Dugaan Kekerasan Seksual Terjadi di Kalangan Aktivis: Korban Trauma, Pelaku Melenggang Bebas

Kekerasan seksual juga terjadi di kalangan aktivis. Kali ini pelaku melenggang bebas tanpa rasa bersalah, bahkan terus mengulangi perbuatannya. Sementara korban harus menanggung sendiri derita dan traumanya.

Sudah jatuh tertimpa tangga. Pepatah ini sangat pas untuk menggambarkan apa yang dialami Laras (bukan nama sebenarnya).

Pada awal Mei 2021 lalu, Laras menjadi korban kekerasan seksual, dan dalam enam bulan terakhir ia harus menghadapi ‘teror’ dari terduga pelaku AS, aktivis mahasiswa  yang pernah tergabung dalam Laskar Mahasiswa Republik Indonesia (LAMRI).

Kejadian ini berawal saat Laras berkunjung ke kota Yogyakarta pada 5 Mei 2021. Oleh pelaku, Laras diarahkan untuk mampir ke kontrakannya. Di kontrakan inilah kemudian terduga pelaku AS mencoba memaksa melakukan aktivitas seksual yang tidak dikehendaki Laras. Laras berhasil menghindar dan terselamatkan oleh panggilan di teleponnya.

Setelah kejadian, Laras bingung tak tahu apa yang harus dilakukan. Ia juga tidak berani menceritakan apa yang menimpanya kepada orang lain. Ia justru diliputi rasa bersalah, karena mau diajak mampir ke kontrakan pelaku.

Di sisi lain, pelaku bersikap seolah-olah tidak melakukan kesalahan. Ia masih terus mencoba menghubungi Laras. Hingga Laras meninggalkan Yogyakarta, AS tidak pernah menyampaikan permintaan maaf atas tindakannya malam itu.

Khawatir apa yang dialaminya akan menimpa orang lain, Laras memutuskan bersuara. Ia mengungkapkan kejadian yang menimpanya. Keberanian Laras berbuntut serangkaian teror, baik dari AS maupun dari teman-teman AS. Alih-alih berpihak kepada Laras sebagai korban, teman-teman AS justru mengintimidasi Laras. Laras dituduh melakukan tindakan asusila/perbuatan tidak senonoh dan diancam akan dilaporkan ke dosennya. Rekan AS yang meneror Laras tak hanya satu, ada beberapa nomor baru yang menghubungi Laras melalui telepon.

“Saya merasa terancam dan takut, meski berada di kota yang berbeda dengan pelaku,” ujar Laras sebagaimana diunggah di akun Facebook LAMRI Surabaya.

Laras bukanlah satu-satunya korban AS. Hingga Selasa (2/11) setidaknya ada empat perempuan lain yang sebelumnya juga menjadi korban AS.

Kejadian itu terjadi dalam kurun 2014 hingga 2021. Dalam threadnya LAMRI mengungkap, hasil penyelidikan menemukan modus AS dalam melakukan aksinya dengan memanfaatkan posisinya sebagai aktivis untuk mendekati korban. Ia lantas membujuk korban untuk mau singgah di tempat kosnya hingga akhirnya memaksakan aktivitas seksual yang tidak dikehendaki para korban. Bahkan dalam salah satu kejadian, pelaku memanipulasi dengan menyatakan bahwa dia memahami gerakan feminis untuk membujuk korban agar mau melakukan aktivitas seksual dengannya.

Disebutkan dalam thread itu, akibat perbuatan AS, salah satu korban mengalami stress akibat trauma sehingga harus menjalani perawatan dari psikiater. Korban lainnya mengalami infeksi saluran kencing dan harus menjalani pengobatan.

AS sendiri telah diberhentikan keanggotaannya dari LAMRI Surabaya sejak 2 Maret 2018. Pemberhentian diputuskan melalui sidang organisasi terkait sejumlah kekerasan seksual yang dituduhkan kepadanya. AS dinilai telah mencemarkan nama baik organisasi, menyebarkan isu palsu dan tindakan yang menyebabkan kerugian fisik dan psikis pada korban. 

Namun, pasca-pemberhentian itu LAMRI tidak melihat itikad AS untuk memperbaiki diri. Sebaliknya, AS justru melakukan perbuatan yang merugikan nama baik LAMRI dan mengulangi perbuatannya. LAMRI menegaskan, pihaknya berdiri di pihak para korban dan tidak menoleransi kekerasan seksual dalam bentuk apapun.

“Kami mengecam tindakan pelaku yang telah merebut ruang aman bagi keempat penyintas,” demikian LAMRI dalam wawancara ketika dihubungi Konde.co

LAMRI juga memfasilitasi para korban untuk menuntut pelaku untuk menyampaikan permintaan maaf secara terbuka dan memberikan ganti rugi atas biaya pemulihan kesehatan fisik dan psikis yang dialami para korban. Ketua LAMRI, Bima Aji mengatakan pihaknya juga menerima pengaduan sejumlah laporan melalui hotline yang dibuka pada Selasa (2/11), namun ia menolak menyebut berapa orang.

“Ada, tapi kami belum bisa membukanya secara public karena masih menunggu persetujuan dari penyintas,” demikian keterangan Bima Aji ketika dihubungi oleh Konde.co

Bima menambahkan sejauh ini belum ada korban yang berencana untuk membawa kasusnya ke ranah hukum. Meski ada desakan agar ada upaya mengorganisasi para korban untuk berani melaporkan kasusnya ke polisi, LAMRI menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada para korban.

“Kami menyesuaikan dengan keinginan korban. Untuk sementara ini kami fokus pada pemulihan psikis penyintas,” ujarnya.

Harus Ada Sanksi Hukum

Ketika dimintai pendapatnya mengenai kasus ini, anggota Aliansi Laki-laki Baru (ALB) Nur Hasyim mengatakan, ada pola yang jamak terjadi dalam kasus kekerasan seksual, yakni korban selalu berada dalam posisi yang lebih lemah. Pelaku biasanya lebih kuat, mungkin dia laki-laki yang secara fisik lebih kuat, pelaku lebih senior ataupun pelaku lebih unggul dalam pengetahuan ataupun posisi ekonomi sosial.

Dalam kasus AS ini, ia menduga pelaku lebih senior dan lebih unggul dalam pengetahuannya. Pelaku bisa leluasa berulang kali mengulang kekerasan seksual kepada korban yang berbeda karena selama ini ia tidak pernah mendapatkan sanksi hukum atas perbuatan yang dilakukannya.

“Karena dia merasa tidak ada konsekuensi hukum dari perbuatannya, maka ia berani mengulangi lagi,” ujarnya saat dihubungi Konde.co

Menurut laki-laki yang biasa dipanggil Boim ini, semua ini akibat rape culture yang tumbuh subur di Indonesia. Di mana, masih banyak anggota masyarakat yang menganggap wajar perlakuan merendahkan perempuan ataupun korban kekerasan seksual. Masyarakat, ujarnya, menilai normal saat laki-laki melakukan pelecehan. Boim menegaskan, perbuatan seperti apa yang dilakukan AS ini harus dihentikan. Ia berharap pihak-pihak yang terkait tidak memberi ruang bagi penyelesaian secara damai.

“Kekerasan seksual sebagai sebuah kejadian tidak cukup diselesaikan hanya dengan menjatuhkan sanksi sosial. Pelaku harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya secara hukum. Sanksi sosial saja tidak cukup,” imbuhnya.

Ia mengapresiasi langkah LAMRI yang berani membuka kasus yang melibatkan anggotanya ini, karena banyak organisasi lain yang justru menutupi atau bahkan menghalangi proses hukum jika ada anggotanya yang terbukti melakukan kekerasan seksual.

Lebih jauh ia mendorong dibangun system perlindungan untuk memungkinkan para korban melaporkan kasusnya ke polisi. Perlu ada upaya untuk mengorganisasi para korban agar mereka bisa saling menguatkan sehingga berani bersuara dan membawa kasusnya ke pengadilan.

Bersamaan dengan itu, dibutuhkan penguatan pendampingan baik pendampingan psikologi, pendampingan hukum maupun pendampingan keamanan untuk mengantisipasi kemungkinan serangan balik kepada para korban.

“Prinsipnya pelaku harus mempertanggung-jawabkan masing-masing kejahatan yang dilakukannya kepada para korban,” cetusnya.

 

 

 

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!