Beragamnya Makanan Saat Lebaran; Jangan Remehkan Peran Perempuan

Ada opor ayam, sambal goreng ati, buras dan semur daging di saat lebaran. Beragamnya makanan saat lebaran tak pernah lepas dari peran perempuan dalam memelihara dan mengelola tumbuhan menjadi makanan. Makanya jangan remehkan peran perempuan yang mengelola dan memperjuangkan makanan

Devi Fitriana menuliskan status di media sosialnya tentang beragamnya makanan saat lebaran dan sedihnya tinggal di perantauan, ini artinya ia tak bisa pulang saat lebaran dan hanya bisa merasakan makanan sebagai pengganti rasa kangennya pada rumahnya:

“Lebaran tahun ini sama dengan lebaran tahun lalu. Kami tidak mudik dan hanya masak opor dan sambal goreng ati. Namun tahun ini ada yang berbeda, kami dikirimi tetangga masakan khas Makassar dan Kalimantan, namanya Buras dan Dendeng Balado pedas. Jadinya cukup bervariasi menu di meja makan pada Idul Fitri hari pertama ini, ada kolaborasi masakan menu lebaran dari Semarang yaitu opor dan sambel goreng ati, Betawi sayur ketupat, dan ada dari Makassar dan Kalimantan buras & dendeng balado pedas.”

Makanan lebaran ternyata tak hanya lontong dan opor. Liputan6.com menulis ternyata ada banyak sekali makanan lebaran nusantara seperti gulai nangka dari Medan, Barongko kue Bugis dari Makassar, Lemang Lepat dari Pontianak, Gulai Kurma dari Aceh, Ayam Woku dari Manado dan Semur daging dari Betawi

Sejarawan JJ Rizal, dalam sebuah acara TV pernah mengungkap bahwa makanan Indonesia adalah makanan yang diramu dengan berbagai bumbu. Ini menunjukkan bahwa makanan Indonesia mempunyai cita rasa yang diramu dari berbagai daerah di Indonesia, atau yang kemudian disebut makanan nusantara. Hasilnya adalah keberagaman rasa, perpaduan antara rempah yang banyak macamnya, kelapa santan dan banyak rasa lainnya yang tercampur dalam makanan.

Makanan dalam sejarahnya memang tak pernah lepas darimana ia dihasilkan, siapa masyarakat yang meramunya dan bagaimana kemudian ia diperkenalkan. Makanan juga tidak pernah terlahir secara tunggal, namun datang dari berbagai pengaruh yang datang ke Indonesia, ada persoalan ekonomi dan politik, juga soal kekuasaan.

Dalam perjalanannya, makanan kemudian telah mengalami perubahan zaman. Dalam konsep kapital, ada strategi rasa sekaligus strategi penyajian. Opor dan sayur yang dihidangkan pada saat lebaran ini juga tak lepas dari sejarah makanan di Indonesia. Makanan yang dipenuhi dengan rempah-rempah pada saat lebaran ini menjadi bukti tentang perjalanan sebuah tradisi, dari perjalanan rempah-rempah ini, kita juga bisa melihat peristiwa penjajahan yang dulu dilakukan di masa kolonial terhadap bangsa Indonesia, bagaimana Indonesia mempertahankannya dan kemudian penyebaran ramuan rempah-rempah itu hingga kini.

Kami meyakini bahwa makanan selalu tak bisa lepas dari zaman, strategi, pengiriman hingga siap untuk dihidangkan. Para perempuan di tempat kami tinggal makin yakin bahwa makanan bisa memperkuat persaudaraan dan nilai silaturahmi, namun bisa juga bernilai kapital ketika makanan kemudian dikuasai oleh kapitalisme, kepentingan pengusaha besar dimana masyarakat penghasil makanan hanya bisa menjadi penonton saja.

Menjadi penonton saja ini banyak terjadi pada perempuan. Ini tentu bukan karena perempuan adalah pengelola makanan dan kemudian harus di stereotipe kan sebagai orang yang hanya bisa mengelola makanan, namun justru perempuan adalah orang yang berjuang dalam mengelola makanan, berjuang melawan kekuasaan, patriarki yang dengan serakah menguasai makanan untuk kepentingan mereka

Dalam perjuangan ini, perempuan yang dikenal sebagai subyek penghasil makanan lalu kerap hanya menjadi obyek dari pertumbuhan rantai kapitalisasi makanan, hal ini juga terpapar dalam riset “Mama ke Hutan: Perempuan Papua dalam Kecamuk Sumber Daya Alam” yang diselenggarakan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat pada 12 April 2021 melalui daring. Mempertahankan lahan dan sumber makanan, ternyata bukan perkara mudah di Papua. Mereka mengalami ancaman pembunuhan, ancaman verbal dan fisk, mekanisme tidak adil dan perlakuan diskriminasi terhadap perempuan ketika ingin mempertahankan makanan.

Padahal bagi perempuan di Papua, hutan adalah ruang hidup bagi perempuan, ada obat-obatan dan tanaman yang bisa dikelola dan dimakan disana, juga terdapat siklus kerja produktif dan reproduktif untuk perempuan yang berhubungan dengan pengelolaan makanan

Sejarah tentang hutan dan perempuan di Papua telah berubah ketika perempuan tak bisa lagi mengelola hutan. Sejak ada perusahaan yang masuk kesana, fungsi perempuan berpindah dari peramu menjadi buruh upahan. Jadi ketika hutannya diambil, maka ini dengan sendirinya menyingkirkan perempuan, mereka terlempar sebagai buruh upahan, rentan ancaman kekerasan seksual.

Padahal dalam konsep ekofeminisme, perempuan adalah orang yang berpikir keras bagaimana mengusahakan makanan dalam keluarga. Tak hanya itu, perempuan juga mengusahakan dan menanam alam sekaligus menyuburkannya.

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mencatat ketika ada satu krisis lingkungan yang hebat misalnya banjir, bencana alam atau sumber makanan yang dikuasai oleh pengusaha-pengusaha yang membuat masyarakat tersingkir dari hidupnya, para perempuan segera mengubah jenis tanaman dan tetap berjuang untuk menghasilkannya bagi keluarga.

Khalisah Khalid dari Walhi pernah mengungkap bahwa pengelolaan perempuan dalam pengelolaan makanan dan sumber daya alam sudah terjadi sejak dulu kala. Para perempuan paham kapan waktu untuk menanam, kapan waktu untuk memetik dan bagaimana melakukannya ketika krisis. Karena gerakan ekofeminisme memang mencuat ketika ada relasi yang kuat antara perempuan dan sumber daya alam.

Dari sini kami menjadi tahu satu hal, siapa orang yang selama ini selalu mengiringi dalam silaturahmi yang kami bangun? Jawabannya adalah perempuan. Karena perempuan selalu mempunyai banyak cara untuk mengusahakan, mengelola dan memelihara tanaman dan makanan, makanan selalu menjadi penghantar, menjadi ruang untuk mengumpulkan orang, juga saat lebaran

Jadi, saat ini yang harus diperjuangkan adalah bagaimana perempuan bisa mengelola tumbuhan dan makanan dan tak membiarkan perempuan hanya sebagai penonton saja, sedangkan makanan dikuasai oleh kepentingan kapital

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!