Berharap Vaksin: Kisah Perempuan dan Kelompok Marjinal Mencari Vaksin

Kelompok marjinal seperti disable, kelompok miskin kota dan transpuan berharap dapat segera divaksin, namun usaha ini terganjal dengan minimnya informasi, tak adanya Nomor Kartu Identitas (NIK), dan akses serta pendampingan

Bagi Elin, seorang penyandang disabilitas netra, meraba adalah caranya ‘melihat’ dunia. Melalui rabaan tangan, dia bisa mengetahui dan mengingat benda-benda hingga pertanda menuju jalurnya beraktivitas dan bepergian. Tanpa sentuhan dan meraba itu, dia tentu saja terhambat melakukan banyak hal. 

Di situasi pandemi kini, Elin mau tak mau mesti lebih mawas diri. Kegiatan meraba yang biasa dia lakukan, bisa menjadi ancaman tersendiri: penyebaran Covid-19 yang tak terhindarkan. Sebab selain melalui droplet, virus ini juga bisa berpindah melalui sentuhan. 

Fakta tersebut tak semua diketahui para penyandang disabilitas netra seperti Elin. Minimnya akses informasi dan sosialisasi terkait Covid-19, menjadikan ancaman penularan corona semakin meningkat. Terlebih, ketimpangan pelayanan kesehatan dan perlindungan sosial bagi disabilitas yang masih banyak terjadi. Termasuk, soal vaksinasi. 

Orang dengan kondisi disabilitas kemudian menjadi semakin rentan. Meski dua kali lebih berisiko tertular Covid-19, namun fokus pemerintah yang masih minim. Ini tampak pada vaksin disabilitas yang masih terbatas. 

Laporan Centre for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mencatat, tingkat vaksinasi yang ada di wilayah Indonesia masih belum merata. Pada beberapa daerah bahkan masih menyentuh angka di bawah 10%. Selain itu, di wilayah Indonesia timur ada beberapa provinsi yang belum mendapatkan dosis 2 vaksinasi. Kondisi ini timpang jauh, dengan pelaksanaan vaksinasi yang terjadi di DKI Jakarta.

“Percepatan vaksinasi sebaiknya tidak meninggalkan kelompok rentan. vaksinasi yang ada di daerah yang pelaksanaannya sudah di atas 75% hanya 7 provinsi, yang di bawah 10%  bahkan ada, seperti Lampung. di Maluku Utara bahkan belum mendapatkan dosis kedua,” jelas Olivia Herlinda, Direktur Kebijakan CISDI, 18 Agustus 2021

CISDI juga menilai beberapa hal yang mempengaruhi vaksinasi terhadap difabel ini terhambat ialah karena beberapa hal yang saling berkesinambungan. 

“Kelompok rentan sangat beresiko tertinggal, hal ini karena beberapa faktor, diantaranya hambatan administrasi, hambatan finansial, hambatan infrastruktur (distribusi, bahkan akses fasilitas kesehatan), akses informasi, hambatan sosial dan perilaku,” sambungnya.

Kaitannya itu, Olivia menyampaikan rekomendasi bahwa penting adanya perluasan cakupan dan definisi kaum rentan, banyak kesulitan dan tantangan untuk mendeskripsikan kelompok rentan. 

“Perlu adanya tata laksana dan penjangkauan dengan khusus bagi kaum rentan, seperti vaksinasi keliling, dan  perlu integrasi rawat jalani,” kata  Olivia.

Kondisi keterbatasan vaksin para penyandang disabilitas juga ditemui di berbagai wilayah Indonesia pada Agustus 2021.

Di Jawa Timur misalnya, setidaknya ada 23.429 anak disabilitas dan 120.911 orang dewasa dengan disabilitas, namun mayoritas masih belum mendapatkan vaksin. Di kabupaten Malang ambil contoh, dari 16.000 disabilitas yang terdaftar pada Dinas Sosial, hanya puluhan saja yang bisa mengakses vaksinasi. 

Setali tiga uang, di Kota Malang, disabel juga masih menjadi bagian angka pelengkap yang sangat kecil dan belum menjadi prioritas. Dari 2.927 penyandang difabel, yang sudah mendapatkan vaksinasi hanya 60 orang. Saat berusaha dikonfirmasi perihal kendala yang dialami untuk melakukan vaksinasi difabel, Kepala Dinsos P3AP2KB Kota Malang, Penny Indriani hanya melemparkan pertanyaan pada Dinas Kesehatan. 

“Mohon cari info ke Dinkes,” begitu komentarnya melalui pesan WhatsApp, 7 Agustus 2021 . 

Terakhir, pada 18 agustus 2021, Dinsos Kota Malang sempat menggelar vaksinasi dengan sasaran 96 warga difabel. Angka yang bisa dibilang masih tergolong kecil jika dibandingkan dengan jumlah difabel keseluruhan. Aksi saling lempar ini mencerminkan kondisi pemerintah Indonesia yang gagap dalam penanganan bencana, dan tak pernah serius menciptakan lingkungan inklusi.

Sementara itu, Kepala Dinas sosial Kabupaten Malang, Haris Kerja, saat berusaha dikonfirmasi mengenai hal ini juga tak memberi jawaban. Pesan singkat maupun sambungan telepon, tak pernah ia jawab.

Kertaning Tyas, koordinator Lingkar Sosial, organisasi yang membangun gerakan inklusi pemenuhan kesamaan hak penyandang disabilitas, juga mengungkap bahwa faktor yang jadi hambatan pada proses vaksinasi para penyandang disabilitas masih menjadi PR hingga kini. Utamanya menyangkut minimnya informasi, akses yang tak mudah hingga minimnya pendampingan.

“Sosialisasi pada kawan-kawan difabel juga seharusnya disesuaikan dengan mereka, sampai saat ini masih ada beberapa kawan difabel yang mungkin belum tahu apa virus Covid-19, apa itu vaksin, difabel mental misalnya, cara menjelaskannya gak mungkin sama, ini yang harus jadi perhatian pemerintah,” ujar Tyas kepada Konde, Agustus 2021 lalu. 

Tyas menjelaskan, kondisi para penyandang disabilitas ini tak disangkal membutuhkan perhatian lebih. Sebab masing-masing memiliki keadaan yang berbeda satu sama lain. Ada yang bisa mandiri, namun ada juga yang mesti aktif didatangi oleh pendamping. 

“Ada juga yang menghabiskan sehari-hari di atas kasur, untuk vaksinasi saja, kami akhirnya yang berinisiatif untuk datang di sana, untuk mendampingi kawan-kawan,” terangnya. 

“Pendaftaran ini kita selalu ketinggalan, ya kalah cepat dengan yang lain,” imbuhnya.

Kendala akses kesehatan hingga vaksinasi terhadap anak-anak penyandang disabilitas juga dihadapi oleh para suster di Yayasan Bhakti Luhur. Di awal maret 2021, beberapa suster harus mengasuh anak-anak berkebutuhan khusus yang terkonfirmasi positif Covid-19, dalam kondisi diri yang juga positif Covid-19. Lebih ironis lagi, fasilitas hanya seadanya.

“Kapan hari pernah kita rujuk ke ke Rumah Sakit, tapi memang penanganan anak disabilitas inikan beda ya, maka tidak semua orang bisa, jadi ya pihak rumah sakit menolak,” terang Kepala Sekolah Bhakti Luhur, Sr.Yohana Fransiska Mai Muri, ALMA.

Meski saat ini, kondisi anak-anak di Bhakti Luhur sudah membaik, tak ada lagi yang terkonfirmasi positif Covid-19. Namun, menurutnya rumah sakit ramah penyandang disabilitas, hingga hari ini Pemerintah setempat belum bisa menyediakan layanan kesehatan yang memadai.  

Di sisi lain, pelaksanaan vaksinasi disabilitas mental dan intelektual juga katanya, tidak ada keterlibatan tenaga profesional seperti psikolog atau psikiater yang membantu pelaksanaan. Padahal, anak dengan disabilitas mental selain memerlukan penanganan dan pendekatan khusus, juga membutuhkan informasi mengenai vaksinasi bisa tersalurkan dengan baik.

Tak Ada NIK hingga Minim Informasi: Terhambatnya Akses Bagi Transpuan

Pada Februari 2021 lalu, komunitas peduli kelompok minoritas telah menggelar rapat koordinasi menyoal vaksinasi. Disebabkan fokus pada vaksin lansia, kelompok minoritas dari transpuan sempat tertunda.

Seorang transpuan yang berdomisili di Yogyakarta, Jawa Tengah, Jeny Mikha, mengatakan kendala paling mendesak yang dihadapi dalam vaksinasi adalah ketiadaan Nomor Kartu Identitas (NIK). Ini banyak terjadi di kalangan transpuan, sebab banyak dari mereka berasal dari luar Yogyakarta. 

“Di bulan 2 kami dan kawan-kawan bisa memfasilitasi vaksin bagi kawan transpuan yang punya KTP, itu pun kuotanya terbatas. Koordinasi terus kami lakukan dengan kelompok rentan (transpuan) mulai dari remaja hingga lansia agar bisa vaksin,” kata Jeny dihubungi Konde, Selasa (28/9/2021). 

Terhitung sejak Agustus hingga September 2021 ini, Jeny bilang, sudah 7 kali melakukan pertemuan dengan pemerintah setempat. Komunitasnya pun melakukan pendataan dan kendala yang dihadapi di lapangan. Selain soal KTP, masalah yang sering muncul adalah akses informasi yang minim. 

“Kami dari transpuan tidak mendapatkan itu, sehingga dalam rapat koordinasi strategi yang kami lakukan adalah mendata ulang berapa banyak transpuan di Yogyakarta dan Sleman. Kami berhasil mendata 174 transpuan,” terangnya.

Setelah upaya koordinasi tersebut, baru pada 23 Agustus 2021, vaksinasi yang bekerjasama dengan Dinkes dan forum jaringan yang berfokus ke kelompok rentan bisa dijalankan. Baik bagi transpuan yang sudah memiliki NIK dalam kota DIY, luar kota maupun tidak memiliki NIK.

Meski begitu, perjuangan vaksinasi transpuan belum berarti usai. Mereka yang tidak memiliki NIK walaupun sudah vaksin, namun masih kesulitan mendapatkan sertifikat vaksin. Sebab, verifikasi pembuktian vaksin yang mesti terhubung dengan NIK. 

Kini, surat edaran baru dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri) telah terbit kepada 19 provinsi untuk melaksanakan pendampingan advokasi NIK KTP agar bisa dipermudah. Koordinasi dengan pemerintah setempat memang sangat dibutuhkan. 

Dalam proses pembuatan NIK, transpuan juga harus ada penjamin atau pengampu di kota tersebut. Utamanya yang berasal dari luar daerah domisili. Pengampu inilah yang nantinya akan mengeluarkan rekomendasi berdasarkan jejak rekam perilaku baiknya. 

“Sampai hari ini masih kita kawal,” katanya.

Menurut data pendamping transpuan di wilayah DIY, saat ini ada sekitar 20-30 transpuan yang belum divaksin. Belum optimalnya informasi menyebabkan mereka banyak yang takut divaksin. Misalnya saja, disinformasi yang beredar bahwa vaksin menyebabkan kematian.  Selain, akibat akses ke lokasi vaksin yang sulit dijangkau.

“Saat ini, baru sekitar 67% yang melakukan vaksin, karena beberapa orang juga lokasinya sangat jauh dari pelaksanaan vaksin,” tambahnya.

Eny Rochayati adalah aktivis dari jaringan rakyat miskin kota (JRMK) di Jakarta. Ia menyampaikan sejauh ini, belum mengalami kesulitan berarti dalam hal vaksinasi. Di lingkungannya, masyarakat sudah bisa mengakses pelayanan vaksin keliling (mobile) untuk kampung-kampung prioritas. 

“JMRK tidak mendampingi langsung, hanya memfasilitasi untuk vaksin jemput bola agar secara jarak terjangkau,” kata Eny kepada Konde.co, Selasa (28/9/2021). 

Walau begitu, Eny menggarisbawahi bahwa informasi soal vaksinasi juga masih perlu dioptimalkan di tengah masyarakat. Utamanya, soal pentingnya vaksin dan pencegahan hoaks yang banyak beredar. Sehingga memunculkan ketakutan efek dari vaksinasi. 

“Karena vaksin menjadi syarat mengurus administrasi dan seolah lebih penting dari KTP, mau gak mau mereka ikut vaksin,” ujar Enny. 

Kelompok miskin kota Jakarta misalnya banyak yang kesulitan dalam mengakses ekonomi, kondisi pandemi yang tak kunjung usai, membuat ekonomi menjadi terpuruk, ini hal yang tak mudah yang dihadapi kelompok miskin kota di Jakarta. 

Kondisi kemiskinan ini membuat banyak masyarakat kemudian lebih terkonsentrasi pada pencarian ekonomi, belum cukup mendapatkan informasi soal vaksinasi dan cenderung ketakutan untuk ikut suntik vaksin. 

(Artikel ini merupakan Program ‘KEDAP atau Konde dan Kalyanamitra Program: Peliputan Kondisi Perempuan Marginal di Tengah Pandemi Covid-19’ Konde.co yang didukung oleh Kalyanamitra. Hasil peliputannya dapat dibaca di Konde.co setiap Senin secara Dwi Mingguan)

Reka Kajaksana dan Nurul Nur Azizah

Jurnalis Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!