Mau Lahiran Caesar atau Normal? Maaf, Itu Bukan Urusan Anda

Ketika beberapa bulan lalu saya melahirkan secara caesar, saya ditempeli stigma sebagai perempuan yang melawan kodrat atau tidak utuh jadi seorang ibu.

Pengalaman maternitas seorang perempuan kerap tidak steril dari campur tangan orang lain atau publik. Seringnya, hal ini diiringi pula dengan lontaran pernyataan berisi sindiran atau cemoohan jika perempuan tak memenuhi standar ekspektasi sosial yang, secara absurd dan menyesatkan, justru diamini banyak orang.

“Lahirannya… caesar atau normal?”

Saya yakin ini adalah pertanyaan sejuta umat yang masih didengar oleh sebagian besar ibu-ibu muda yang baru melahirkan. Di Indonesia. Jika pertanyaan ini dibarengi dengan kata-kata baik seperti, “Semoga kamu cepat pulih ya,” atau “Kamu semangat pulih ya. Kalau ada yang bisa aku bantu untuk meringankan kesulitan kamu, jangan ragu untuk bilang ya!”, yang menyejukkan hati ibu sih bagus ya. Namun, dari pengalaman banyak ibu, yang terjadi justru jauh dari harapan. 

Pertanyaan ini, menjadi beban besar khususnya bagi para ibu yang melahirkan dengan cara caesar. Belum kering luka jahitan, bahkan terkadang, belum pun si ibu menjawab pertanyaan si penanya, ia sudah dirundung dengan sebuah komentar seperti, “Sayang banget ya kalau caesar, belum utuh lah jadi seorang ibu,” dengan nada sok prihatin.  Sungguh sebuah pendapat yang sangat buruk dan mesti dilawan.

Saat menulis ini, saya jadi bertanya-tanya, siapa sih orang pertama yang melontarkan pernyataan tersebut? Apa yang memantik otaknya berpikir, menilai, dan menyatakan bahwa keutuhan seorang perempuan yang menjadi ibu belum paripurna jika tak melahirkan secara normal? Sial, banyak pula yang percaya dan mengamininya.

Pernah dalam perjalanan pulang setelah cek rutin kandungan dari rumah sakit, saya dan suami “diceramahi” oleh supir transportasi online yang mengantar kami ke rumah. Sepanjang perjalanan pulang, supir yang kebetulan adalah laki-laki, bercerita panjang lebar, mengenang pengalaman kehamilan istri dan anaknya yang melahirkan secara normal. 

Mendekati rumah, ia berkata, ”Ibu nanti melahirkan harus normal ya, Bu. Melahirkan caesar itu melawan kodrat.”

Kebetulan, saat itu saya sedang lemas sehingga tidak ada hasrat untuk membalas argumennya tentang kodrat. Jadilah saya (dan suami) tidak mengacuhkan pernyataannya. Pun, opininya tidak valid bagi saya, kami berdua. Bukan haknya mengurusi perihal dengan cara apa saya ingin melahirkan anak saya. 

Hampir setahun lalu, saya melahirkan dengan cara caesar. Itu pilihan saya setelah mendapat rekomendasi medis dari dokter. Kondisi kehamilan pertama saya ini tidak berjalan semulus yang saya harapkan. Jujur saja, sampai saat ini, saya masih trauma, terlebih jika mengingatnya.

Saat hamil, saya didiagnosa dokter memiliki plasenta previa totalis. Ini adalah kondisi di mana plasenta menutupi jalan lahir bayi secara total. Dokter kandungan yang menangani saya berkata bahwa itu biasa terjadi pada awal kehamilan, banyak ibu hamil yang mengalaminya. Ia juga  menjelaskan kalau pada minggu-minggu menuju HPL (Hari Perkiraan Lahir), plasenta ini akan naik dengan sendirinya sehingga tidak lagi menutupi jalan lahir bayi. Namun, hal itu tidak terjadi pada saya.

Beberapa kali saya mengalami pendarahan. Pendarahan pertama terjadi saat usia kehamilan sekitar 30 minggu. Darahnya banyak sekali. Saat itu, suami saya langsung mendokumentasikan kejadian itu dan menghubungi dokter. Dokter minta saya segera ke UGD rumah sakit. Saya dan suami bergegas pergi. Setelah diperiksa, dokter memutuskan saya harus rawat inap di rumah sakit selama beberapa hari. 

Saat di rumah sakit, saya harus cek ini itu, sebab masih dalam masa pandemi. Saya diminta minum obat penahan kontraksi, dan obat untuk penguat paru-paru bayi, sebab usia kandungan saya belum memasuki masa ideal untuk melahirkan. Kondisi saya dan bayi dipantau setiap pagi, siang, sore, dan malam. Setelah flek pendarahan saya mulai berkurang drastis, saya pun diizinkan pulang ke rumah.

Sebelum pulang ke rumah, dokter berpesan kalau saat di rumah, saya mesti bed rest total. Saya dilarang berhubungan intim dengan suami. Saya juga tidak boleh masturbasi. Saya harus menahan semua hasrat alamiah tubuh saya. Pergerakan saya harus sangat dibatasi. Jika saya banyak bergerak, dokter khawatir kalau saya akan mengalami pendarahan kembali. Dokter bilang, pendarahan biasanya akan memicu kontraksi, dan ini berarti saya akan melahirkan anak saya secara prematur. Ini juga berarti, bayi saya akan dirawat di ruangan NICU (Neonatal Intensive Care Unit), unit perawatan intensif untuk bayi baru lahir dengan kondisi kritis atau memiliki gangguan kesehatan berat. Tidak hanya berbahaya bagi bayi, kondisi tersebut juga bisa membahayakan nyawa saya.

Singkat cerita, saya sempat mengalami pendarahan berulang dan kembali harus rawat inap di rumah sakit. Sampai akhirnya, saya melahirkan anak saya pada usia kehamilan hampir mencapai 37 minggu. 

Setelah melahirkan, saya merasa sangat lega. Saya berhasil melahirkan bayi saya dengan selamat dan sehat. Saat itu, tidak ada hal lain yang lebih penting. Meski tak dipungkiri, pasca melahirkan caesar, saya merasakan sakit yang sangat menyiksa. Saya juga mengalami kelelahan luar biasa, baik secara fisik dan mental. 

Dengan segala yang saya alami sepanjang kehamilan ini, mengapa masih ada orang yang tega mengatakan kalau pengalaman keibuan saya tidak utuh hanya karena cara saya melahirkan berbeda dari ekspektasi mereka?

Padahal ini tubuh saya, saya yang memilikinya, saya yang merasakan setiap sakitnya, saya yang mengalami semuanya, kenapa mereka merasa berhak menilai saya hanya dari cara saya melahirkan anak saya?

Amatan singkat saya, pandangan yang mendegradasi pengalaman perempuan dalam melahirkan ini, bisa terjadi karena adanya beban ekspektasi gender tertentu yang berakar dalam sistem patriarki, dan membentuk cara pikir mayoritas masyarakat Indonesia. Lensa berpikir yang patriarkal ini menempatkan perempuan harus mencapai sebuah standardisasi tertentu agar peran gendernya sebagai perempuan diakui secara utuh.

Dalam masyarakat patriarkis, tubuh perempuan dianggap tubuh milik publik. Ini membuat perempuan diasumsikan tak punya kapabilitas untuk menentukan hal-hal terkait tubuhnya sendiri. Ironinya, dalam hal pengalaman saya, keputusan terkait tubuh ini adalah keputusan esensial. Yakni, cara melahirkan terbaik yang aman bagi saya dan bayi yang saya kandung. 

Perempuan sudah selayaknya punya otoritas penuh untuk menentukan dengan cara apa ia ingin melahirkan anaknya. Tidak ada guna membanding-bandingkan siapa yang lebih baik, siapa yang lebih berjuang. Caesar atau normal, perempuan tetaplah utuh sebagai seorang ibu dari anaknya. Keduanya memiliki dampak dan risikonya masing-masing yang akan ditanggung oleh sang ibu, seorang perempuan. Perempuan tersebut lah yang akan menghayati setiap proses pengalaman tersebut setiap detiknya. Bukan orang lain.

Masa sudah rela bertaruh nyawa, perjuangan “berdarah-darah” perempuan tetap dianggap tak berharga dan masih harus diteror dengan pernyataan merendahkan, ”Ibu, ingat ya Bu, lahir caesar itu melawan kodrat ya, Bu.”

Saya mau lahiran caesar atau normal? Maaf, itu bukan urusan Anda!

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

Marina Nasution

Jurnalis televisi yang murtad dan kini mualaf di Konde.co Pengagum paradoks semesta, gemar membeli buku tapi lupa membaca.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!