja lembur tanpa kenal waktu. Tidak sempat sarapan di rumah karena malas masak juga bukan jadi masalah. Soalnya, perusahaan ini sudah siap menemani sarapan dengan cemilan ringan atau cemilan berkuah hangat seperti mie instan. Wah, sepertinya sangat memperhatikan wellness karyawannya, ya. Semuanya selalu dalam nada yang positif, seolah mencari nafkah itu selalu se-menyenangkan itu.

Sementara itu, akun-akun ini lebih suka memberikan “teh panas” daripada kuah mie instan. Realita dunia kerja tidak sebanding dengan kenikmatan main gim di kantor sepuasnya, pikir saya setelah berkunjung ke akun-akun curhat karyawan ini. Percuma saja bisa tidur dengan nyaman di atas bean bag kantor kalau… ah, sudahlah, tidak perlu dilanjutkan.

Bagaimanapun juga, saya tidak bisa berbohong pada diri sendiri: Apa yang membuat saya takut akan tetap membuat saya takut jika saya belum merasakannya sendiri. Saya sangat senang para karyawan di Indonesia begitu kreatif untuk membuka ruang diskusi ini, sehingga banyak orang merasa lega karena rasa penat sudah dicurahkan dan ditanggapi banyak orang. Banyak orang lain di luar sana yang terbantu dengan diskusi tersebut, serta informasi lowongan kerja yang tak jarang mereka bagikan.

Akhir kata, saya ingin berterima kasih kepada pemilik akun-akun tersebut karena telah memberikan perasaan campur aduk. Di samping itu, saya harap selain curhat di akun sambat, para pegawai yang menyumbang curhatan—mungkin juga saya di kemudian hari—punya kesempatan untuk berkontribusi menciptakan budaya kerja yang lebih sehat. Atau, mungkin lebih menyenangkan lagi kalau perusahaan bisa mengambil aksi, supaya nggak menjadi target sambat para pegawainya.

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

(Tulisan ini merupakan program KEDIP/ Konde Literasi Digital Perempuan www.konde.co bekerjasama dengan www.plainmovement.id, program berbagi pandangan personal dan perjuangan perempuan dalam berliterasi melalui media digital)

Firza Aliya A.

Penulis Plain Movement
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!