Label King of Lip Service Presiden; Sekedar Kampanye Politik dan Perempuan

Label King of Lip Service diberikan pada Presiden Jokowi karena dinilai tak menyelesaikan substansi persoalan masyarakat. Jokowi juga pernah menandatangani piagam Marsinah soal upah layak buruh, dan secara internasional diapresiasi sebagai pejuang gender, namun sayang para mahasiswi melihat, ini semua hanya sekedar lip service presiden

Pembicaraan tentang King of Lip service ramai dibicarakan sejak Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) menyebarkan julukan tersebut untuk Presiden Jokowi di media sosial 

Tagar ini sempat viral di media sosial lewat akun Twitter @BEMUI_Official, Sabtu (26/6/2021)seiring dengan desakan keinginan kelompok tertentu yang menginginkan presiden bisa memerintah selama 3 periode, di tengah hukum kita yang menyebutkan presiden hanya boleh memerintah 2 periode.

“Jokowi kerap kali mengobral janji manisnya, tetapi realitanya sering kali tak selaras. Katanya begini, faktanya begitu. Mulai dari rindu didemo, revisi UU ITE, penguatan KPK, dan rentetan janji lainnya,” tulis @BEMUI_Official.

Lalu bagaimana para aktivis perempuan muda dan mahasiswi merespon ini?. Lathifah Hana, mahasiswi dan koordinator departemen propaganda BEM Universitas Indonesia menegaskan pada dasar perjuangan BEM UI dilakukan atas rasa kecewa pada pemerintah soal represifnya UU ITE, UU Komisi Pemberantasan Korupsi/ KPK, represifnya aparat pada aksi-aksi mahasiswa dan UU Cipta Kerja yang mengelabui para buruh.

“Presiden Jokowi lebih banyak pidato bahwa dia terbuka pada semua kritik, tapi nyatanya beda kenyataan di lapangan, para mahasiswa yang menyampaikan kritikan ditangkapi dan dijadikan tersangka, dengan alasan ini para mahasiswa menyebut Presiden Jokowi sebagai king of lip service.”

Hal ini diungkapkan Lathifah Hana dalam diskusi yang diselenggarakan Perempuan Mahardhika pada 3 Juli 2021 melalui daring

“Represif aparat ini terjadi pada saat aksi reformasi dikorupsi, aksi May day dan hari Hardiknas, para mahasiswa bahkan ditangkap dan dijadikan tersangka. Ini berbeda dengan permintaan presiden yang minta dikitik dan terbuka pada kritik. Mahasiswa menjadi takut dengan represifitas ini, padahal demo sudah sesuai dengan Prokes, tapi adanya UU ITE ini menjadikan takut untuk bersuara. UU KPK juga yang berujung pada aksi reformasi dikorupsi yang melemahkan KPK di luar dan di dalam. Lalu UU Cipta kerja yang cacat formil dan juga isinya namun tetap saja diberlakukan dan tak mendengarkan suara-suara kami,” kata Lathifah Hana

Jadi postingan ini tak hanya untuk presiden tetapi juga pemerintah secara umum. Setelah postingan tersebut viral, BEM UI juga mendapat panggilan dari Rektorat UI dan permintaan untuk take-down postingan di medsos, namun BEM UI menolaknya

“Rektorat sempat memanggil kami dan kami membawa data untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan rektorat. Aksi di medsos adalah ekspresi pendapat kami dan rektor menyatakan jalani aturannya. Tapi lalu rektor juga minta kami take down postingan kami, tapi kami menolak. Humas UI menyatakan kami melanggar kode etik, tapi kami bertanya ini kode etik yang mana yang kami langgar?, karena kalau soal resiko, kami akan menanggung resikonya ketika kami tidak mau men-take down. Sebenarnya kami tidak mau men-take down karena kami sebutkan alasannya, dan pihak UI meminta kami men-take down, tapi kami tidak mau.”

Kemudian setelah pertemuan tersebut, pihak Rektorat UI menyatakan akan mengadakan rapat terlebih dahulu dan bisa saja memberikan sanksi pada mahasiswa, namun BEM UI mendapatkan informasi bahwa jika Kemendikbud Ristek tidak akan memberikan sanksi hanya karena aksi protes ini

“Namun setelah itu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Ristek /Kemendikbud Ristek menyatakan bahwa kami tidak akan diberikan sanksi hanya gara-gara menyuarakan suara kami ini, kami senang mendengar ini dan semoga tidak ada sanksi dari yang kami suarakan ini.”

Presiden Jokowi setelah itu menganggap sah-sah saja jika kritikan disampaikan asalkan santun. Namun Lathifah Hana melihat bahwa presiden hanya memberikan tanggapan teknis aksi, namun tidak menjawab substansi kritikan mahasiswa

“Presiden belum menjawab tanggapan persoalan, tanggapannya hanya teknis, belum mengklarifikasi susbtansi yang kami bawa. Ini seperti merespon suara masyarakat tapi tidak terkait konteks. Lalu ada suara netizen yang memberikan apresiasi pada presiden, membela presiden, seperti ada kata-kata di media sosial yang menulis: sabar sekali ya pak presiden, sudah dikritik tapi malah anak muda ini dinasehati.”

Eva Nurcahyani, aktivis Lingkar Studi Feminis dan Perempuan Mahardhika melihat munculnya label king of lips service ini didasarkan analisa mahasiswa yang sangat mendalam. Pemberian label king of lip service ini memang menunjukkan ada sistem yang salah dan mengatur kita sebagai masyarakat.

“Demokrasinya timpang, partisipasi masyarakat dengan pejabat negara ini minim sehingga wajar jika pemerintah yang janji-janji dengan sistem yang buruk dikritik, pemerintahan seperti ini setuju dikritik dengan pelabelan ini.”

Eva Nurcahyani memaparkan data, di tahun 2014 Presiden juga pernah menandatangani kampanye untuk piagam Marsinah, seorang buruh perempuan yang meninggal dibunuh ketika berjuang untuk para buruh di Sidoarjo. Waktu itu presiden menandatangani tentang kerja layak, upah layak, hidup layak, tapi ternyata mengecewakan hasilnya, hingga sekarang taka da kerja layak, upah layak dan hidup untuk para buruh

Secara internasional, Presiden Jokowi juga banyak diapresiasi karena dianggap memperjuangkan kesetaraan gender, namun terkait kasus kekerasan seksual yang jumlahnya sangat banyak justru tidak diperhatikan, juga isu-isu yang lain yang terkait perempuan.

“Karena banyak yang kecewa, wajar jika label ini diberikan,” kata Eva Nurcahyani

Dari sini Eva dan Hana sama-sama melihat, bahwa perjuangan mahasiswa masih sangat panjang, untuk isu-isu perempuan juga isu lain terkait persoalan politik dan ekonomi. Untuk memperkecil resiko represi, caranya adalah berjuang secara kolektif atau bersama-sama membangun networking untuk melakukan kritik bersama

(Foto: twitter)

Tika Adriana

Jurnalis yang sedang memperjuangkan ruang aman dan nyaman bagi semua gender, khususnya di media. Tertarik untuk mempelajari isu kesehatan mental. Saat ini managing editor Konde.co.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!