Samantha Meringkuk di Sudut Tembok: Trauma Korban Pedofilia Terus Membayang

Samantha meringkuk di sudut tembok dan bertanya: bagaimana cara melawan kekerasan seksual yang dilakukan saudara kami sendiri, orang yang sangat dipercaya keluarga kami?

Memperingati Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Selama 4 hari yaitu 22-25 November 2021, Konde.co menayangkan artikel khusus tentang trauma dan perlawanan korban “Trauma Korban: Tribute untuk Korban Kekerasan dan Pelecehan Seksual.” Upaya ini dilakukan agar para korban bisa bercerita, menuntaskan persoalan dan traumanya.

Trigger warning: isi dari artikel ini dapat memicu trauma, khususnya bagi para penyintas kekerasan seksual. Beristirahatlah sejenak saat Anda merasa tidak nyaman saat membaca artikel ini dan segera hubungi layanan konseling psikologis apabila memiliki tendensi membahayakan keselamatan diri sendiri.

“Aku bisa tiba-tiba menangis, tanpa sebab. Dalam pejam mataku, selalu saja membayang, ada anak kecil perempuan sedang meringkuk menangis di sudut tembok. Itulah aku, belasan tahun lalu.” 

Panggil saja dia Samantha, bukan nama sebenarnya. Anak perempuan usia tujuh tahunan, tipikal periang dan suka berteman. Dia suka sekali bermain lompat tali dan menari, dengan rok mengembang merah kesukaan dan rambut poni yang dikuncir menyerupai jamur. Saat itu, Ia hanya tau: dunia anak-anak yang ia miliki, begitu indah dan berwarna. 

Sampai di suatu siang bolong, ada hal tak terduga menimpa Sam, sebutan Samantha. Tak ingat pukul berapa, Sam yang sedang tidur siang tiba-tiba merasakan beban berat di tubuh mungilnya. Belum sepenuhnya sadar, dia mencoba membuka mata, dan melihat wajah yang terengah-engah sedang menciumi leher, wajah dan bibirnya. Semakin lama, cengkeraman kuat kian Sam rasakan. tangan, kaki dan tubuh Sam ternyata telah ditindih laki-laki berbadan besar itu. 

Perasaan Sam sulit digambarkan. Dia hanya sangat takut. Dia tidak bisa teriak karena tetiba sekujur tubuhnya seperti membeku dan kaku. Tangan kecilnya menggenggam kuat tapi tak kuasa meninju. Dia hanya bisa menangis kejer, tapi suaranya juga tak bisa keras. Dengan sisa tenaga yang dia punya, dia terus meronta-ronta. Tatapannya melonglong ke langit-langit, seolah berkata “Tolonglah aku. Apa yang sedang terjadi padaku?”

Setelah belasan tahun usianya, Sam baru tahu jika apa yang pernah dialami kala itu, adalah percobaan perkosaan, yang juga merupakan kekerasan seksual terhadap anak-anak (pedofilia). Ironisnya, hal itu dilakukan oleh pengasuh Sam, yang juga tetangga yang menjadi orang kepercayaan orang tuanya. Seorang laki-laki yang Ia tahu sudah pernah menikah tapi bercerai, yang saat itu berusia sekitar 30 tahunan. 

Tapi kala itu, Sam kecil sama sekali tak tahu apa yang dialaminya. Selain takut, dia juga sangat malu. Sebetulnya tidak hanya percobaan perkosaan pada siang itu, Sam berkali-kali juga mendapatkan pelecehan seksual. Mulai dari laki-laki itu yang suka mencium Sam saat tidak ada orang, memeluknya bahkan pernah menunjukkan alat kelaminnya kepada Sam. 

Saat semua aksi itu berlangsung, Sam seringkali mendapat manipulasi bahwa laki-laki itu baik dan menyayangi Sam. Untuk membujuk Sam, dia juga seringkali memberikan jajanan kesukaan Sam, diajak jalan-jalan, sampai diberikan beberapa puluh ribu uang. 

Sungguh, bagi orang tua Sam ataupun tetangga dan orang luar yang melihat, semua itu adalah bentuk “kasih sayang” kepada seorang anak. Tak pernah ada kecurigaan sama sekali, sedangkan Sam belum banyak mengerti.    

“Aku gak pernah bilang ke orang tua, ke siapapun, bingung itu apa, sedangkan aku ga punya teman cerita siapa-siapa kayak malu banget. Itu aku simpan belasan tahun,” ujar Sam saat berbincang dengan Konde.co, beberapa waktu lalu. 

Di usia awal sekolah dasar, rasanya juga menjadi masa yang sulit sekaligus membingungkan bagi Sam. Pelecehan yang dia alami dari laki-laki besar itu, juga dia dapatkan dari teman sebayanya. Seorang bocah laki-laki 8 tahunan kala itu, juga pernah melakukan hal yang tak senonoh pada Sam. 

Saat itu, teman Sam itu bilang, dia sedang mempraktekkan adegan di film India yang ia pernah tonton. Yaitu, mulai dari mencium, meraba tubuh dan alat kelamin, sampai menindih tubuh Sam seperti adegan persenggamaan. 

“Pas ditindih itu meskipun masih pakai baju, tapi rasanya kayak jijik banget. Apalagi, ingat pas air liurnya itu menetes ke telingaku,” kata Sam mengingat saat itu.

Saat itu, Sam kecil lebih sering menyendiri. Dia mengingat, rasanya masa-masa itu, seperti dia merasa ‘kotor’ dan jijik sama diri sendiri. Dia juga begitu malu atas apa yang dia alami. Meskipun, dia selalu tidak berani bilang ke siapa-siapa. Dia sering cemas dan kebingungan. 

Rasa traumanya juga sempat muncul di usia sekitar 8 tahunan, dia ketakutan bahkan sempat memutuskan untuk tidak mau berangkat sekolah dan keluar dari sekolah non-formal agama yang Ia jalani. Ceritanya, Sam saat pulang sekolah siang itu, dikejar-kejar tiga anak laki-laki yang bilang mau menciumnya.

“Aku naik sepeda, ngebut banget, mereka ngejar sampai rumah, dan di situ, aku takut banget. Besoknya gak mau lagi berangkat sekolah (non-formal agama). Sampai bertahun-tahun berhenti sekolah,” ujarnya. 

“Sebenernya pernah lagi, aku dilecehkan sama guru olahraga-ku pas sekolah menengah. Dia meremas payudaraku pas sedang latihan jungkir balik,” kata Sam. 

Trauma Pedofilia dan KDRT

Sam pernah mengalami masa terberat dalam hidupnya. Rentetan trauma menjadi korban pedofilia yang Ia alami sejak kecil, memberikannya ketidakpercayaan (trust issue) terhadap sosok laki-laki, yang selama ini menjadi pelaku kekerasan seksual yang dia alami. 

Pun di kehidupan keluarga, Sam kebetulan mempunyai kondisi ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Sedari kecil, ayah Sam seringkali melakukan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dengan kekerasan verbal, fisik, hingga tidak pernah ‘hadir’ dalam kehidupan Sam. Sepanjang hidup Sam, dia merasa tidak mendapatkan kasih sayang yang cukup. 

Pernah suatu ketika, ayah Sam marah besar, dan kepala Sam dipukul. Ayahnya juga cukup sering merusak barang-barang di rumah mereka. Di sisi lain, Sam jarang sekali bisa merasakan kehangatan komunikasi dengan ayahnya. Bahkan, sekalipun tidak pernah ada pelukan yang diingat oleh Sam dari ayahnya. 

“Jangankan dipeluk, kayak ngobrol aja itu jarang banget. Ayah kalau marah itu suka ngerusak barang-barang dan pintu, kasar juga omongan dan perilakunya. Dia dulu suka judi, makanya jarang pulang dan gak pernah ngurusin keluarga,” terang Sam. 

“Aku pusing banget, tiap dengar ayah sama ibu bertengkar di rumah, itu mendingan aku minggat. Dulu sering gitu,” katanya. 

Puncak trauma pada Sam, muncul kala usianya 17 tahun. Di usia sekolah menengah atas (SMA) itu, pernah terbesit keinginan Sam untuk bunuh diri dengan menceburkan diri ke sumur. Tiap kali ada truk-truk besar, atau berada di ketinggian, Sam juga pernah di masa ingin terjun. Kala itu traumanya muncul, dan kondisi keluarganya sedang memburuk.

“Aku depresi sekali saat itu. Kayak badan sakit banget, gak bisa makan, migrain terus berbulan-bulan. Nangis terus. Tapi gak bisa cerita ke siapa-siapa,” ucap dia. 

Saat itulah, Sam seperti merasakan ‘didatangi’ kilatan-kilatan traumanya. Di bayangannya, sosok anak kecil yang tengah menggigil di sudut tembok. Dia menangis dan meringkuk. Dia butuh pelukan dan ruang aman. Kondisi itu, seringkali terjadi kala Sam mengalami masa-masa sulit sampai hari ini. 

Beberapa bulan ini, Sam juga merasakannya saat baru saja putus dengan kekasihnya. Meski tidak ada kekerasan fisik, verbal, maupun seksual, seperti yang pernah dialaminya di masa lalu.  Sam yang mengalami manipulasi secara psikis, ternyata mengalami kilatan trauma itu lagi. 

“Kalau udah kayak gitu, aku kasih kesempatan diriku nangis aja sih, sambil aku peluk diriku. Aku kayak ngobrol sama dia, “nggak apa-apa, kamu akan baik-baik saja, kamu aman, gak ada yang akan nyakitin kamu”,” ujar Sam yang seolah menjadi teman untuk dirinya sendiri. 

Memaafkan dan Moving On

Sam kini masih terus berupaya memulihkan diri. Dia mulai dengan menerima diri. Memaafkan atas segala apa yang telah dialaminya. Termasuk, trauma-traumanya atas kejadian di masa lalu. Jelas tidak mudah, Sam bilang, bertahun-tahun dia baru bisa mengurai rasa sakitnya.

Pada sekitar tahun 2019 lalu, Sam mulai aktif dalam klub meditasi di kota tempatnya merantau. Dia mulai merilis satu per satu trauma yang dia alami. Mulai dari kekerasan seksual yang beruntun dialami, hingga KDRT serta kekerasan psikis dari relasinya. 

“Aku pernah loh di masa, gak mau nikah aja, laki-laki semuanya bajingan. Cuma bisa bikin sakit, dan aku tetap bisa hidup kok meskipun sendiri,” kata Sam. 

“Sampai suatu waktu, ada yang ngingetin aku, “kamu jangan genggam terus” nanti kamu gak akan bisa menerima cinta dan memberi cinta, lepaskan (trauma),” lanjutnya. 

Dari situ, Sam bertekad untuk bisa menyembuhkan dirinya dari trauma. Dari emosi yang ekstrem yang tiba-tiba muncul, melalui meditasi dan penerimaan tadi, Sam pelan-pelan semakin bisa mengendalikan dirinya. Dia merasakan emosinya lebih baik dan lega ketika dia menerima kondisi dan memaafkan. 

“Naik turun ya prosesnya. Tapi bagiku, memaafkan traumaku itu bukan berarti memaklumi dan menormalisasi kekerasan yang aku alami, tapi aku hanya ingin hidupku damai,” ujar perempuan penyuka warna ungu itu.

Apa yang Sam alami, barangkali juga bisa dialami oleh banyak perempuan dan anak perempuan lainnya. Bahwa kekerasan seksual dari pedofilia begitu banyak terjadi akibat minimnya akses edukasi reproduksi dan seksualitas di tengah masyarakat. Juga berlangsung akibat masih bercokoknya patriarki yang melanggengkan kekerasan dan stigma-stigma yang memperburuk kondisi korban kekerasan. 

Pun dengan KDRT yang banyak terjadi pada anak perempuan ataupun perempuan di manapun berada. Ini menjadi ancaman serius yang bukan saja harus ditangani, namun juga perlu dilakukan pencegahan dan edukasi agar kekerasan dalam relasi ini tidak lagi terjadi. Sehingga, jangan sampai menimbulkan trauma-trauma dalam tubuh termasuk anak-anak perempuan dan perempuan. 

“Inilah kenapa Negara perlu hadir dengan jaminan hukum yang melindungi korban. Keluarga pun sebagai pendidikan pertama, juga semestinya mengambil peran, biar jangan lagi ada yang mengalami hal sepertiku,” pungkasnya kepada Konde.co.

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!