Relaks Bicara Zodiak, Stop Stereotipe Perempuan Hanya Karena Zodiak

Pembicaraan soal zodiak dianggap bukan pembicaraan penting dan dianggap hanya dibicarakan oleh perempuan yang tak punya kerjaan. Hingga mengarah pada misoginisme perempuan hanya gara-gara zodiak

Seorang perempuan dosen di Amerika dalam sebuah tulisannya menyatakan bahwa pembicaraan soal zodiak selama ini selalu dianggap sebagai pembicaraan remeh, tak penting dan hanya dibicarakan oleh perempuan yang tak punya pekerjaan. 

Padahal pembicaraan soal zodiak ini sudah ramai menjadi perbincangan sejak dulu hingga kini. Zodiak tidak hanya menjadi isu yang seru, tapi juga menghangatkan, jadi bumbu pembicaraan. 

Saya melihat zodiak tidak hanya digunakan semacam ramalan untuk melihat jodoh, karir, tapi zodiak juga bisa membantu kita melihat dunia dari sisi yang lain, yaitu dari sisi preferensi zodiak. Dalam dunia yang serba tak pasti ini, zodiak juga punya sifat menenangkan dan membuat hidup yang tak pasti ini kadang menjadi pasti ketika kita melihat peruntungannya lewat zodiak

Teman perempuan saya juga punya pengalaman seperti ini. Seorang teman pernah mengomel soal pengalamannya bekerja di bekas kantornya. Sebagai penulis artikel gaya hidup, dia acapkali mendapat ‘penugasan khusus’ untuk menulis soal zodiak. Persoalannya, hanya karena dia seorang perempuan. 

“Untuk rubrik zodiak, lu aja nih yang nulis, kan biasanya cewek suka gitu-gituan,” celetuk rekan kerja teman yang kebetulan kala itu laki-laki. 

Ingatan itu membekas di benak temanku. Dia menceritakan betapa perkara zodiak dianggap sebagai ‘remeh-temeh’ urusan perempuan dan di stereotipe kan sebagai urusan perempuan

Selayaknya urusan domestik di lingkungan patriarkal, zodiak jadi terasa dipinggirkan, yaitu jadi kelas kedua dan tak lebih penting dari bahasan fafifu wasweswos yang dinilai lebih berbobot seperti sains, politik, hingga hukum. Lagi-lagi, korbannya kali ini adalah perempuan. 

Jika diingat-ingat, aku pun juga pernah mengalami hal sejenis. Beberapa tahun silam, pada suatu kesempatan kongkow di tongkrongan rekan kerja, yang tidak begitu akrab, bicara soal zodiak nyatanya masih dianggap ‘menye-menye’ dan tidak rasional. 

Tak sedikit pandangan rekan-rekanku saat itu, yang menilai bahwa bicara soal zodiak hanyalah sebatas ramalan bintang: bagaimana asmara, karir ataupun kesehatan dalam seminggu ke depan. 

“Perempuan ya gitu,” ucapan salah seorang rekan kerja laki-laki disertai seringai sinis.

Anggapan perkara zodiak adalah remeh ini, tidak dipungkiri, semakin disuburkan pula melalui narasi-narasi publikasi di media massa maupun sosial yang menjadikan zodiak tak lebih dari objek dagang (komodifikasi). Mulai dari contoh artikel berjudul “Dikenal manja, 4 zodiak cewek ini paling gampang ngambek” sampai “Urutan zodiak wanita yang memiliki tinggi nafsu”. 

Padahal jika dilihat seksama, zodiak tidak hanya sebatas simbol-simbol kaku berdasar tanggal kelahiran yang berkuasa melekatkan pada stigma ataupun nasib seseorang. 

Fenomena yang teman dan aku pribadi rasakan, hanya segelintir contoh dari melihat zodiak sebagai remeh temeh hingga mengarah pada misoginisme yaitu membenci atau rasa tidak suka terhadap perempuan gara-gara zodiak. Feminis, Adrienne Rich menggambarkan misogini sebagai kekerasan dan serangan perempuan yang kemudian diyakini, dianggap normal, institusional dan terorganisir. Misogini ini kemudian menimpakan segala sesuatunya pada perempuan

Lawan diskriminasi berbasis zodiak

Perihal zodiak memang bisa saja berdampak mendiskreditkan atau mengkerdilkan terhadap gender tertentu. Tapi disisi lain, diskriminasi pun bisa terjadi akibat zodiak itu sendiri. Ini dikarenakan pemahaman soal zodiak yang masih sepenggal-penggal. 

Ini aku temukan, kala beberapa waktu lalu di media sosial twitter ramai memperbincangkan, soal HRD atau manajemen perusahaan yang enggan menerima karyawan dari spesifik zodiak tertentu. Misalnya saja, Gemini. 

Ada lagi meme yang dengan sengaja pernah dikirimkan seorang teman pada saya, yang menggambarkan foto-foto presiden Indonesia yang berzodiak Gemini seperti Soekarno, Soeharto sampai Joko Widodo yang semuanya berzodiak Gemini. Lantas, caption dari meme itu adalah “Sudahkah saatnya Indonesia tanpa Gemini?”

Bersama kawanku, Gloria dan Fadia, aku pun terpancing untuk membincang perihal diskriminasi berbasis zodiak ini via live Instagram pada Minggu, 11 Juli 2021. Kami satu suara: zodiak semestinya menyenangkan untuk semua kalangan gender dan tidak diskriminatif atas dasar apapun. 

Dari mereka berdua yang merupakan penggemar astrologi mengatakan bahwa bicara soal zodiak memang tidak bisa lepas dari yang namanya birth chart. Birth chart atau yang biasa juga dikenal natal chart (grafik kelahiran) mengungkap lokasi planet saat ini. Ini kemudian yang menjadi dasar guna mengetahui sign astrologi manusia. Caranya, mesti tahu kapan tepatnya waktu dan tempat kelahiran.     

Masyarakat Babilonia Kuno konon menciptakan zodiak dengan membagi langit menjadi ke dalam dua belas bagian. Pergerakan planet dan peristiwa bumi saling dikaitkan dalam pembacaan itu. Inilah cikal bakal dari dikenalnya astrologi. 

Seiring perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan sains, astrologi ini banyak digunakan untuk menafsirkan perilaku manusia berdasarkan observasi. Meski, tidak lantas selalu sepenuhnya akurat. Jadi, tidak bisa serta merta dijadikan satu-satunya indikator dalam menilai seseorang. 

Relaks, mari membincang zodiak dengan bergembira. Tak perlu segitunya saling membandingkan zodiak, untuk mendapat validasi agar disebut lebih unggul. Begitupun, tak pantas berdasarkan zodiak untuk merendahkan, melakukan stereotipe atau mendiskriminasi zodiak lain. 

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!