Martini Menuntut Haknya; Jalan Panjang Korban Human Trafficking

Martini mendapat pelecehan, diraba-raba majikannya bahkan dipukul hingga kepalanya berdarah. Ia juga dipekerjakan di Libya, padahal harusnya bekerja di sebuah restoran di Turki. 3 tahun memperjuangkan kasusnya dan memenangkan di pengadilan, namun sampai kini ganti rugi tak didapatkan Martini

Martini adalah perempuan buruh migran asal Sukabumi, Jawa Barat yang menjadi korban human trafficking. Sudah tiga tahun menuntut haknya, walaupun pengadilan memenangkan kisahnya, namun hingga kini tak juga mendapatkan haknya

Kejadian yang menimpanya berawal ketika ia melamar pekerjaan sebagai pelayan restoran di Turki. Martini harus kerja di luar negeri karena mencukupi kebutuhan keluarganya. Namun ternyata, agen tenaga kerja menjerumuskan dan menipu Martini dengan menempatkannya di Libya sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT).

”Saya kaget ketika keluar dari Bandara, kenapa banyak sekali tantara,ya? Saya pikir saya langsung dibawa ke restoran tempat saya bekerja, ternyata saya mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Yang lebih kaget lagi, saya ternyata ada di Lybia, di negara perang, bukan di Turki,” Martini menyatakan ini dalam workshop yang diselenggarakan International Organization of Migration (IOM) yang diikuti Konde.co pada awal tahun 2021

Selama sekitar dua bulan bekerja, Martini tidak mendapatkan upah. Bahkan, permintaannya untuk pulang justru disambut dengan pukulan. Tak lama kemudian, Martini langsung disodori kontrak kerja oleh pihak agensi. Disitulah ia bersikukuh tidak mau menandatangani kontrak karena tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan oleh agensi kerjanya, Yolanda.

Setelahnya, Martini dimaki-maki oleh Walid, pihak agensi Libya karena sikap kritisnya itu. Tanpa gentar, Martini terus meminta untuk dipulangkan ke Indonesia. Di tempat penampungan, Martini terus berupaya menghubungi berbagai pihak yang bisa membantunya pulang ke Indonesia. Keterbatasan akses internet membuatnya tak bisa berbuat banyak.

Disitulah Martini kemudian mengalami masa-masa yang sulit, hidup di penampungan buruh migran dengan kondisi yang tidak layak bersama para tenaga kerja lainnya. Setiap malam, ia mendengar suara tembakan dan ledakan bom dibalik tembok penampungan. Bahkan, dua rekannya meninggal karena keracunan bubuk mesiu akibat ventilasi rumah penampungan yang tidak memadai.

Situasi tersebut tak membuat Martini menyerah begitu saja. Ia terus berupaya mencari akses internet agar bisa menghubungi keluarga dan pihak-pihak yang bisa membantunya pulang ke tanah air.

Dalam pencariannya itu, Martini kemudian dipekerjakan beberapa hari di toko kitchen set, hingga bekerja selama sebulan sebagai PRT tanpa digaji. Nasib Martini yang terkatung-katung tak berhenti sampai disitu. Pernah suatu kali pihak agensi menitipkan Martini di rumah salah seorang kerabat pemilik agensi, untuk menghindari sidak dari Kedutaan Besar Republik Indonesia/ KBRI Lybia. Di tempat itu Martini ternyata pernah mendapatkan pelecehan, diraba-raba majikannya bahkan dipukul hingga kepalanya berdarah.

Martini terus mencari akal bagaimana cara bisa menggunakan telepon atau internet, karena hanya inilah cara yang bisa ia lakukan untuk menghubungi saudara dan pergi dari tempat tersebut.

Suatu hari, di rumah salah satu majikan atau pemberi kerja disana, Martini mulai mengelabui majikannya dan bilang bahwa ia sedang sakit dan ingin meminjam telepon. Disitulah ia kemudian menghubungi KBRI di Lybia untuk meminta tolong. Namun KBRI tak mau menolongnya.  

“Saya bilang saya sedang sakit perut lalu mau pinjam telepon. Saya hubungi KBRI Lybia dan minta tolong, tapi oleh KBRI, saya malah disuruh bekerja saja dengan baik. Saya kecewa sekali.”

Akhirnya, ia menghubungi kakak iparnya. Kakak iparnya kemudian menghubungi Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dan meminta agak SBMI bisa membantu Martini untuk bisa pulang ke tanah air.

Sebulan berselang, setelah bertahan sekuat mungkin di tempat penampungan, Martini akhirnya bisa kembali ke tanah air dengan bantuan SBMI. Tepatnya pada 29 Oktober 2018. Setelah melalui perjuangan panjang, Martini kemudian berhasil lepas dari jerat rantai perdagangan orang.

Kasus Dimenangkan Martini, Namun Ganti Rugi Tidak Diberikan

Martini akhirnya menuntut agen tenaga kerja yang menjadikannya korban human trafficking. Kasus ini kemudian diputus Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada 19 Desember 2019. Pelaku sudah menjalani hukuman penjara, tetapi tidak memenuhi kewajibannya membayar restitusi sebagai sebuah hak dan perlindungan hukum bagi korban.

Berbagai upaya telah dilakukan Solidaritas Perempuan (SP) dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) bersama korban, termasuk melakukan audiensi    dengan Pengadilan Negeri (PN) dan Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Timur, Rabu 23 Juni 2021 kemarin.

Dalam audiensi tersebut, pihak PN dan Kejari berdalih telah melaksanakan tahapan-tahapan proses hukum sebagaimana diatur dalam UU Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang/ TPPO.

Pengadilan dan Kejari juga menjelaskan bahwa kasus ini dianggap sudah selesai karena kewajiban pelaku membayar restitusi kepada korban telah diganti dengan hukuman kurungan sebagaimana ketentuan Pasal 50 ayat (4) UU PTPPO. Hal ini menyebabkan upaya advokasi mendukung Martini sebagai korban TPPO untuk memperoleh keadilan utuh menemui jalan buntu. Padahal, hak restitusi yang tidak dipenuhi hingga saat ini adalah jalan untuk Martini bertahan hidup.

Ketua Umum SBMI, Hariyanto dalam pernyataan sikapnya yang diterima Konde.co mengatakan lahirnya UU Nomor 21 tahun 2007 menjadi salah   satu harapan memberantas perdagangan orang sekaligus memberikan keadilan kepada korban. Namun pada praktiknya, banyak korban berdasarkan analisa dan pendalaman yang dilakukan SBMI merupakan korban perdagangan orang tetapi tidak mudah mendapatkan Laporan Polisi (LP) dari pihak kepolisian.

“Begitu juga korban yang sudah mendapatkan LP, juga tidak mudah melanjutkan proses hukum hingga persidangan di pengadilan. Ketika berhasil ke persidangan di pengadilan, proses hukum yang berjalan pun tidak berhasil memenuhi rasa keadilan bagi korban terkait pemenuhan hak restitusi-nya. SBMI telah berhasil memenangkan sembilan kasus perdagangan orang yang telah diputus pengadilan, tetapi tidak ada satu pun korban yang mendapatkan restitusi sebagaimana telah dituangkan dalam amar putusan”

“Sebagai contoh, kasus yang dialami buruh migran Martini yang sampai hari ini tidak mendapatkan hak restitusi. Ternyata, implementasi UU nomor 21 tahun 2007 belum bisa memenuhi rasa kedilan bagi korban perdagangan orang. Salah satunya sebabnya adalah aparat penegak hukum yang kurang maksimal melaksanakan kewenangan dalam hal penelusuran dan penyitaan aset pelaku sebagai jaminan untuk membayar restitusi kepada korban sebagaimana ketentuan Pasal 31 dan Pasal 51 UU PTPPO. Hal ini yang menyebabkan keadilan bagi korban tidak bisa terpenuhi secara utuh. Sebenarnya, yang diinginkan korban tidak hanya pelaku mendapat hukuman pidana penjara, namun akan mendapat keadilan utuh apabila berhasil mendapatkan ganti rugi karena hak-haknya telah dirampas oleh pelaku,” pungkas Hariyanto.

Berdasarkan catatan SP dan SBMI, banyaknya kasus perdagangan orang, khususnya yang dialami perempuan buruh migran erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah soal penghentian dan pelarangan penempatan tenaga kerja Indonesia pada pengguna perseorangan di negara-negara Timur Tengah melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja (Kepmenaker) Nomor 260 Tahun 2015. Setidaknya 1003 perempuan buruh migran telah menjadi korban perdagangan orang karena kebijakan ini.

Koordinator Program Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Arieska Kurniawaty mengatakan, kebijakan yang melarang pekerja domestik di 19 negara di Timur Tengah ini, mengingkari Konvensi Migran 1990 dan rekomendasi umum CEDAW Nomor 26.

“Kepmenaker 260 dibuat tanpa memperhitungkan pengalaman dan situasi perempuan dalam penyusunannya termasuk minimnya lapangan kerja di dalam negeri karena perampasan ruang hidup. Alhasil, kebijakan ini tidak menyentuh akar permasalahan dan justru menambah kerentanan perempuan buruh migran terhadap trafficking, maupun kekerasan lainnya,” kata Arieska Kurniawaty.

Salah satu upaya yang dilakukan SP dan SBMI adalah menggalang petisi melalui situs change.org yang mendapat dukungan lebih dari 800 orang.

Kamis, 24 Juni 2021 kemarin Solidaritas Perempuan dan SBMI mendatangi Kejaksaan Negeri Jakarta Timur menyerahkan petisi dukungan agar Martini mendapatkan hak restitusi. Petisi ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia masih mengharapkan keadilan bagi Martini.

Petisi ini juga merupakan pembelajaran akan pentingnya proses peradilan pidana yang secara substantif memberikan keadilan utuh bagi korban.

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!