Toxic Relationship It’s Not Okay

Aktris, Ayushita pernah mendengar cerita tentang toxic relationship. Ada perempuan yang jika pacaran harus laporan dulu, dia mesti pakai baju apa hari ini, kalau tidak laporan, nanti ditanya pacarnya: kok tidak laporan hari ini?. Ini merupakan ciri-ciri hubungan yang toxic

Jihan, aktivis LBH Jakarta, pernah mengalami hal yang mirip seperti itu, ia merasa seperti terjebak dalam relasi yang rumit. Jihan pernah punya pacar yang memaksanya untuk selalu berdandan. Padahal sebenarnya ia tidak suka berdandan, tapi ia harus melakukan tindakan terpaksa ini karena pacarnya meminta dia terus berdandan.

Ada banyak perempuan lain yang juga terjebak dalam hubungan yang sama, seperti harus berubah menjadi orang lain yang disukai pasangannya. Inilah sebenarnya yang disebut sebagai salah satu hubungan yang toxic relationship.

Hasna Safira di www.konde.co pernah menuliskan soal ini. Apakah toxic relationship? Toxic relationship merupakan sebuah situasi dimana sebuah hubungan personal yang awalnya dimulai dengan berlandaskan cinta, namun kemudian malah membawa energi negatif keduanya

Hubungan ini bisa disebut sebagai hubungan yang bersifat racun atau toxic. Situasi tersebut biasanya melibatkan rasa melelahkan, sebuah hubungan seharusnya menciptakan rasa bahagia dan produktif, namun hubungan yang beracun ini selalu menguras tenaga dalam bentuk mental, emosi dan psikis.

Tidak adanya rasa menghargai diantara keduanya, padahal rasa menghargai adalah salah satu pondasi untuk membangun hubungan yang sehat. Adanya pihak yang mendominasi pihak lainnya, hubungan semacam ini sangat membahayakan bagi perempuan karena dapat memberi pengaruh dan emosi negatif yang beresiko pada tindakan yang kasar hingga kekerasan seksual.

Hubungan yang toxic ini kemudian menjadi ciri-ciri hubungan yang tak sehat.

Kata toxic relationship merupakan kata yang sangat popular saat ini, Inez Kristanti, seorang clinical psycholog lebih memilih menyebut hubungan toxic relationship atau hubungan toksik sebagai hubungan yang tak sehat. Contoh hubungan yang tak sehat salah satunya adalah hubungan yang abusive atau yang mengandung kekerasan

“Saat ini mulai banyak yang bicara tentang hubunganku toksik, pacarku toksik, orangtuaku toksik, ini artinya orang sudah mulai terbuka dengan hubungan yang tak sehat,” kata Inez Kristanti

“Sebelumnya, biar kita memiliki pemahaman yang sama. Aku lebih milih untuk menyebut hubungan yang sehat dan hubungan yang tidak sehat atau  hubungan yang abusive. Karena menurutku, lebih jelas perbedaannya,” tutur Inez.

Menurut Inez, kalau dibagi menjadi beberapa spektrum, misalnya yang kanan sehat sementara yang kiri abusive. Jadi kalau hubungannya sehat, maka ditandai dengan adanya kesetaraan dan penghormatan, komunikasi, kepercayaan dan kejujuran. Sedangkan hubungan yang tidak sehat atau abusive itu selalu ada tekanan, pasangan yang tak menghargai perasaan pasangannya, mengontrol.

“Nah sementara itu, kalau sudah mengarah ke hubungan yang tidak sehat, biasanya akan ada usaha-usaha untuk mengontrol pasangan, ada masalah dalam komunikasi, adanya tekanan, dan perilaku kurang menghargai pasangan. Tapi mungkin belum sampai ke abusive,” tambah Inez.

Walaupun banyak hubungan yang sudah abusive, yaitu hubungan yang ada power dan kontrol terus-menerus, pasangan yang satu selalu disalahkan, dimanipulasi, satu pihak selalu disalahkan

“Kalau abusive didasari dengan ketidaksetaraan kekuatan dan kontrol yang jauh di atas yang lainnya. Nah, itu dua kata penting yang harus digaris bawahi. Mungkin salah satu pihak memiliki kekuatan dan kontrol yang jauh di atas yang lainnya, sehingga hubungan itu sudah menjadi sangat tidak setara, adanya tuduhan terus-menerus, merasa dipersalahkan, adanya isolasi, dan manipulasi,” kata Inez.Ayushita, Inez Kristanti mengungkapkan hal ini dalam diskusi pada 5 Maret 2021 yang diadakan LBH Jakarta dengan topik“Kaum Milenial: Toxic Relationship dan Kekerasan pada Perempuan” yang diselenggarakan secara daring. Diskusi dimoderatori oleh Jihan.

Ayushita, menyatakan setuju kalau penggunaan kata toxic relationship itu sekarang jadi lebih umum diucapkan, orang jadi mudah mengenalinya. Dan Ayushita juga setuju bahwa hubungan toksik ini tak hanya hubungan yang kita temui secara tatap muka, tapi juga bisa terjadi di media sosial

“Sebenernya jadi terlalu luas ini spektrumnya. Jadi misalnya, kita berteman dengan seseorang di sosial media, dan mungkin teman kita ini sering sekali marah-marah misalnya di insta story atau di feed gitu, itu kan juga sebuah bentuk toxic karena hari-hari kita jadi gak nyaman. Itu kan juga sudah masuk toxic ya,” tambah Ayushita

Ayushita melihat hubungan yang tidak sehat biasanya cenderung ke arah dominasi, yaitu satu orang posisinya lebih tinggi dari yang lain.

Walaupun ia melihat, kadang masih banyak yang ambigu dan ia juga sering bertanya-tanya: apakah ini toxic ataukah tidak?. Ini misalnya terjadi pada pasangan yang lagi berantem, nanti akan dibilang itu namanya bumbu-bumbu dalam percintaan, nanti kalau habis berantem jadi makin deket. Padahal bisa saja ini adalah toxic.

Hal tersebut sudah sangat umum ditemui, sementara kita tidak mengetahui takaran normalnya sampai seberapa dan seperti apa sebenarnya bumbu-bumbu pacaran tersebut

“Lagipula itu juga dua kepala yang berbeda, wajar kalau ada perbedaan pendapat atau berantem. Tapi, kalau masih dalam batas normal. Intinya yang tidak sampai membuat salah satunya merasa terintimidasi,” tutur Ayushita

Sementara kalau membicarakan soal hubungan yang sehat itu misalnya, saat kita lagi berjauhan dengan pasangan, kita tetap merasa aman karena ada kepercayaan di antara berdua.

“Jadi sebenernya memang terlalu luas kalau ngomongin soal toxic relationship ini sih.  Makanya kadang-kadang banyak orang-orang yang tidak sadar kalau dirinya berada di tengah-tengah toxic relationship,” tutur Ayushita

Dalam hubungan harusnya selalu ada trust atau saling percaya. Ada banyak orang yang tak sadar jika mereka terjebak dalam hubungan toxic relationship.

“Kita bisa mengatakan bahwa kita bisa jadi diri sendiri dan tidak terpaksa melakukannya, ini yang penting.”

Seperti apa toxic relationship?

Inez Kristanti mengatakan bahwa dalam sebuah hubungan kadang memang ada keinginan untuk mengubah dan pasangannya harus mengerti, namun itu tidak dibenarkan jika sudah menjadi kekerasan.

“Karena kadang ada ruang untuk menyesuaikan diri, namun jika sudah melakukan kekerasan, ini yang harus ditolak.”

Komunikasi merupakan kalimat yang pas untuk menguatkan dan menjadikan relasi menjadi positif karena relasi mestinya saling menguatkan satu sama lain.

Inez memberikan sejumlah hubungan yang mengarah pada toxic relationship, antaralain:

1.Apapun yang kita lakukan harus laporan ke pasangan kita

2.Dia merendahkan kita terus-menerus

3.Dia mengatur, melarang dan mengontrol semua yang kita lakukan termasuk mengontrol sosial media, email, dll

4.Kita merasa insecure atau tidak nyaman dengan pasangan kita karena pasangan kita membuat kita dalam posisi tidak nyaman

5.Cemburu yang tidak beralasan dan ekstrim, emosi yang meledak-ledak dan kasar, ini merupakan perlakuan buruk dan toxic

6.Dia mengisolasi kita dari teman dan keluarga

7.Dia posesif

8.Dia mengajak berhubungan seksual yang tidak kita inginkan

9.Dia mengancam

Inez dan Ayushita mengakui bahwa berelasi di zaman sekarang, godaannya memang makin banyak, banyak yang membuat kita tidak happy misalnya tiba-tiba kita bisa cemburu di media sosial

“Mestinya hal-hal seperti ini dihindari dan mengingat bahwa relasi tujuannya adalah untuk happy. Tapi inipun tergantung pasangan kita, apakah ia juga punya pandangan yang bisa disatukan tentang ini,” kata Ayushita

Berteman dengan banyak orang dan banyak organisasi bisa membuat kita banyak diskusi dan mencari solusi, karena menerima pertolongan dengan orang yang tepat akan membuat kita merasa diayomi dan diselamatkan. Maka yang dibutuhkan adalah ruang yang membuat perasaan kita merasa nyaman

(Foto/ ilustrasi: Pixabay dan Ayushita: Facebook)

Brigitta Audrey

Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara, Jakarta
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!