Mau Childfree Atau Tidak? Pilihan Di Tangan Perempuan

Memilih childfree atau tidak, tentu itu jadi urusan perempuan. Yang harus kita lakukan adalah menguatkan pilihan perempuan agar punya titik terang

Belakangan, narasi Childfree atau tak mau punya anak, ramai diperbincangkan oleh warganet setelah salah satu influencer dan youtuber yang banyak membahas dan mendukung isu perempuan, Gita Savitri Devi menyatakan secara lantang bahwa ia dan suaminya memilih untuk Childfree

Pernyataan Gita mengenai pilihannya tersebut menuai banyak pro dan kontra di kalangan warganet. Istilah Childfree sendiri merupakan sebutan bagi suatu kondisi pernikahan tanpa anak dan atau keadaan di mana seorang atau pasangan memilih untuk tidak memiliki anak (biologis). Ada banyak hal mengapa perempuan seperti Gita Savitri dan beberapa diantaranya memilih untuk Childfree

Ada yang mempertimbangkan kondisi finansial, mengkhawatirkan keadaan bumi di hari mendatang, juga merasa tekanan psikologis yang sulit untuk dikendalikan dan belum tentu layak untuk menjalani kehidupan sebagai seorang ibu. Tak jarang, keputusan Childfree juga didukung oleh meningkatnya populasi dunia. Jadi childfree dilakukan untuk menurunkan populasi penduduk bumi

Dalam Child Free and Loving It! (2005), banyak perempuan yang mengkhawatirkan keadaan populasi sehingga memilih penawaran pemerintah untuk memiliki keluarga kecil atau tidak memiliki anak sama sekali sebagai cara untuk mengurangi overcrowding dan overpopulation.

Meski keputusan Childfree didukung oleh pemerintah sejumlah negara, juga beberapa pihak lainnya, pro dan kontra ternyata masih terjadi. Beberapa orang menganggap mempunyai anak menjadi suatu kebahagiaan tersendiri. Beberapa lainnya menyebut keputusan yang dipilih perempuan untuk Childfree merupakan suatu narasi yang egois. 

Dalam riset berjudul “The social and cultural consequences of being childless in poor-resource areas” yang dilakukan oleh F. Van Balen, bahkan disebutkan bahwa ada konsekuensi sosial yang dialami perempuan di berbagai negara apabila memilih untuk tidak memiliki anak, sebagian besarnya ialah mereka akan mengalami kekerasan verbal. Gunjingan dan tuduhan tidak mengenakkan kerap kali menghampiri. 

Artis, Ernest Prakasa juga menyatakan bahwa sebelumnya childfree ini pernah menjadi ironi tersendiri mengingat masyarakat Indonesia yang masih banyak menganut prinsip budaya patriarki.

Dalam budaya patriarki, laki-laki selalu diutamakan, sedang perempuan selalu dikesampingkan dan tak didengar suaranya. Pada masyarakat patriarki, perempuan selalu dikaitkan dengan ruang domestik yang terbatas. Tugas perempuan adalah mengurus anak dan rumah tangga, tidak mendapat kesempatan berbicara di ruang publik. 

Tradisi kebudayaan untuk melangsungkan keturunan bahkan menjadi realita pahit yang dialami perempuan setelah menikah, yaitu harus mempunyai anak. Tidak sedikit dari kita yang melihat banyak mertua yang menyuruh anaknya menikah lagi apabila sang menantu tidak bisa melahirkan seorang anak, maka segala upaya akan dikerahkan. Dari sini kita bisa melihat, banyak perempuan yang tidak mengetahui bahwa sebenarnya mereka punya pilihan. 

Budaya patriarki sedikit banyak mempengaruhi banyak perempuan Indonesia untuk tidak mempertanyakan beberapa hal, salah satunya perihal memiliki anak atau tidak. 

Padahal memilih mempunyai anak atau tidak,seharusnya diserahkan pada perempuan karena mereka yang hamil dan melahirkan, menanggung sakitnya. Sebab, esensi yang harus selalu kita ingat ialah mengenai pilihan itu sendiri. Perempuan, tidak hanya sekali dua kali tidak memiliki pilihan dalam hidupnya, apalagi dalam belenggu patriarki seperti di Indonesia ini. 

Memilih melanjutkan studi dilarang dengan alasan perempuan pada akhirnya akan ke dapur. Memilih hidup lajang dan tidak menikah disebut tidak laku dan terus menerus dituntut untuk segera menikah dan punya anak. Segalanya perihal perempuan selalu dikesampingkan dan tidak memiliki pilihan.

Maka, yang seharusnya diperdebatkan sebenarnya bukan perihal lebih bagus memiliki anak atau tidak, akan tetapi, perihal pilihan perempuan yang masih belum menemui titik terang.

Lugina Nurul Ihsan

Mahasiswa Jurnalistik di Salah Satu Kampus di Indonesia yang Baru Berani Untuk Menulis
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!