Praktik Seksisme di Sekitar Kita: Ini Bom Waktu Yang Siap Meledak

Praktik seksisme berseliweran di sekitar kita. Jadi mari kita matikan sumbu-sumbu seksisme, sebelum meledakkan dampaknya yang berbahaya.

Tak terhitung sudah berapa kali, kata-kata seksis seperti ini meluncur kepada saya sebagai seorang perempuan:

“Marah-marah mulu, lagi PMS ya?”

“Perempuan kok gak bisa masak?”

“Jangan ngejar karir mulu, keburu expired”

“Kamu tuh, gak kayak cewek lainnya”

Pernah suatu ketika, saya dibuat sesak oleh perkataan paman saya. Kala itu di suatu momen lebaran ketika saya berkunjung ke rumahnya.

Dia sempat nyeletuk “Punya kulit dirawat biar gak jerawatan, biar laku.” 

Kata-kata menohok itu, ia lontarkan sesaat setelah dia menyindir soal kenapa saya begitu pemilih dan tidak cepat-cepat menikah. Di akhir percakapannya itu, dia bahkan menambahkan kata “Dagangannya kan belum laku.” 

WTH. Saya bukan dagangan. Lagipula, saya pun tidak merawat kulit, hanya demi validasi dan kesenangan laki-laki. Ini hanya satu momen, perkataan-perkataan seksis lainnya, seringkali tanpa persetujuan, mondar-mandir dalam keseharian kita. Berdalih basa-basi, guyonan, sampai memang sengaja menjatuhkan bisa jadi penyebab seksisme masih terus langgeng. Terlebih kita masih hidup di lingkungan patriarki yang masih kental. 

Britannica menyebut, seksisme merupakan prasangka dan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin atau gender, yang utamanya menyasar perempuan atau anak perempuan. Seksisme ini, bisa menjadi keyakinan bahwa satu jenis kelamin atau gender lebih unggul atau berharga daripada lainnya. 

Standar seksisme ini berupa batasan ini dan itu, yang harus menjadi konsekuensi yang tidak bisa dilepaskan. Apa yang boleh dan tak boleh dilakukan, apa yang harus dan dilarang, oleh jenis kelamin atau gender ‘kelas kedua’ terus terjadi. Seolah-olah jadi hal lumrah. 

Feminisme menyebut seksisme sebagai hubungan sosial yang merendahkan perempuan. Feminisme kontemporer misalnya menyebut, keyakinan dan praktik sosial yang seksis bukan hanya akan membatasi aktivitas perempuan, namun merupakan cara yang praktis untuk melakukan pembedaan pada laki-laki dan perempuan yang dilakukan tanpa pembuktian.

Para feminis melihat, praktik seksisme ini banyak terjadi di media, dimana misalnya dalam penggunaan stereotype bahwa perempuan akan selalu tinggal di rumah, mengerjakan semua pekerjaan domestik yang selanjutnya dilanjutkan dengan perendahan soal pekerjaan domestik yang diidentikkan dengan perempuan.

Seksisme sering dilihat sebagai sesuatu yang terjadi dan dianggap benar begitu saja. Feminis seperti Nancy Chodorow mengungkap bahwa seksisme berasal dari pembentukan identitas gender serta dari budaya kontemporer.

Normalisasi Seksisme, Melanggengkan Kekerasan

Seorang influencer sekaligus Kreator konten Gita Savitri Devi menceritakan pengalamannya soal seksisme di video Youtubenya yang diunggap pada 26 Desember 2020. Dia menyatakan seringkali mendengar berbagai komentar seperti ‘cewek harus pakai pakaian tertutup, kalau terbuka itu kayak cewek bandel atau nakal dan bisa diperkosa orang.’

Penulis buku ‘Rentang Kisah’ itu pun, tak jarang disuruh untuk ‘bicara biasa-biasa’ saja hanya karena dia seorang perempuan. Gak boleh ngegas, jangan marah-marah, dan bernada tinggi. 

“Dulu tuh gue gak punya vocabularry untuk menjelaskan pengalaman gue tersebut,” ujar Gita dalam video Youtubenya yang berjudul: Setara? Perempuan masih Jadi Korban Seksisme!.

Sekecil apapun bentuk seksisme, jika itu menyebabkan ketidaknyamanan dan merendahkan harkat dan martabat sebagai manusia. Terlebih bagi kalangan yang acap kali dicap ‘kelas dua’ ini tetap tidak bisa dianggap wajar. 

Gita bilang, normalisasi terhadap seksisme sehari-hari, bisa berdampak luas. Bisa dikatakan seperti ‘bom waktu’ yang bakal berdampak pada aksi-aksi pelecehan dan kekerasan yang terus langgeng.

Menurutnya, setidaknya ada dua jenis seksisme yang selama ini masih banyak terjadi. Yaitu, Hostile Sexist yang merujuk pada laki-laki yang berupaya menjaga dominasinya. Ini bisa diekspresikan dalam bentuk-bentuk tindakan pelecehan bahkan kekerasan.

Sedangkan pada Benevolent Sexism, caranya akan lebih halus. Meski begitu, tidak kalah berbahaya karena bersifat manipulatif. Contoh paling gampang ditemui, laki-laki yang berperan seolah menjadi pelindung perempuan. 

“Laki-laki ujug-ujug (tiba-tiba) datang dan jadi gentleman. Padahal, juga memposisikan laki-laki diatas perempuan,” kata Gita Savitri

Pada tipe ini, pelaku seksisme juga bisa berlagak menjadi seorang yang menggurui dan superior dengan sudut pandang laki-laki adalah pemimpin yang membimbing. Sementara, perempuan hanya sebatas pendukung dan mengurusi hal-hal domestik.  

“Saking ini hal lumrah terjadi, perempuan bisa loh merasa gak ada yang salah. Mereka menganggapnya ini bentuk perlindungan dan kepedulian. Bahkan ada perempuan yang menginternalisasikan,” terang Gita. 

Begitu perempuan melawan seksisme, dia menyebut, tak jarang perempuan harus mendapatkan stigma sebagai yang sekuler, liberalis maupun bahkan tidak paham agama. Belum lagi, sebagian lainnya ada juga yang melakukan gaslighting, yaitu tindakan memanipulasi hingga seseorang mempertanyakan pikiran, perasaan, ingatan dan peristiwa yang dia alami dan rasakan.

“Ada satu teman yang bilang ke gue, ini semua (konsep seksisme) cuman ada di pikiran gue aja,” imbuh Gita. 

Jika ini terus dibiarkan, menurutnya, bukannya tak mungkin masalah kesetaraan gender akan semakin sulit dicapai. Menyepelekan seksisme itu pun, juga menjadikan ketidaksetaraan gender bisa semakin langgeng. 

Hal yang sama juga diungkap para feminis. Mereka melihat, dekonstruksi mitos seksisme harus dilakukan karena ini merupakan tujuan penting dan menjadi agenda studi perempuan, Feminis melihat, seksisme bukan saja merupakan basis dasar atas penindasan terhadap perempuan, namun juga merupakan praktik dominasi yang dialami semua orang.

Bom waktunya apa? Tentu saja kekerasan di berbagai sektor kehidupan. Jadi mari kita matikan sumbu seksisme, sebelum meledakkan dampaknya yang berbahaya.

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!