Revisi UU ITE Penting Lindungi Korban Kekerasan Seksual

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menemukan ada 768 kasus UU ITE di Indonesia. ICJR mendorong pemerintah segera merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk melindungi korban kekerasan seksual.

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menemukan terdapat 768 kasus yang berkaitan dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sepanjang 2016-2020. Peneliti ICJR, Maidina Rahmawati mengatakan, 242 kasus di antaranya menggunakan Pasal 27 ayat 1 yang mengatur tentang kesusilaan, sementara sisanya berkaitan dengan pasal penghinaan dan ujaran kebencian.

Padahal, kata Maidina, UU ITE tidak memberikan penjelasan yang pasti tentang definisi melanggar kesusilaan. Selain itu, kata dia, unsur distribusi konten dalam UU ITE juga tidak melindungi ranah privat dan korban kekerasan seksual. Akibatnya korban seperti Baiq Nuril juga dapat dijerat dengan UU ITE pada 2017 silam.

“Ini sebenarnya yang perlu menjadi catatan dalam revisi UU ITE khususnya Pasal 27 ayat 1, di mana dia juga harus melindungi korespondensi privat, namun di satu sisi yang mengandung unsur paksaan, ancaman bagi korban kekerasan seksual maka bisa dilarang dengan instrumen Pasal 27 ayat 1,” jelas Maidina dalam diskusi daring, Selasa (20/4/2021).

Adapun Pasal 27 ayat 1 berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”

Menurut Maidina, maksud penyusunan Pasal 27 ayat 1 UU ITE sama dengan UU Pornografi yang juga menjangkau pelanggaran kesusilaan. Dalam UU Pornografi, pelanggaran kesusilaan didefinisikan gambar, bunyi, dan gerak tubuh melalui berbagai media di muka umum. Selain itu, di UU Pornografi juga ada penekanan pengecualian memiliki dan menyimpan konten untuk kepentingan pribadi. Berbeda dengan UU ITE yang bisa menyimpan konten pribadi, tapi akan dipidana jika konten tersebut diakses orang lain.

Aktivis LBH Apik, Uli Arta Pangaribuan mengatakan lembaganya mencatat setidaknya ada 307 kekerasan berbasis gender online (KBGO) sepanjang 2020. Namun, kata dia, tidak semua korban berani melapor ke polisi karena takut dijerat dengan Pasal 27 ayat 1 UU ITE. Hal tersebut dapat terjadi jika korban yang pertama kali mengirimkan foto atau video asusila.

“Dampak dari Pasal 27 ayat 1 itu, perempuan menjadi korban kriminalisasi, mengalami eksploitasi seksual dan ekonomi, diancam, diintimidasi dan pemerasan dengan meminta sejumlah uang,” tutur Uli Arta, Selasa (20/4/2021).

Uli Arta mengusulkan Pasal 27 ayat 1 tersebut sebaiknya memberikan perlindungan kepada korban apabila untuk kepentingan pribadi dan tidak disebarluaskan ke masyarakat jika nantinya direvisi. Selain itu, ia mendorong agar orang yang melapor dengan menggunakan pasal tersebut merupakan korban yang dirugikan secara langsung.

Kabid Materi Hukum Publik Kemenko Polhukam RI, Dado Achmad Ekroni mengatakan kementeriannya telah membentuk tim kajian UU ITE guna menindaklanjuti arahan Presiden Joko Widodo. Menurutnya, tim kajian telah mengundang berbagai pihak mulai dari pelapor, korban, masyarakat sipil, dan kementerian lembaga terkait untuk membahas UU ITE.

Ia mengaku sependapat bahwa kesusilaan tidak dijelaskan dengan gamblang dan belum ada perlindungan bagi korban kekerasan seksual di UU ITE. Karena itu, masukan dari masyarakat sipil tersebut nantinya akan menjadi pertimbangan kajian tim UU ITE.

“Karena kesusilaan yang berlaku di Aceh, Bali dan Papua berbeda. Semisal di Papua ada orang memakai koteka itu pasti dianggap melanggar kesusilaan,” jelas Dado Achmad Ekroni dalam diskusi daring, Selasa (20/4/2021).

Dado mengatakan kajian terhadap UU ITE pada mulanya disampaikan Presiden Jokowi dalam Rapat Pimpinan Nasional TNI-Polri pada Februari lalu. Instruksi tersebut muncul seiring dengan polemik di masyarakat soal kritik yang kerap dipermasalahkan karena dinilai melanggar UU ITE. [sm/ab]

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

(Sumber: Voice of America/ VOA)

Sasmito Madrim

Jurnalis Voice of America (VOA)
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!