Pengalaman Perempuan: Apakah Kami Mengalami Pra-Menopause?

Tak mudah menjadi perempuan. Tiba-tiba aku mengalami terlambat haid untuk beberapa bulan, apakah ini adalah gejala pra-menopouse?. Inilah pengalaman kami para perempuan

Enam bulan lalu, aku terinfeksi Covid dan menjalani perawatan  di salah satu rumah sakit di Jakarta. Segera setelah dirawat, aku meminta adikku mengirimkan pembalut.

Berdasarkan kalender menstruasiku, seharusnya aku menstruasi  di hari ke-5 perawatan. Tapi hingga kembali ke rumah, aku tidak mengalami menstruasi. Mungkin menstruasiku terlambat atau tidak datang karena aku sedang kesulitan mengelola stress selama sakit. 

Menginjak bulan ke-2  tanpa menstruasi, aku berkonsultasi dengan dokter yang merawatku saat terinfeksi Covid. Aku menanyakan apakah ketidakdatangan menstruasiku ada kemungkinan efek dari anti virus? Dokter menjelaskan, secara prinsip, obat yang diberikan kepada pasien berada dalam pemantauan. Ia menganjurkanku untuk berkonsultasi dengan dokter kandungan.

Umurku menginjak 47, mungkinkah pra-menopause datang bersamaan dengan aku terinfeksi Covid? Pada umur 38 aku mengalami menopause buatan selama satu tahun, melalui suntik hormon tertentu, yang tujuannya untuk menghindari dari potensi kanker payudara dan rahim, aku mulai mengingat-ingat perubahan di tubuh dan perasaan yang kualami saat itu, lalu membandingkannya dengan kondisiku saat ini. 

Antara sakit kepala karena Covid atau pra-menopause?

Perasaan-perasaan agresif dan kesulitan tidur lalu kualami di masa menopause buatan. Tapi kali ini, karena pikiranku tercerap ke pandemi Covid, awalnya kesulitan tidur di malam hari, kupahami karena aku banyak kekhawatiran.

Gejala lain yang membuatku bingung karena bersamaan dengan terinfeksi Covid adalah sakit kepala. Aku tidak punya sejarah sakit kepala, tapi beberapa saat sebelum terinfeksi Covid aku mengalami sakit kepala, rasanya kemeng atau pusing. Lalu ketika terinfeksi Covid, sakit kepalaku bertambah hebat dan sakitnya tak tertahankan. Tapi setelah masa perawatan di rumah sakit, sakit kepala yang  hebat itu hilang karena intervensi obat. Sekarang aku baru menyadari perbedaan antara sakit kepala Covid dan kemungkinan sakit kepala karena pra-menopause.

Hoth flashes atau sensasi kegerahan yang hebat adalah salah satu gejala yang kualami di masa menopause buatan. Tapi itu tidak terlalu mengangguku, karena biasanya tidak berlangsung lama. Dan karena aku tinggal di iklim tropis –saat itu aku tinggal di Quezon City, Filipina— mengalami rasa gerah juga bagian dari keseharian, cuma yang ini, datangnya dari dalam tubuh. Memang pada satu hingga tiga bulan tidak menstruasi, aku merasakan hot flashes biasanya sekitar pukul 9 malam.  Linu-linu di payudara aku alami  berbulan-bulan sebelum menstruasiku berhenti. Ya, bukankah itu linu-linu yang kualami saat menopause buatan –ketika intervensi suntik hormon memberi efek antara lain payudaraku menyusut.  Vagina kering, yang kualami di masa menopause buatan, kembali kualami.

Aku ingin beradaptasi dengan perubahan yang tidak membahayakan seperti vagina kering, linu-linu di payudara, hot flashes dan sakit kepala.  Sambil terus mencari sumber-sumber pengetahuan alami untuk membantuku mengelolanya. Kecuali untuk gejala yang dapat membahayakan, seperti sakit pada tulang.

Pada saat menopause buatan,  dokter di Manila menyarankanku untuk memperlakukan tubuhku seolah sudah berumur 60 tahun yaitu menjaga tulang agar tidak menopang beban berat. Itu masa aku belajar mengubah kebiasaan dari memasukan segala barang ke dalam satu tas ransel, menjadi membaginya pada dua tas. Juga membiasakan diri sesedikit mungkin membawa beban.

Kali ini, di bulan ke-5 tidak menstruasiku, aku merasakan ngilu di tempurung kaki, terutama kalau kutekuk saat buang air di toilet jongkok. Aku butuh berkonsultasi dengan dokter tulang selain ginekolog, untuk memastikan apa yang kurasakan dalam 6 bulan ini.   

Aku mulai bertanya kepada kawan-kawan, menggunakan tagar #menowowpause yang kusebar di facebook, instagram dan status whatsApp: apa yang mereka rasakan, apa  pandangan mereka terhadap menopause. Aku mencari teman untuk melewati masa ini, sekaligus ingin meretas tabu terhadap menopause di masyarakat.

Menyambut pra-menopause

Beberapa kawan memberikan interpretasi beragam terhadap pra- menopause, sesuai dengan status kesehatannya, pengetahuan, kebudayaan dan momen unik yang datang bersamaan dengan masa pra-menopause.

Sebagian melalui begitu masa pra-menopause, dan merayakan perasaan terlepas dari peran reproduksi yang membuat kehidupan seks semakin bergairah. Sebagian berjibaku dengan gangguan rahim seperti adenimiosis, miom dll, yang diharapkan akan hilang ketika memasuki masa menopause. Sebagian telaten membaca perubahan pada tubuh dan mentalnya. 

Benang merah yang mempertemukan dari ragam pengalaman dan cara menyikapi menopause adalah belum memadainya pengetahuan terkait pra-menopause. Tahap awal menopause  yang berpotensi menjadi masa krisis bila tidak dikelola dengan pengetahuan dan perawatan memadai. Perawatan dalam arti baik perawatan fisik maupun mental, terutama bagi kita yang hidup dalam kebudayaan yang   hampir tidak memberikan kepedulian  pada siklus hidup yang satu ini.  

Jadi apa dan bagaimana premenopause itu? 

Menurut  situs STREPHONSAY pra-menopause yang disebut perimenopause merupakan tahap awal menopause alami. Selama periode ini, menstruasi dapat teratur atau tidak teratur. Ketidakteraturan menstruasi  dimulai selama periode ini karena perubahan kadar hormon, yang akhirnya menyebabkan menopause.

Pada buku  What Your Doctor May Not Tell About Premenopause yang ditulis John R. Lee, M.D., Jese Hanley, M.D, dan Virginia Hopkin, dijelaskan bahwa: “Premenopause dapat terjadi pada perempuan  berumur 30 hingga 50-an dengan  gejala   kenaikan berat badan yang mendadak,  kelelahan, lekas marah,  depresi,  kesulitan berpikir, ingatan yang menurun, sakit kepala migrain, menstruasi sangat banyak atau sangat sedikit, pendarahan di antara siklus menstruasi, tangan dan kaki dingin.”

Menurut buku ini, hal itu gejala umum yang perempuan alami  akibat ketidakseimbangan hormon, kebanyakan disebabkan ekses hormon dari estrogren dan berkurangnya hormon progresteron. (hal. 4)

Beberapa kawan menyampaikan pengalaman atau pengamatan dari gejala-gejala tersebut dengan gradasi dan kekhawatiran sosial yang mengitarinya. A seorang penulis di Tangsel mendengar  cerita kakak-kakaknya yang mengalami kulit kering, rambut rontok, insomnia, gairah seks  menurun, badan saki-sakit di masa premenopause. Karena itu menurut A kita harus mempersiapkan masa itu. 

Sementara menurut,  TK, seorang ibu rumah tangga di Bekasi, perubahan hormon masa menopause dapat mempengaruhi psikologi dari tingkat yang ringan hingga stress berat. Karenanya diperlukan kiat-kiat untuk mengelolanya. Ia sendiri memilih menikmati musik, pertunjukan stand up komedi dan merawat tanaman  di sekitar rumah.  

M  seorang kriminolog di Jakarta, tiba-tiba mengalami hipertensi, pusing jika berpikir keras dan secara fisik cepat lelah di masa premenopause. Walaupun ia tidak memahaminya sepenuhnya sebagai dampak premenopause,  tapi sebagai dampak kesedihan. Karena di masa bersamaan,  ia mengalami perubahan hidup akibat perasaan ditinggalkan.

Sedikitnya dari pengalaman dan pengamatan kawan-kawan tersebut, mengabarkan bagaiamana perubahan fisik saling berkelindan dengan perubahan mental. Kemudian situasi eksternal juga dapat secara spesifik ‘membingungkan’ sekaligus dapat menambah kesulitan mengelola masa ini.

Seperti pengalamanku yang bersamaan dengan masa pandemi dan lalu aku terinfeksi Covid. Atau pengalaman M, di mana masa premenopause bersamaan dengan kehilangan seseorang.

Gejala  premenopause bukan peristiwa fisik yang berdiri sendiri. Ia memberi pengaruh dan berkaitan dengan kesehatan mental. Ia berkelindan dengan keunikan status kesehatan masing-masing, seperti dua kawan yang mengarungi masa premenopause dengan miom dan adenimiosis. Juga  momen yang berbeda pada setiap perempuan.

Seperti pengalaman M yang bersamaan dengan momen kehilangan seseorang dan aku dengan momen terinfeksi Covid.  Dengan mengenali gejala ini dan menyadari konteks diri –status kesehatan dan momen– saat melalui masa ini, semoga akan lebih membantu. 

Gejala pra-menopause juga memberi tanda kita akan  menuju masa  pengurangan fungsi tubuh secara gradual sekaligus terbebas  dari  peran reproduksi akibat konstruksi patriarki.

Saya berharap  perempuan dapat mengelola masa premenopause dan menikmati masa menopause bila membekali diri dengan  pengetahuan, perawatan diri dan dukungan dari sekitarnya. Sehingga menopause menjadi masa pembebasan seperti dikatakan oleh RF, aktivis perempuan di Bogor,  menopause berarti bebas dari rasa nyeri bulanan, dan bergantung pada pembalut. 

Bagi perempuan yang menggunakan panty liner dan pembalut sekali  pakai, menopause juga berarti kita mengurangi polusi pada alam yang senantiasa melimpahi kehidupan. 

Mari sambut pra-menopause dengan melakukan yang terbaik untuk tubuh dan mental kita.

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

Dewi Nova

senang belajar hidup bersama semesta, menulis puisi, cerpen, esai sosial dan naskah akademis. Bukunya antara lain Perempuan Kopi, Burung Burung Bersayap Air, Mata Perempuan ODHA, Di Bawah Kaki Sendiri: Pengabaian Negara Atas Suara Korban Pelanggaran Kebebasan Beragama /Berkeyakinan, Akses Perempuan Pada Keadilan dan Mengkreasi Bisnis yang Produktif dan Inklusif Keragaman Seksual. Dewi dapat dihubungi melalui dewinova.wahyuni@gmail.com.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!