Broken home. Itulah label yang kerap disebut orang-orang pada keluarga saya. Saya terlahir tetapi terbuang dari kedua orangtua saya. Sejak kecil, saya diasuh oleh bude atau tante dari ibu saya. Kami tinggal di sebuah kota kecil, di Pacitan.
Bude, alias ibu asuh saya, adalah seorang janda miskin. Kebetulan ia memiliki seorang putri yang usianya tidak jauh berbeda dengan saya. Untuk menghidupi kami berdua, bude bekerja serabutan. Ia rela mengerjakan apa saja asal kami bisa bertahan hidup.
Dulu, ada banyak priyayi di lingkungan tempat kami tinggal. Jika disesuaikan dengan bahasa saat ini, priyayi itu seperti kaum terpelajar dan mampu. Bude, bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT) di tempat para priyayi itu dari pintu ke pintu. Saya tahu pasti begitu berat perjuangan bude untuk menghidupi kami. Pernah saya berjanji dalam hati kecil, saya harus sekolah karena tidak mau menjadi PRT.
Namun, saya sedih. Setelah lulus sekolah dasar, bude meminta saya untuk tidak melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP), sebab ia tidak lagi mampu membiayai uang sekolah saya. Untungnya, ada keluarga tetangga kami yang meminta saya untuk menjadi PRT di rumahnya. Imbalannya, saya disekolahkan. Dengan senang hati, saya terima tawaran itu.
Saat itu, umur saya 12 tahun. Saya bekerja dari pagi sampai siang hari dan siangnya berangkat ke sekolah di SMP PGRI.
Waktu terus berlalu. Kurang lebih tiga tahun sudah saya bekerja di keluarga itu. Setelah lulus SMP, malangnya saya kembali tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Majikan saya mengaku tidak lagi mampu menyekolahkan saya karena ia harus membantu biaya sekolah adiknya. Saya sedih dan kecewa karena harus menerima kenyataan itu.
Namun, saya terus berusaha. Saya lalu pergi ke Surabaya, tempat di mana ibu kandung saya berada. Harapannya, saya bisa melanjutkan sekolah dengan dibiayai oleh orangtua saya. Namun, harapan hanya tinggal harapan. Ibu kandung saya tidak senang melihat saya datang, terlebih untuk menyekolahkan saya. Lagi, dengan perasaan sedih dan teramat kecewa, saya menyesal telah mendatanginya.
Akhirnya, saya memutuskan untuk bekerja dari pabrik ke pabrik, dari toko ke toko, untuk memenuhi kebutuhan hidup saya.
Pada usia 20 tahun, saya memutuskan menikah. Saya berharap suami saya bertanggung jawab dan menyayangi saya, karena selama 20 tahun dalam kehidupan saya, belum ada lelaki yang menyayangiku dengan tulus.
Takdir berkata lain. Saat pernikahan saya menginjak tahun kedua, dengan dua orang putri anak kami, suami saya tidak bertanggung jawab. Hidup kami terlunta-lunta, dihina dan dicaci maki oleh keluarga dari pihak suami saya.
Pada saat putri sulung saya mencapai usia 3,5 tahun, dan putri kedua berusia 1,8 tahun, saya memutuskan untuk pulang ke rumah bude saya di Pacitan. Namun, rasa trauma mendalam yang bude rasakan membuat ia tidak lagi mau menampung kami.
Saya sempat putus asa, tetapi kemudian ada saudara yang berbaik hati dan bersedia menampung kami. Saya pun disarankan oleh ibunya Mbak Artin untuk menemui anaknya di Jakarta. Ibunya bilang hidup Mbak Artin terjamin ketika bekerja sebagai PRT.
Awal tahun 1990, saya ke Jakarta mencari Mbak Artin. Anak-anak saya titipkan pada saudara di Pacitan. Sudah berpuluh-puluh tahun tidak bertemu dengan Mba Artin, ketika bertemu, ia sangat kaget melihat saya. Saya mengutarakan maksud untuk mencari pekerjaan di Jakarta kepadanya. Ia mengatakan bahwa ia tidak yakin kalau saya mau dan bisa menjadi PRT. Namun, ia tetap mencarikan saya pekerjaan.
Awalnya, ia mempertemukan saya dengan orang setempat di Komplek Pertamina. Setelah 3 bulan, saya berpindah ke orang lain yang bekerja di Country Wood Estate, teman dari majikannya Mbak Artin yang mencari PRT.
Dengan rasa senang campur takut, saya mencoba bekerja dengan warga negara asing. Saat itu, majikan saya orang New Zealand. Gaji saya saat itu masih kecil, tetapi saya senang karena majikan memahami kondisi saya yang baru mulai bekerja dan belum bisa berbahasa Inggris. Majikan selalu memberi saya semangat. Ia mengatakan bahwa suatu saat saya pasti bisa.
Setelah 6 bulan bekerja dengannya, majikan kembali ke New Zealand saat liburan musim panas. Ia menyuruh saya membawa salah satu dari putri saya, berumur 3,5 tahun, ke Jakarta dan tinggal di rumahnya selagi saya bekerja.Mulai sejak itu, saya yakin bekerja sebagai PRT, kehidupan saya dan anak-anak pasti akan membaik. Saya yakin saya pasti bisa membiayai kehidupan dan pendidikan anak-anak saya dengan layak.
Seiring waktu, ekonomi saya semakin baik sejak menjadi PRT. Namun, tidak begitu pula dengan rumah tanggaku. Setelah tahu saya bekerja, suami mencari dan mengajak saya bersatu kembali dengan segala janji manisnya. Tak lama, kami pun memiliki putri ketiga. Namun janji hanyalah janji. Setelah saya bisa mencari nafkah sendiri, suami saya semakin tidak bertanggung jawab dan egois. Jika sedang marah, ia bisa meninggalkan kami selama berbulan-bulan bahkan tahunan tanpa nafkah lahir dan batin.
Meski begitu, saya memilih tetap fokus untuk menghidup ketiga putri saya. Mereka harus punya kehidupan dan pendidikan yang lebih baik dari saya. Alhamdulillah dengan keyakinan dan kemampuan yang saya miliki, putri-putri saya dapat tumbuh dewasa dengan baik.
Setelah lulus SMA, putri pertama saya bekerja sambil kuliah sehingga bisa membantu meringankan saya membiayai pendidikannya. Sembari menghidupi mereka, saya juga memberi sebuah rumah dengan cara mencicil. Alhamdulillah, kini rumah telah lunas.
Putri pertama dan kedua saya kini telah lulus kuliah S1 pada tahun 2010 dan 2014. Putri bungsuku saat ini sedang menyusun skripsinya. Saya bertahan dengan situasi kondisi rumah tangga yang tidak sehat selama 28 tahun. Saya berharap putri saya tahu dan paham mana yang baik dan benar.
Pada tahun 2015, saya memutuskan untuk bercerai dengan suami.Tahun 2019, saya menikah dengan laki-laki yang saya sukai. Namun, itu tidak berlangsung lama. Pada usia pernikahan satu tahun, suami saya meninggal dunia. Saya sedih sekali. Putri-putri saya dan 4 cucu saya lah yang menghibur saya sampai akhirnya kesedihanku berkurang.
Saya belajar, apa pun latar belakang kehidupan kita, kita harus bangkit. Teruslah berpikir positif dengan apa yang kita jalani. Sebagai PRT dengan segala keahlian, kita harus yakin dan memotivasi diri kalau kita akan bangkit dari keterpurukan.
(Foto/ ilustrasi: Pixabay)
“KEDIP atau Konde Literasi Digital Perempuan”, adalah program untuk mengajak perempuan dan kelompok minoritas menuangkan gagasan melalui pendidikan literasi digital dan tulisan. Tulisan para Pekerja Rumah Tangga (PRT) merupakan kerjasama www.Konde.co dengan Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT)